Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah seniman merasa masih kerap dibatasi saat hendak mengekspresikan karya.
Penentangan dikaitkan dengan isu komunisme, agama, dan LGBT.
Penolak seni menggunakan regulasi Undang-Undang ITE, Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme, hingga Undang-Undang Cipta Kerja.
Cholil Mahmud cs sedang bersiap naik panggung saat seorang panitia konser mendatangi mereka. Efek Rumah Kaca (ERK), grup indi asal Jakarta, diminta tidak membawa lagu yang bernuansa kritik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penyelenggara acara diwanti-wanti oleh pemerintah provinsi itu agar kami menyanyikan lagu yang biasa saja," ujar Cholil menceritakan pengalaman beberapa waktu lalu itu kepada Tempo di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu, 10 Mei 2023. Mengutip ucapan si panitia, Cholil mengatakan pemerintah daerah takut penonton terprovokasi. Efek Rumah Kaca tak ambil pusing. "Kami tetap nyanyikan Di Udara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dirilis pada 2007, Di Udara merupakan lagu yang diciptakan Cholil untuk mengenang kematian Munir Said Thalib. Aktivis hak asasi manusia itu tewas diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam pada 2004. ERK memang kerap memasukkan pesan dan kritik sosial dalam lagu-lagu mereka. Dengar saja Mosi Tidak Percaya, Jangan Bakar Buku, Jalang, dan lainnya.
Cholil Mahmud. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Cholil menyesalkan terus adanya upaya pengekangan kebebasan bermusik. “Kenapa masih ada pelarangan-pelarangan di zaman yang terbuka akan kritik?” ujarnya.
Koalisi Seni, lembaga nonprofit pendamping seniman, mencatat terjadi 48 kasus pelarangan kegiatan seni sepanjang 2021. Sebagian besar berkaitan dengan isu komunisme, agama, dan LGBT.
Cholil mengaku terkejut atas pemaparan Koalisi Seni tersebut di Taman Ismail Marzuki, kemarin. “Ternyata banyak juga pelarangannya,” ujar dia. Karena data tersebut diolah dari laporan media massa, dia yakin jumlah faktual pelarangan kegiatan seni lebih besar dari itu.
Berto Tukan, pendiri Gudskul—ekosistem seni di Jagakarsa, Jakarta Selatan—mengatakan pelarangan kegiatan dan produk seni didasari argumen yang bertentangan dengan kultur dan budaya. Sejumlah regulasi menjadi penguat klaim tersebut, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Tap MPRS 1966 tentang larangan menyebarkan paham komunisme, serta Undang-Undang Cipta Kerja.
Maraknya pelarangan kegiatan seni membuat seniman waswas. Akibatnya, Berto melanjutkan, mereka menerapkan swasensor dengan memilah karya untuk ditampilkan. Bisa jadi yang dicoret justru inti dari karya mereka. "Jadi, tidak menunjukkan hasil karya yang ideal," katanya.
Dibatalkan di Sini, Dilarang di Sana
Berto mengatakan beberapa kelompok seniman kerap terancam pembubaran pameran. "Khususnya seni pertunjukan," ujar dia.
Berto dan rekan-rekannya di komunitas Gudskul tergolong beruntung karena memiliki ruang kreatifnya sendiri. Sejak 2015, Berto dari Ruang Rupa bersama kelompok Serum dan Grafis Huru Hara membentuk ruang kolektif yang memungkinkan mereka menampilkan karya tanpa khawatir dibubarkan.
“Kami tidak mengalami pembatasan-pembatasan karena semua kami lakukan di area milik kami,” kata Berto. Kadang kala ada masyarakat yang mempertanyakan karya atau pameran dan penampilan seni mereka yang mengkritik keras banyak hal. “Kalau sudah begitu, kami ajak ngobrol saja.”
Menurut Berto, banyak seniman yang mengeluhkan terhalangnya kebebasan berekspresi mereka. “Yang paling banyak terkena dampak adalah pelaku seni mural,” kata dia. Begitu menggambar bertema kritik lalu menjadi viral, grafiti itu langsung dihapus petugas. Bahkan ada yang didatangi polisi.
Contohnya adalah mural "Jokowi 404: Not Found" di Batuceper, Kota Tangerang, pada Agustus 2021 yang membuat seniman mural itu diperiksa polisi—kemudian dilepas karena petugas tak mendapati pelanggaran hukum pidana. "Itu merupakan bentuk pembatasan karena kepolisian juga tidak bisa menjelaskan alasan yang jelas," kata Berto.
Sebuah pameran virtual instalasi busana yang diselenggarakan oleh Gudskul Ekosistem di Jakarta. Youtube/Gudskul
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, mengakui adanya keresahan para seniman soal kebebasan berkarya. "Banyak hal yang dirasakan tidak sesuai," ujarnya. Dia mengatakan pemerintah akan bekerja sama dengan semua pihak yang memperjuangkan kebebasan berkesenian. "Selain itu, perlu juga ada kritik seni."
Hendra Setiawan, seniman teater, mengatakan, di era keterbukaan informasi saat ini, seharusnya para pelaku kesenian bisa lebih bebas berekspresi. Apalagi akses terhadap ruang-ruang kesenian juga semakin mudah. Namun, dia melanjutkan, seniman belum merasakan kebebasan penuh dalam berkarya. "Seharusnya seni tidak bisa dibatasi selama tidak melanggar etika dan moral, serta mengganggu kebebasan orang lain," ujarnya.
Menghadapi penolakan, Hendra mengajak rekan-rekannya sesama seniman untuk lebih peka terhadap kultur masyarakat setempat. "Pelaku senilah yang harus menyesuaikan dengan keadaan," katanya. Hendra yakin setiap karya seni memiliki segmen audiensi yang berbeda. "Kalau tidak diterima di satu tempat, pasti diterima di tempat yang lain."
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo