Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seni Rupa: Putri Cina Semakin Mendebarkan

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.

  • Kritikus seni, penulis buku-buku seni rupa.

    Pada 19 Desember 2006 lalu telepon saya berdering. Di seberang, seorang pengusaha Surabaya berbicara. ”Master Zhiwei Tu telah tiba di Jakarta. Sungguh mati, beliau ingin bertemu dengan pengamat seni rupa di sini. Beliau ingin berpameran di Indonesia,” katanya.

    Pengusaha itu lalu bercerita bahwa Zhiwei Tu, 56 tahun, adalah pelukis kenamaan Cina lulusan Akademi Seni Rupa Guangzhou dan memiliki gelar master dari Drake University-Des Moines, Amerika Serikat. Tahun 1990-an ia banyak berkiprah di Amerika dan mendapat pengakuan luar biasa. Bahkan sejak 2004 ia diangkat sebagai Presiden OPA (Oil Painters of America).

    Sebulan sebelum kemunculan Zhiwei Tu, dua pematung besar Cina mendahului datang dan berpameran di Galeri Linda, Jakarta. Mereka adalah suami-istri Wu Shaoxiang dan Jiang Shuo. Sejoli ini sangat sohor di puluhan biennale dan art fair internasional. Banyak perupa Cina, di samping pasangan itu, berdatangan. Dan Jakarta bulan satu-satunya pilihan mereka. Sebulan sebelumnya, di Galeri Semar di Kota Malang (Jawa Timur), muncul pelukis Deng Jian Jin, Huang Hai Rong, Li Jikai, Wei Guang Qing.

    Ilustrasi di atas adalah gambaran permukaan dari gunung es seni rupa Cina yang sedang membangun gundukannya di Indonesia. Sepanjang tahun 2006 memang tak kurang dari 25 peristiwa pameran yang mengusung paling sedikit 800 karya perupa Cina. Pameran itu ada yang ditawarkan secara kuratorial hingga tampil sebagai event budaya. Ada yang hadir sebagai pameran biasa, namun dengan kekuatan silent market yang menakjubkan.

    Ada yang berbahagia dengan hadirnya gunung seni rupa Cina ini. Para kritikus dan pengamat seni, misalnya, merasa mendapat materi baru dalam perbincangan. Seni rupa Cina kontemporer terutama, sebagai anak-pinak dari pergelaran China/Avant Garde 1989, dianggap sebagai titik lahir seni rupa baru Cina pasca-Mao Zedong. Materi ini ditangkap sebagai khazanah paling gres dalam pergunjingan seni internasional. Apalagi datangnya dari Asia, wilayah yang oleh pemaham post-modern diam-diam diharap sanggup menggerus hegemoni referensi seni rupa modern Barat.

    Kelompok lain yang bergembira adalah promotor seni dan galeri Indonesia. Mereka, yang mau tak mau harus berorientasi kepada aspek pendapatan, menganggap seni rupa Cina yang datang ke Indonesia sudah ”final” dalam teknis dan presentasi visualnya. Mereka lalu membandingkan dengan seni rupa Indonesia yang (sebagiannya) terlampau sibuk dengan pewacanaan, sehingga seni segera kehilangan aura serta rona estetika. Sebuah ihwal yang oleh para pengamat seni pernah dikritik sebagai ”jelebreth art”, ”seni rupa buruk rupa”, ”rupane wacana”.

    Nilai ”final” seni rupa ini sejalan dengan mekanisme pembentukan seni rupa di Cina, yang erat hubungannya dengan politik ”kapitalisme baru” di sana. Di negeri yang menyimpan hampir 100 ribu perupa ini sejak 15 tahun silam seni diposisikan sebagai bagian dari industri budaya yang siap jual. Di setiap distrik didirikan perkumpulan seniman dan tempat pelatihan seni. Setiap kota punya organisasi yang memacu kreativitas dan produktivitas para perupa. Denyut seni setiap kota dikoordinasi dan didukung pemerintah provinsi. Perupa yang ”kungfu”-nya sudah hebat segera disertifikasi dan dilepas untuk bersilat ke banyak kota di bulatan bumi.

    Political will pemerintah ini sesungguhnya bermuara pada satu hal: pengumpulan kapital, yang pada ujungnya mengangkat kesejahteraan para ”seniman negara”. Berkenaan dengan konsep pengumpulan kapital itu kreativitas dan produktivitas para perupa dikelola secara profesional oleh para manajer. Manajer inilah yang menembus lorong-lorong seni seluruh dunia, lewat pintu-pintu perhelatan besar seperti aneka art fair dan biennale internasional yang diselenggarakan terus-menerus oleh pemerintah Cina di berbagai kota. Bahkan pemerintah Cina memberi kemudahan kepada galeri-galeri seluruh dunia untuk membuka cabangnya di Cina. Galeri dari berbagai negara ini didorong menjadi hulu-agen distribusi seni rupa Cina ke mancabenua. Maka..., bersitegaklah Galeri Langgeng, Galeri Linda, dan Vanessa Art Link di Beijing.

    Di samping yang bergembira, banyak juga yang khawatir. Kekhawatiran tumbuh ketika mereka memprediksi market. Sebagian perupa Indonesia, misalnya, sempat mengkerut melihat betapa banyak lukisan dan patung Cina yang ditebarkan di sini. Tebaran itu dengan hebat menyerobot pasar seni rupa Indonesia. Apalagi distribusi besar-besaran itu tak dilakukan oleh para agen dari Cina saja, tetapi juga oleh promotor dan galeri Indonesia.

    Kekhawatiran lain muncul dari para kolektor dan connoisseur. Mereka bahkan mencurigai ada permainan yang kurang sehat dari bisnis seni rupa Cina, yang ”efek positif”-nya menggaung di Indonesia dan dunia. Ketidaksehatan itu diberangkatkan oleh para pemain pasar dari negeri Cina sendiri. Memang sering terdengar bahwa aneka lukisan dan patung kreasi seniman Cina didongkrak harganya lewat lelang dengan sistem ceiling. Artinya, karya seni harus dicitrakan laku terjual di arena lelang dengan harga plafon. Bahkan apabila tak ada yang menawar, si agen akan membelinya sendiri dengan harga tinggi. Mereka berharap, setelah berkali-kali terjadi hammer price, harga tinggi itu pun terlembaga.

    Harga ceiling itu menjadi parameter ketika agen menjajakan seni rupa Cina ke negeri manca, termasuk Indonesia. Peminat seni Indonesia yang tak waspada bakal termakan muslihat itu dengan gembira. Transaksi harga tinggi ini, yang biasanya dianggap mengiringi tingkat paripurna apresiasi sebuah komunitas peminat seni rupa, menstimulasi agen seni rupa Cina untuk ramai bermain di Indonesia.

    Budi Setiadharma, kolektor kampiun, mantan Presiden Direktur Astra International, melihat gejala ceiling itu sebagai sesuatu yang membahayakan untuk perkembangan apresiasi seni rupa secara umum. Ia berkata bahwa sekarang banyak kolektor meminati seni lukis Cina bukan lantaran kualitas dan unsur historiografinya, melainkan karena faktor harga yang cepat melesat naik. Padahal permainan yang menyangkut finansial umumnya sangat rentan. Ia khawatir, pada saatnya, harga-karya ”gorengan” itu akan ambruk. Bila ambruk, kolektor akan jera. Bila jera, komunitas seni rupa akan kehilangan sejumlah pemainnya.

    Agresi ekonomi seni rupa Cina di Indonesia sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama. Setidaknya bila dihitung sejak tampilnya lukisan karya perguruan Liaoning di Balai Sidang Senayan sekitar 15 tahun lalu. Dalam pameran ini tidak kurang dari 600 (baca: enam ratus!) karya digelar sekaligus.

    Karya-karya realis fotografis yang serba apik tersebut dijual dengan harga jauh lebih rendah dibanding seni lukis Indonesia. Bahkan, di ujung acara pameran, harga dibanting dengan diskon 60-70%. Dibanting, karena dalam tradisi dagang Cina, tampaknya muskil bila ada barang yang balik ke negerinya. Peristiwa itu, yang segera mendistorsi kesadaran bahwa seni lukis Indonesia menjadi mahal, sempat membangkitkan protes sekelompok perupa Indonesia. Mereka membuat surat permohonan proteksi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

    Tahun 2007 tiba. Kita sudah bisa mengintip program para perupa Cina yang akan meluruk ke Indonesia. Berpuluh-puluh perupa Cina, dari yang masih berdiam di negeri Cina sampai yang sudah berada di luar Cina, siap menyerbu dengan ribuan karya yang akan mengganggu pasar seni rupa bumiputra. Seperti halnya beratus atau beribu perupa Cina lain yang akan mengembarakan karyanya ke pasar global, yang gerakannya tidak mungkin terbendung. Nien nien yu yi, kata orang Cina. Setiap tahun diyakini melimpahkan kelebihan. Karena itu, setiap tahun akan mereka songsong dengan penuh semangat dan kesukacitaan.

    Berbondongnya para perupa Cina ini akan mendatangkan keuntungan bagi dunia seni rupa Indonesia apabila semua dihadapi sebagai tamu, bukan sebagai seteru. Sebagai rombongan Putri Cina yang ayu, bukan sebagai hantu-hantu. Dari kehadiran mereka, tentu dapat kita pelajari spiritnya, kreativitasnya, staminanya, produktivitasnya, keuletannya, manajemennya, internasionalisasinya, pemasarannya. Tentu minus aneka trik penggorengannya. Apalagi bila yang datang adalah perupa sekaliber Zhiwei Tu, yang namanya tiba-tiba terbit di awal tulisan ini.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus