Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKUL dua dinihari, 30 September lalu, di sebuah kamar di Rumah
Sakit Kodam II Bukit Barisan, Medan, terdengar suara wanita
melagukan Figurku. Ia menanyi atas permintaan seorang laki-laki
yang terbaring sakit di kamar itu: suaminya, pencipta lagu
tersebut.
Dua hari kemudian, 2 Oktober pukul 08.35 WIB, laki-laki itu
menghembuskan nafas terakhirnya. Lili Suhairy, sampai akhir
hayatnya, selama 25 tahun memegang pimpinan Orkes Studio RRI
Nusantara I Medan.
Mungkin tak banyak yang masih ingat. Sudah nasib, pencipta lagu
di negeri ini gampang dilupakan--sementara lagu ciptaannya dan
para penyanyi yang membawakannya lebih diingat dan dihargai.
Tahun 1970, misalnya, sebuah perusahaan rekaman piringan hitam
mengeluarkan satu album band The Rollies. Disertakan juga lagu
melayang Pandang -- yang penciptanya disebut sebagai anonim.
Padahal itulah salah satu lagu Lili yang berhasil dan sempat
populer di tahun 50-an di seantero tanah air. Waktu itu Lili
sempat protes. Tapi karena pihak perusahaan mengaku memang tak
tahu betul, dan undang-undang yang ada pun tak mendukung protes
seniman jenis itu, komponis itu akhirnya diam.
Setasiun KA Aras Kabu
Begitulah Lili. Perjalanan hidupnya membuatnya lebih percaya
kepada musik. Kemudian juga (mudah-mudahan dimaafkan) minuman
keras. Yang pertama memperkaya perbendaharaan musik kita dengan
182 lagu dengan warna langgam Melayu yang khas. Yang kedua
menggerogoti kesehatannya, kemudian memberinya sakit kuning dan
akhirnya merenggut nyawanya.
Lahir di Bogor, 23 Desember 1915, besar di Sumatera Utara. Konon
sejak kecil sudah lebih menyukai kesenian daripada harus tekun
dengan pelajaran sekolah. Meski begitu sempat menyelesaikan Mulo
-- setingkat SMP. Pengetahuan musiknya diperoleh dari seorang
Jerman di Medan. Dan minatnya itu diam-diam terus terpupuk
ketika 1934 ia bekerja di perusahaan rekaman 'His Master's
Voice' di Singapura. Lagu pertamanya tercipta ketika dia
dikecewakan seorang gadis: Hatiku Patah.
Tiga tahun di rantau orang, kembali ke Medan karya-karyanya
mulai lahir. Salah satunya berjudul Pemuda Indonesia. Lagu
bertema perjuangan itu sempat memasyarakat dalam Perang
Kemerdekaan. Karena itulah antara lain dia ditangkap Belanda --
dan disiksa. Pada mata kakinya sebelah kanan, juga ketika
jenazahnya dimandikan, ada bekas luka bakar itu.
Justru masa-masa pahit itulah --zaman Jepang, dan kemudian
Perang Kemerdekaan -- masa subur Lili. Bunga Tanjung, Bunga
Teratai, Selendang Pelangi, Rayuan Kencana, Aras Kabu, -menurut
BJ Soepardi (50 tahun, pianis yang pernah bekerja sama dengan
Lili) dalam acara RRI Jakarta mengenang almarhum, disebutnya
sebagai lagu-lagu besar yang lahir di zaman itu.
Aras Kabu misalnya menggambarkan sebuah pesawat Sekutu yang
menukik dan memberondong Setasiun Kereta Api Aras Kabu.
Orang-orang bergelimpangan, mati di depan Lili yang sedang
berada di setasiun itu dan kebetulan selamat. Lagu
instrumentalia itu sampai sekarang masih membuat Haji Anang
Dahlan, wartawan senior Medan sahabat.
Lili, kalau mendengarnya jadi termenung. "Rasanya seperti saya
menyaksikan sendiri tragedi itu," katanya kepada Amran Nasution
dari TEMPO.
Nasib Lili memang tak gemilang. Sampai akhir hayatnya, meski
menjadi pimpinan Orkes Studio Medan (OSM) selama 25 tahun, ia
belum tercatat sebagai pegawai tetap RRI sana--hanya honorer.
Honor terakhir yang diterimanya berjumlah Rp 45 ribu sebulan.
Dan dia sendiri memang tak pernah berusaha mengurusnya.
Lili sempat mempunyai tiga isteri dalam hidupnya. Yang dua
sripanggung Medan di tahun 40-an, yang ketiga seorang penyanyi.
Hanya ada dua anak-dari isteri kedua saja: Bakti (kini 30 tahun)
dan Dewi Jinggawaty (28 tahun) Tapi Lili dan Dewi Tum, isteri
keduanya, rupanya harus bercerai ketika Jinggawaty baru berusia
beberapa bulan.
Daoed Kecil
Pernah Jinggawaty yang ikut ibunya, ketika usia 11 tahun, selama
satu tahun ikut ayahnya. Waktu itu Lili sudah menjadi peminum
yang parah. "Sarapan pagi ayah Vlgour (sejenis minuman keras),"
kata Jingga kepada TEMPO, mengenang masa lalunya. "Tapi kalau
barusan minum ayah gampang-diajak ngobrol. Kalau dia tak minum,
seharian tak mau bicara."
Itu pula cerita Ida Surya (42 tahun), isteri ketiga Lili yang
dinikahinya dua tahun lalu, yang menyanyikan Figurku, dinihari
akhir September yang lalu. Meski waktu dilamar Ida mengajukan
syarat Lili berhenti minum, "tapi berhentinya cuma sebulan."
tutur Ida.
"Mungkin karena frustrasi ayah lari ke minuman keras," kata Dewi
Jinggawaty. Haji Dahlan, wartawan senior itu, pun mengira
begitu. "Dia itu pejuang yang jujur. Tapi apa penghargaan yang
diterimanya" kata Dahlan.
Tapi penghargaan memang pernah diterimanya, paling tidak dua
kali. 1975, oleh PWI Cabang Medan--sebagai salah seorang dari 4
seniman setempat yang layak dihormati. Penghargaan kedua
diterimanya dari Departemen P & K bersama beberapa seniman tua
dari daerah, Maret 1979, lalu, di Jakarta. Penghargaan terakhir
itu sangat berkesan di hatinya, karena diserahkan Menteri Daoed
Joesoef--yang dikenalnya sejak kecil.
Tapi Figurku yang ingin didengarnya kembali pada saat-saat
terakhirnya, mungkin bisa menjelaskan frustrasi Lili. Menurut
Haji Dahlan, lagu itu diciptakan Lili seusai Perang Kemerdekaan.
Tapi Figurku memang bernada sendu dan syairnya pun menyuarakan
satu penyesalan. Walaupun tanpa mengerti latar belakang lagu
itu, asosiasi kita memang tak harus pada perjuangan.
Selamat jalan, Lili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo