Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seharusnya, Yayan Pulang Malam Itu

Moh. Tsabit Husain, cerpenis dan santri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa. Pegiat Komunitas Cinta Nulis Lubselia.

20 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seharusnya, Yayan Pulang Malam Itu
Moh. Tsabit Husain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku sudah tiba di rumah malam itu, saat ayah terbaring di tempat tidur tak berdaya. Perutnya bengkak. Dia seperti meminum segalon air sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku tiba sehari setelah kakakku, Romi, pulang dari Jakarta. Sedangkan aku dari Australia. Aku langsung membeli tiket terbang ke Indonesia setelah mendapat telepon dari Indari, kakak perempanku yang tidak menikah sampai umrunya hampir memasuki kepala empat, bahwa ayah sakit mendadak. Aku sudah izin ke Profesor Reinberlg untuk menunda penelitianku dan dia setuju. Dia Profesor berhati sutra yang pernah kutemui.

“Ke mana Yayan? Apa dia belum pulang?”

Ibu menggeleng. Indari merutuk dalam hati. Aku tahu itu dari ekspresi wajahnya yang mengeras setelah nama Yayan, kakak kedua di keluargaku, tidak pulang walau keadaan ayah kritis. Hubungan antara ayah dan Yayan masih tetap sama. Seperti tikus dan kucing. Satunya ingin berkuasa dan satunya ingin melawan dengan cara yang dia bisa. Sampai Yayan pergi meninggalkan rumah malam itu, setahun sebelum aku lulus dari sekolah dasar.

Aku berbisik kepada ibu tentangnya dan dia membuang napas. Bibirnya beku. Mulutnya kaku. Dia tak mampu mengucap sepatah kata untuk mendeskripsikan bagaimana hubungan keduanya semenjak dia pergi dan ketiadaanku di keluarga ini selama hampir empat tahun. Dia tidak pernah menelepon lagi kecuali kepadaku. Sekarang, aku akan menyelesaikan gelar sarjanaku dan kondisi keluargaku masih tetap sama seperti dulu.

Dadaku bergetar. Aku harus menelan kenyataan pahit ini bahwa aku tidak memilih untuk dilahirkan di keluarga mana pun dalam kondisi apa pun. Aku hanya bisa menerima dan mengakui bahwa mereka berbeda dengan keluarga yang lain. Aku menghentikan pembicaraanku tentangnya meski aku tetap meneleponnya dan berharap suaranya di seberang sana menjawabnya. 

Ayah meringis. Sedari tadi Ibu mengusap perutnya dengan air yang di dalamnya terdapat huruf hijaiah yang tak dapat kubaca. Huruf-huruf itu membentuk jalinan yang njelimet dalam gaya tulisan Arab yang tak pernah kuketahui selama aku mengaji dulu. Ibu mendapatkan air itu dari K. Samaon, lelaki sepuh dan disepuhkan di desa ini. Umurnya hampir menunduk ke tanah. Tapi dia adalah pohon di desa ini yang menaungi siapa pun yang datang kepadanya. 

“Apa Ibu tidak membawa Ayah ke dokter?” tanyaku.

Ibu mendelik. Matanya membungkamku. Aku tahu maksudnya. Kuping ayah alergi ketika mendengar kata dokter. Ibu meminta Indari dan Romi mengganti posisinya mengurap air ke perut ayah. Dia menarik lenganku dan aku mengekor di belakangnya. Ibu membawaku ke dapur. Punggungnya tiba-tiba berguncang dan membuatku panik. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Perasaan yang menderanya selama bertahun-tahun setelah dia menjadi istri dan seorang ibu di keluarga ini. Aku memeluknya dan dia terisak dalam dekapanku.

“Kau tahu, Ana,” ujarnya kepadaku beberapa saat ketika dia mampu mengontrol emosinya. “Ibu selalu mendampingi ayahmu dan bersama-sama membesarkan kalian,” tambahnya. Aku menelan ludah. Sepat. Ada sesuatu yang dia tuntut dariku melalui nada bicaranya.

“Meski ayahmu kolot, Ibu mohon, hubungi kakakmu. Suruh dia pulang. Ibu khawatir dia tidak sempat meminta maaf atau mengucap selamat tinggal untuknya."

Ibu menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya, erat, tapi tak dapat meyakinkan diriku apakah aku mampu melakukannya. Air mataku mengalir dan itu adalah caraku selama dua puluh dua tahun untuk mengeluarkan amarah atau beban yang mencokol di dada. Aku meminta Ibu mengontrol diri. Dia mengangguk, meyakinkanku, mengusap air matanya dan air mata di pipiku lalu kembali ke kamar. Di sana, tetangga berdatangan. Mereka mengaji surat Yasin untuk ayah. Apakah benar Yayan tidak akan bisa mengucap kata maaf atau selamat tinggal untuknya?

Aku terus menghubunginya. Berkali-kali dan tak ada jawaban. Aku menepis segala pikiran burukku meski muak dengan semuanya. Dengan pertengkaran keluarga, antara anak dan ayah, antara istri dan suami, antara aku dan ayahku sendiri. Semuanya berkelindan di kepalaku di masa kritis ini. Aku pernah bertengkar dengannya tapi untuk beberapa hari saja, tapi tidak dengan Yayan. Dia mewarisi sifat keras kepala dari ayah. Malam itu, aku berdiri di dapur, duduk di meja makan, berdiri lagi, duduk lagi, seorang diri sembari menelepon kakakku dan berharap dia pulang. 

***

Sewaktu aku duduk di bangku kelas menengah, aku tidak pernah mengajak teman-temanku mampir ke rumah dan menolak jika hanya mau rujak, mempersiapkan ujian tata boga, atau apa pun yang bisa membuat mereka memiliki kemungkinan cedera atau terluka. Aku memiliki trauma masa kecil. Aku tak mau hal itu juga terjadi pada mereka. Waktu itu, aku bermain masak-masakan bersama Fera. Kami membuat kue dari tanah dan dimasukkan ke wadah plastik mini. Di atasnya kami taburi potongan daun dan bunga liar. Kami menghiasnya. Sampai suatu hari, Fera membawa pisau. Dia mengajakku bermain masak-masakan yang sesungguhnya.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan pisau itu?” tanyaku.

“Aku sering melihat Ibu memasak di dapur. Dia memotong ikan, wortel, kentang, ayam, dan sayur dengan pisau ini.”

Aku mengamati pisau yang mengilap itu. Matanya begitu tajam. Dia juga membawa berbagai jenis dedaunan dan sisa-sisa sayur di kulkas ibunya. Aku juga mengambil ikan di kulkas tanpa sepengetahuan ibu. Kami mulai bermain. Mulanya, dia bertugas memotong bahan-bahan sedangkan aku yang bertugas mencucinya. Entah dengan apa kami memasaknya nanti, kami tak tahu. Aku memperhatikan Fera memotong wortel, ikan, dan sayur-sayur lainnya dengan lincah.

Aku tertarik. Aku bilang kepadanya bahwa aku ingin mencoba. Tapi dia enggan memberikan pisau itu kepadaku. Dia nyinyir. Mulutnya mengucap langkah-langkah memasak sebagaimana yang sering kudengar di televisi saat Ibu menonton kontes memasak. Aku berang. Kurebut pisau itu dan dia mempertahankannya. Dia menggenggam erat seluruh tubuh pisau itu. Karena tenagaku lebih kuat, aku menariknya dan seketika darah mengalir deras dari telapak tangannya. Aku panik dan ibu berhambur ke luar saat mendengar tangisan Fera dari dalam rumah.

Ibu mengomeliku. Fera menangis sejadi-jadinya. Dia membawanya ke rumah dan aku membuntutinya. Ibu mengambil kain untuk menahan darah. Ayah datang dan mengolesi tangannya dengan daun yang sudah dilumat yang tak kuketahui namanya. Fera berteriak. Darah semakin banyak muncrat dari tangannya. Dalam waktu sekejap, kakak-kakakku berdatangan. Yayan berteriak kepada ayah bahwa ramuan yang ayah berikan itu keliru.

“Jangan mengajari Ayah! Ayah sengaja memberikannya biar kotorannya keluar.”

“Kotoran apa jika membuat wajahnya pucat? Aku punya antiseptik,” balasnya.

Ayah melotot. Matanya merah. Tangisan Fera tak dia hiraukan. Yayan keluar dari kamarnya dengan obat antiseptik tergenggam di tangannya. Dengan cepat, ayah mengambil obat itu.

“Apa kau mau membunuhnya?” bentaknya dan membuang botol kecil itu.

“Ayah yang akan membunuhnya jika ayah masih saja bertahan dengan keyakinan yang kolot itu."

Selepas itu, aku tidak bisa menceritakan situasi waktu itu. Yang jelas, Yayan keluar dan ayah memberikan pengobatan pertama. Pengobatan yang membuatku takut karena pada akhirnya ibu dan bapak Fera datang. Mereka marah-marah.

***

Saat Yayan meninggalkan rumah, dia baru lulus SMA dan aku masih duduk di bangku kelas lima SD. Dia pergi dengan meninggalkan sepucuk surat di atas meja belajarnya.

“Biarkan. Biar dia tahu bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua,” ucap ayah kala itu. Yang kuingat, ibu menangis sepanjang waktu.

Yayan pergi dan keluarga ini serasa tidak lengkap. Hari-hari berjalan membosankan. Tak ada lagi percakapan tentangnya. Seolah-olah dia ditelan bumi dan menjadi sejarah yang dilupakan di keluarga ini. Saat itu pula, tidak ada anggota keluarga yang menyinggung tentang antiseptik, pil, atau dokter. Aku baru tahu bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan medis dibenci ayah.

“Obat medis membuat badanmu cepat rusak. Dokter menjualnya dan mereka mendapat untung tanpa mereka sadari bahwa tangan mereka berlumuran darah orang lain,” terangnya, dan itu membuatku takut.

Aku berimajinasi bahwa mereka adalah lelaki atau perempuan berbaju putih, memakai masker, menjebak anak-anak dan guru seperti Pak Harto, Bu Guru Aini, dan yang lainnya dalam suatu ruangan kelas—karena aku hanya tahu doker ketika di sekolah SD ada suntik sehat dan ayah melarangku mengikutinya—lalu menyuntik mereka. Ayah dan Yayan kerap bertengkar perihal mereka, tentang medis serta keyakinan ayah yang tradisional, bahwa kita hidup di alam dan akan kembali pada alam. 

“Jadi, kalau kita sakit, alamlah yang menyembuhkan.” 

Aku terpaku mendengarnya dan keyakinan itu aku pegang teguh sampai aku melanjutkan belajarku di Australia hingga tahun ketiga. Keyakinanku itu goyah sewaktu aku menderita demam dan teman satu apartemenku membawaku ke dokter dalam keadaan lemah. Sampai sekarang, aku tak memberi tahu siapa pun.

Ingatanku samar-samar kembali pada Yayan. Ketika itu, dia terkena luka bakar di lengannya akibat petasan dan ayah tidak membawanya ke dokter. Dia mengobatinya sendiri menggunakan sirih segar dicampur madu dan daun cocor bebek. Memang sembuh, tapi memakan waktu yang lama. Tidak seperti temannya yang hanya butuh waktu satu bulan untuk mengeringkannya. Pernah juga dia mengalami kecelakaan. Ayah membawanya pulang. Dia mengalami patah tulang di kaki dan tubuhnya memar. Hanya ada satu luka luar di pelipisnya yang terus mengucur darah. Setiap malam dia terbatuk-batuk. Terkadang darah keluar di sela batuknya itu. 

Ayah membuat suatu ramuan dan aku ingat Indari membantu membuatnya, segelas minuman terbuat dari madu dan belimbing sedangkan kaki Yayan sendiri digips menggunakan kayu dan perban. Aku tidak tahu bagaimana ayah mempertahankan pendiriannya dari orang-orang untuk tidak membawanya ke dokter. Yang kuingat, suasana waktu itu amat kacau.

Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi pada Yayan. Ibu, Romi, Indari, aku, semua mengalami hal serupa. Ketika ada salah satu anggota keluarga yang sakit, ayah menjadi tabib keluarga—dia tidak mau dibilang dokter. Jika dia sakit, kamilah yang akan mengobatinya. Sejak saat itu, namanya tersohor ke mana-mana.

***

Ayah sering membuat ramuan herbal. Ramuan itu untuk keluarga, tapi dia juga menjualnya. Ayah menjadi pebisnis ramuan herbal. Sebenarnya, tujuannya bukan untuk itu. Dia hanya ingin mengobati keluarga. Dia tidak mau keluarganya teracuni obat medis. Jadinya, setiap hari, dia membuat ramuan herbal berbotol-botol dan menjualnya demi tugas mulia menyelamatkan umat manusia.

“Agar orang tidak dibodohi dokter-dokter itu,” ungkapnya.

Aku tertarik pada usaha ayah. Tapi aku tidak suka pada caranya mengobati orang lain. Terlalu angkuh, menurutku. Ingatanku pada Fera masih melekat dan tertancap kuat di kepala, ketika ibu-bapaknya datang dan mendapati wajah anaknya pucat dan ayah bertarung mempertahankan argumennya. Sampai mereka mengancam akan menuntut ayah ke polisi jika terjadi hal buruk pada anaknya.

Dia juga membuat minyak urut. Salah satu minyak—entah dapat dari mana—yang tidak kusuka adalah minyak babi. Minyak itu bau, tapi banyak orang mencarinya. Kabarnya, mereka juga meminum minyak itu. Perutku mual mendengarnya. Dia juga memberikan amalan bacaan-bacaan dan air botol pada orang yang datang untuk berobat kepadanya. Setelah itu, dia mendapat imbalan. Dari itu kami makan dan dia mengelola bisnisnya sampai dia sendiri membangun tempat pengobatan dan toko herbal.

Ada satu hal yang aku tidak berani tanyakan kepadanya. Tiap malam Jumat, dia selalu membawa dupa ke kamarnya. Dia mengawang-awangkan stoples kaca berisi kain hitam di atasnya sambil membaca sesuatu. Rasa penasaranku mendekam sampai aku duduk di bangku SMA dan dia menceritakannya kepadaku dan Romi yang lebih tua satu tahun dariku bahwa dalam stoples itu berisi dua cincin yang jika tidak disonson akan gaduh di lemari.

Dia terus bercerita bahwa cincin itu milik nenek moyang keluarga kami. Mereka adalah tabib. Mereka membantu banyak orang sembuh dari penyakit dan guna-guna. Nama mereka tersohor. Karena itu, ada orang yang iri dan membuat nama mereka meredup serta hilang ditelan waktu. 

“Dan saat ini, asal kalian tahu, mereka telah memilih ayah unuk melanjutkan tugas mulia. Menyembuhkan banyak orang melalui ramuan herbal,” bangganya.

Aku mafhum bahwa itulah alasan ayah tidak membawa kami ke dokter jika sakit. Baginya, yang paling penting bukanlah siapa yang meneruskannya, melainkan sejauh mana dia bisa kembali pada alam. Dengan itu, dia bersyukur dan Tuhan akan memberkahi orang yang bersyukur. Dan ada satu lagi yang hampir lupa diutarakannya. 

“Dan ayah mohon kepada kalian untuk mendoakan keselamatan ayah. Ayah khawatir akan ada orang yang berbuat sama kepada ayah sebagaimana yang terjadi pada nenek moyang kalian,” pintanya dengan tatapan lembut. 

Aku berpikir, seandainya Yayan ada di sana waktu itu, dia pasti mau menerima. Apakah ayah telah menceritakan hal ini sebelumnya pada Yayan? Aku tidak berani bertanya. Sejak Yayan pergi dari rumah dan ayah bercerita hal itu hingga aku terbang ke Australia serta membawa beberapa botol ramuan—aku juga dicegat di bagian pemeriksaan dan barang itu dikira cairan berbahaya—aku tidak pernah menyebut namanya ke keluargaku walau aku sering menghubunginya.

***

Dan malam itu, tak ada tanda-tanda Yayan akan pulang. Dia tidak menjawab panggilanku atau membalas pesanku. Akun media sosialnya pun tidak aktif. Aku kembali ke kamar dengan wajah kusut dan mata bengkak. Kali ini aku membencinya. Aku duduk di samping Ibu, memeluknya di antara deru tangis dan bacaan Yasin yang terus menggema. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tetangga berdatangan. Ibu menoleh kepadaku, meminta penjelasan. Aku menggeleng.

“Coba saja. Siapa tahu dia mengangkatnya,” pintanya, berkeras.

Aku manut. Hatiku remuk. Ayah bernapas satu-satu. Entah apa sakitnya, hanya Tuhan yang tahu. Padahal, sebelum dia jauh sakit, dia masih berjalan ke surau dan bercengkerama dengan orang-orang. Perutnya juga tidak kembung. Normal seperti biasa. Tahu-tahu Ibu berteriak histeris saat mendapati ayah tergeletak di lantai kamar dengan perut kembung seperti orang hamil di malam harinya. Orang-orang menduga ayah terkena guna-guna. Ingatanku kembali pada permintaannya waktu itu untuk selalu mendoakan keselamatannya dan bergumam dalam hati, siapa pun pelakunya, aku harap dia cepat sembuh karena ayah adalah tabib yang hanya mengobati orang sakit. Tidak pernah berbuat macam-macam.

Aku membayangkan Yayan pulang malam itu dari suatu tempat, entah di mana.  Dia merangsek masuk dan mengucap salam, berdiri di bibir pintu kamar ayah. Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Yayan tidak datang seiring dngan napas ayah semakin melemah, satu-satu, menunggu waktu.

26/03/2023 M.


Moh. Tsabit Husain, cerpenis dan santri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pegiat Komunitas Cinta Nulis Lubselia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus