Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tabir Sejarah Film Indonesia

Resensi buku karya Ekky Imanjaya tentang film Indonesia di masa Orde Baru. Bagaimana tabir sejarah sinema Indonesia dibuka.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI era Orde Baru, tepatnya pada 1979-1995, produksi film-film mengeksploitasi seks dan kekerasan, seperti Jaka Sembung, Pembalasan Ratu Laut Selatan, Ratu Ilmu Hitam, serta Santet, yang di zamannya dianggap berkonotasi buruk meskipun laris manis. Uniknya, hingga kini film-film tersebut ternyata masih memiliki penggemar tersendiri tak hanya di Indonesia sebagai “klangenan” eksotisme di masa silam, juga di luar negeri (Bab 7, “Memburu Film-Film yang Tidak Diedarkan Ulang Kelangkaan dan Eksklusivitas”, halaman 219).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sini Anda akan terperangah, ternyata ada pencinta aktor laga Barry Prima di Eropa, bahkan kecewa ketika Barry muncul sekelebat dalam beberapa film drama produksi 2006. Karena film-film itu sengaja dibuat sebagai produk hiburan dengan skala masif, dulu memang mereka dicaci, bahkan dinilai “tak membawa nilai-nilai edukatif”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, di luar kekurangannya, ternyata film kategori tersebut, yang dalam sejarahnya disebut “B-movie exploitation” atau film B saja (kependekan dari “bad movie”), tetap bernilai, yang dalam buku ini dibahas dengan pengamatan tajam sepenuh hati—bahkan sangat ilmiah.

Ekky Imanjaya, lewat buku ini, banyak menguak tabir sejarah sinema Indonesia yang sampai sekarang terkubur dalam perpustakaan. Kehadiran film tersebut ternyata bernilai sehingga direstorasi, diedarkan di pasar internasional (umumnya di Eropa dengan format kaset video VHS-DVD edisi kolektor), disulihsuarakan ke bahasa Inggris, dan justru mendapat apresiasi antara lain di majalah terbitan Amerika Serikat, Village People. Majalah tersebut menyebut ulasan film Pembalasan Ratu Laut Selatan yang beredar dalam judul internasional “Lady Terminator” dengan satu kalimat unik dan nyeleneh: “A Real Guilty Pleasure”.

Yurike Prastica dalam Pembalasan Ratu Laut Selatan (Lady Terminator)/imdb

Kalimat tersebut mungkin bisa saja diartikan sebagai “kesenangan bercampur rasa bersalah”, yang jika dikaitkan dengan pembahasan buku ini “senang membahas film kategori B”. Kalimat tersebut kemudian dijadikan judul besar buku ini yang sebenarnya menggiring pemikiran pembaca bahwa film B tentang eksploitasi seks dan kekerasan dalam sejarah sinema kita tak berhenti sebagai kenyataan industri saja.

Pertama, hadirnya film tersebut tak sekadar berhenti pada asumsi “ini kenyataan industri saat itu dengan adanya film bermutu rendah dan tinggi”, melainkan menguak tabir, yaitu terjadinya paradoks di kalangan pemerintah untuk urusan kebudayaan (Bab 1, “Kebijakan Paradoks Orde Baru”, halaman 67-84). Di satu sisi, mereka kerap mengimbau para pekerja film membuat “film-film edukatif” (dengan kata lain menertibkan selera masyarakat lewat pers), tapi di sisi lain film-film yang mereka anggap “tidak bermoral” ikut terbawa juga di pasar Festival Film Cannes ataupun Berlinale (Bab 3, “Signifikansi Proktajap Prosar”, halaman 116 serta “Kritik Pedas dan Justifikasi Resmi”, halaman 123).

Ekky Imanjaya/Dok DKJ

Kedua, buku ini mengajak kita membaca salah satu fenomena sejarah sinema Indonesia dengan perspektif baru. Hal dulu yang dianggap “lebih memberi angin” kepada film favorit juri Festival Film Indonesia ternyata tak akan menjadi besar jika yang dibahas hanya “film edukatif”. Film B  adalah penanda dinamika perjalanan kebudayaan populer kita, “khas Indonesia”, karena di situlah terpancar wajah identitas “ke-Indonesia-an” kita lainnya lewat produk budaya “film B”—salah satunya bernuansa klenik, mistis.

Tanpa bermaksud berlebihan, langkah penerbitan buku ini memberi ruang disiplin ilmu lain agar lebih lincah berkembang serta tepat guna, mirip spirit peneliti Gerry van Klinken tatkala memimpin penerbitan buku tentang ciri kelas menengah 2006-2012, In Search of Middle Indonesia

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Membaca Dunia B-Movie Kita"

Donny Anggoro

Donny Anggoro

Direktur Toko Buku dan Musik Bakoel Didiet/Roundabout Music Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus