Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPAT di hari Natal, Minggu pagi 25 Desember pekan kemarin, 2
kapal LST Teluk Tomini dan Teluk Langsa merapat di bandar Gapura
Surya, Tanjung Perak, Surabaya. Di geladag tampak beberapa
bungkusan, gulungan tikar, genangan air dan minyak. Di dek, di
bawah tenda darurat dari terpal, sejumlah bekas tahanan duduk
dengan raut tak berdarah. Mereka adalah 1.500 bekas tahanan
G-30-S dari pulau Buru yang dipulangkan ke Jawa. Beberapa
perwira ABRI sempat berpelukan dengan mereka, karena ternyata
tetangga di kampung. Dua hari kemudian mereka baru diturunkan
dari kapal.
Dengan tikar lusuh di punggung, baju dan celana longgar, seorang
lelaki tua tergopoh menuruni tangga LST Teluk Langsa. Sampai di
dermaga, ia menepuk tanah 3 kali. "Aku wis balik nok Suroboyo"
(saya sudah kembali ke Surabaya), ia bergumam. Eseis Buyung
Saleh yang laris dikerumuni wartawan berkata, "kami bagaikan
pengantin pria menyongsong pengantin puteri menuju pelaminan."
Lewat televisi, Sumiyati melihat adiknya menaiki tangga LST
Teluk Tomini. Dan di Surabaya, dengan menyewa kapal Rp 125
seorang, ia mengelilingi LST itu. Dari bawah, Abdurachman (kini
30), sang adik dan bekas mahasiswa IKIP Surabaya itu duduk di
buritan. Sumiyati berputar-putar mengelilingi LST Teluk Tomini.
Mereka saling melambai.
Akhirnya, 329 dari 1.500 bekas tahanan pulau Buru sampai juga di
Jakarta. Rabu tengah hari 28 Desember 1977 lalu, berdesakan
dalam 4 di antara 7 gerbong KA Gaya Baru, mereka turun di
stasion Senen.
Sementara mereka dikumpulkan di peron, ribuan keluarga penjemput
berjubel pada jarak 20 meter berbataskan rel.
Sertu Dick Anand Ys dari Kodam V Jaya mendekati seorang wanita
yang berdesak-desak di pinggir pagar besi. "Mencari siapa bu?"
tanyanya. "Itu, yang di sana kok seperti Muhidi, adik saya.
Tolon pak, apa benar dia," kata si wanita. Sertu Dick
menyeberang mendekati seorang pemuda bekas tahanan, lalu kembali
ke seberang lain. Katanya: "Itu bukan Muhidi, bu. Menurut para
bekas tahanan itu, Muhidi masih di pulau Buru."
Bekas tahanan itu mulai dipisahkan menurut wilayah Kodim
masing-masing sebelum diijinkan pulang. Seorang bekas tahanan
tua sekitar 70-an kebingungan. Ia mengenakan kacamata, berpeci
hitam lusuh. Bajunya longgar. Bungkusannya tampak berat. Dengan
hati-hati ia memegangi biola yang dibungkus dengan kain. Kapten
Noery dari Kodim 0501 membantunya. Sejak orang tua itu turun
dari kereta api, sang kapten menemaninya duduk di kursi panjang.
Ia bertanya dengan ramah. Baik di Surabaya maupun Jakarta,
prajurit-prajurit TNI sering tampak menolong para bekas tahanan
yang berusia lanjut.
Prof Soeprapto berkacamata, berpeci hitam butut. Baju putihnya
tampak kumal, di kain lehernya berbintik hitam dimakan keringat.
Ritsluitingnya rontok, sebiji peniti mengancing bajunya.
Celananya longgar, berkaos kaki warna biru dengan sandal jepit.
Ia membawa tas hitam kecil, sebuah ember, cangkir minum. Pundak
kiri menyandang gulungan tikar.
Siang itu, Iwan (24) menjemput bapaknya: Prof. Soeprapto. Ia
anak kelima, mahasiswa FH Unair Surabaya. Bercelana jeans
coklat, ia mengenakan jaket coklat US Army. Di tangannya 2
kaleng Cocacola. Pacarnya yang mungil, menemaninya: Aniek. Ia
membawa sekaleng tembakau pipa Erinmore untuk calon mertuanya.
Begitu Soeprapto turun dari truk di Kodim 0501 Jakarta Pusat,
Iwan menangkap tubuh ayahnya. Di rumah menantunya di Kebayoran
Baru, Soeprapto tak lupa memeriksakan kesehatan. Dan di
hari-hari pertama ia sempat membuka-buka album lama. Orangtua
yang beranak 11 itu kini baru tahu, cucunya sudah 11 orang.
Di antara para bekas tahanan, yang tampak paling gembira dan
gesit adalah Tom Anwar (56) bekas wartawan Bintang Timur. Ia
menyandang ransel cukup besar di punggung. Mengenakan topi dan
berbaju lusuh, giginya tampak menguning. Itu tak menghalanginya
buat tertawa. Ia dijemput oleh adiknya, El-Hakim.
Sementara kemenakan perempuannya, Adek yang kelas II SMA, sibuk
membidikkan kamera mini Rollei, seorang anak lelaki menangis. Ia
Dipta Dewantara (13) anak bungsu bung Tom. "Saya ditangkap
ketika Dipta baru berumur 8 bulan," kata Tom dari atas truk
menuju Kodim Jakarta Selatan. "Pamannya yang memberi tahu
keadaan saya."
Menjelang sore, Tom berkumpul kembali dengan keluarganya di
kompleks perumahan wartawan, Tebet Barat Dalam. Langsung ia
mandi. Ibunya, Haji Sitti Rahmah (77) - saudara sepupu wartawan
B.M. Diah itu--tak puas-puasnya menciumi anaknya. Sementara
isteri Tom, Lionny (50) tampak amat tenang, kelima anaknya
(semua lelaki) tampak amat gembira.
"Bapak tak usah jadi wartawan lagi, ah. Saya aja yang
menggantikan," kata Batara (21) anak sulungnya. Ia mahasiswa
FIS-UI jurusan publisistik. Sehari sebelumnya anak-anak Tom
memasang beberapa piakat di tembok: Welcome home, our dearest
Bung Tom The past belongs to God.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo