Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Taylor Swift: The Eras Tour mendapat respons positif dari penonton di Jakarta.
Mahalnya harga tiket film sempat menjadi bahan keluhan hingga di luar negeri.
Kebebasan berekspresi di dalam bioskop menjadi daya tarik baru.
Jumat malam kerap menjadi agenda spesial Vania, Silvia, dan kawan-kawan untuk kongko. Ibarat kata, sekadar merayakan datangnya akhir pekan atau yang konon kerap disebut Thank God It's Friday atau TGIF. Biasanya mereka kerap kongko di kedai kopi di sekitar Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Jumat malam lalu, lokasi pertemuan mereka pindah ke sebuah bioskop di pusat belanja mewah di Jakarta Pusat. Ya, kali ini mereka memutuskan untuk menonton film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan sembarang film. Yang mereka tonton adalah Taylor Swift: The Eras Tour, sebuah film dokumenter yang menyajikan tur konser sungguhan Taylor Swift. Kebetulan mereka suka dengan lagu-lagu penyanyi dan penulis lagu berkebangsaan Amerika Serikat itu.
Berbekal konten-konten media sosial dari negara luar yang sudah menayangkan film tersebut, Vania cs punya bayangan menonton Taylor Swift: The Eras Tour bakal menyenangkan. Sebab, sesuai dengan unggahan konten, para penonton diperbolehkan berdiri, berjoget, bernyanyi bersama, sampai mengambil swafoto dan swavideo.
"Sepertinya lebih mirip nonton konser dibanding nonton film," kata Vania.
Film Taylor Swift The Eras Tour. Dok. Taylor Swift
Benar saja, ketika film berdurasi 165 menit itu diputar, para penonton mendadak menggila. Mereka terbawa suasana riang konser. Ada yang berjoget bersama, ada yang loncat-loncat, dan ada yang bernyanyi sambil berpelukan.
Suasana menonton film yang biasanya khusyuk, tenang, dan duduk teratur kini berubah drastis. Tak ada yang berkeberatan jika ada penonton yang berteriak dan bernyanyi kencang saat menonton The Eras Tour.
Salah satu keseruan terjadi ketika Taylor Swift menyanyikan lagu-lagu favorit penonton, seperti Antihero, Blank Space, Shake It Off, Cruel Summer, dan Cardigan. Seketika para penonton berteriak kencang. Seperti Vania dan kawan-kawan yang berjoget heboh saat lagu Shake It Off dan Style dinyanyikan Taylor Swift.
"Perasaannya dapat banget, seru banget," ujar Vania.
Memang ada lebih dari 40 lagu yang dimasukkan dalam film The Eras Tour. Namun film itu tak melulu menayangkan lagu. Sutradara Sam Wrench memasukkan unsur lain, dari cerita di balik panggung, persiapan konser, hingga reaksi penonton konser.
Ada pula sesi wawancara dengan Taylor Swift dan para anggota timnya. Salah satu hal yang diceritakan perempuan 33 tahun itu adalah pentingnya tur konser kali ini. Ia ingin mengajak penggemar menyelam ke dalam 10 album musiknya. Kesepuluh album itu adalah Taylor Swift (2006), Fearless (2008), Speak Now (2010), Red (2012), 1989 (2014), Reputation (2017), Lover (2019), Folklore (2020), Evermore (2020), dan Midnight (2022).
Seperti lazimnya film dokumenter, ada pula sesi cerita perjalanan karier Taylor Swift, dari bernyanyi, menulis lagu, hingga menjelma menjadi raksasa industri hiburan dunia modern ini. Meski sekadar wawancara, tetap saja ada penonton yang berteriak kagum saat Swift bertingkah.
Bagi Vania dan kawan-kawan, penayangan film Taylor Swift: The Eras Tour sangat memuaskan mata dan hati. Perempuan 36 tahun itu menyebutkan kualitas audio dan visual di dalam bioskop kali ini terasa berbeda dibanding saat menayangkan film-film pada umumnya.
"Entah cuma perasaan saya atau bagaimana, tapi lebih kencang suaranya dan lebih terang gambarnya," tutur dia.
Sementara itu, Rossi mengaku senang para penonton diberi kebebasan untuk menikmati film konser Taylor Swift. Bagi dia, berjoget dan bernyanyi bareng di dalam studio bioskop menjadi pengalaman baru yang menyenangkan.
"Rasanya seperti menonton konser betulan. Cukup mengobati kesedihan Taylor Swift enggak konser di Indonesia," katanya.
Sementara itu, Silvia mengaku agak kecewa lantaran ia dan rombongan tak sempat menyiapkan ritual tukar gelang atau friendship bracelet. Aksi tukar gelang itu sudah menjadi tradisi di kalangan Swifties—julukan para penggemar setia Taylor Swift—saat menonton konser, terutama dalam The Eras Tour.
Nah, sejumlah penonton film The Eras Tour di negara lain sempat mengunggah ritual tukar gelang saat menonton film. "Tadinya maju-mundur mau siapkan gelang, tapi akhirnya enggak jadi," kata perempuan 34 tahun itu.
Kelompok penonton lain, Sarah dan lima kawannya, juga mengaku puas akan penampilan Taylor Swift. Namun Sarah sempat menyayangkan harga tiket menonton film The Eras Tour yang dianggapnya kelewat mahal.
Adapun harga tiket film Taylor Swift: The Eras Tour di bioskop di DKI Jakarta tercatat sebesar Rp 200-300 ribu. Sedangkan harga tiket film biasanya tak sampai Rp 100 ribu. Menurut Sarah, harga tersebut sempat membuat dia dan teman-temannya kaget. Namun, setelah menonton filmnya, perempuan 27 tahun itu menganggap harga Rp 200 ribu cukup sepadan dengan kualitas tontonan.
"Kalau dipikir-pikir sih ada yang menganggap mahal banget, tapi ada yang menganggap cukup masuk akal karena ini ibaratnya menonton konser," ujar Sarah.
Mahalnya tiket film Taylor Swift: The Eras Tour juga sempat menjadi bahan perbincangan dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, tak sedikit orang yang menganggap Taylor Swift terlalu serakah dengan mematok harga terlampau tinggi.
Sejumlah media menyebutkan harga rata-rata tiket bioskop di negara tersebut sebesar US$ 11, sementara harga tiket film The Eras Tour bisa dua atau tiga kali lipatnya. Namun, kembali lagi, kualitas tontonan yang disajikan dalam film konser bintang Taylor Swift memang menghadirkan pengalaman berbeda dengan film biasa.
Penampilan Taylor Swift dalam film Taylor Swift The Eras Tour. Dok. Taylor Swift
Sebelumnya, film Taylor Swift: The Eras Tour sukses memecahkan rekor sebagai film konser terlaris sedunia, menurut data situs web The Numbers pada Kamis, 26 Oktober 2023. Hampir dua minggu setelah pemutaran perdananya, film tersebut mengantongi pendapatan kotor dunia sebesar US$ 178,7 juta atau lebih dari Rp 2,7 triliun.
Catatan ini melampaui rekor sebelumnya yang dipegang film Justin Bieber: Never Say Never (2011), yang kala itu mengantongi pendapatan kotor dunia US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.
Pendapatan luar biasa ini disebabkan oleh Taylor Swift yang memang memiliki jutaan penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Kualitas bernyanyi dan kemampuannya membuat lagu menjadi daya tarik luar biasa. Selain itu, kepribadian yang ramah dan tak neko-neko membuat fan semakin cinta kepada Taylor Swift.
Genre film The Eras Tour juga sempat menjadi bahan perdebatan warganet lintas negara. Sebab, tak sedikit yang menganggap film dokumentasi konser tak seharusnya diputar di bioskop dengan alasan tak punya nilai sinematografi yang bagus.
Pengamat film Hikmat Darmawan menganggap film Taylor Swift: The Eras Tour sangat layak ditayangkan di bioskop. Sebab, sejatinya film yang punya tema di luar fiksi itu masuk kategori film dokumenter.
Alih-alih terjebak dalam perdebatan tersebut, Hikmat mengajak masyarakat melihat fenomena film The Eras Tour. Menurut dia, film ini merupakan bagian dari bisnis hiburan raksasa yang dikembangkan Taylor Swift. Cara cerdas membungkus sebuah konser ke dalam dokumentasi yang bisa dijual dalam bentuk film merupakan langkah bisnis yang cemerlang.
Lagi pula basis fan yang tinggi nan militan ditambah pengalaman unik menonton konser di dalam studio bioskop punya nilai tambah sendiri. "Bayangkan kalau cuma menonton lewat gawai, sensasinya tidak akan seseru di bioskop," tutur Hikmat.
Hikmat mengatakan sejatinya film dokumenter konser bukan hal baru. Sebab, sebelumnya musikus-musikus besar, semacam The Beatles dan Michael Jackson, pernah menyuguhkan karya serupa. Bahkan di Indonesia pun film dokumenter konser pernah dibuat dengan kualitas tinggi berjudul Kantata Takwa.
Film ini merupakan dokumentasi konser grup musik legendaris Kantata di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 1991. Uniknya, konser musik itu digelar dengan format drama bertema kondisi politik dan sosial pada saat itu. Adapun film Kantata Takwa yang disutradarai Eros Djarot dan Gatot Prakosa itu baru tayangkan pada 2008.
"Film ini patut dicatat eksperimentasi dalam format konser dokumentasi dari dalam negeri."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo