Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seorang ’Anarkis’ dari Yunnan

He Yunchang, seorang seniman performance Cina yang kontroversial, didatangkan ke Galeri Nasional, Jakarta. Ide-idenya gila, tapi hanya berakibat pada diri sendiri.

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perawakannya biasa saja. Jauh dari atletis. Malah sosoknya bisa dibilang kuyu. Ia terus-menerus mengisap rokok merek Hongtashan—itu rokok putih produk Cina. Ia tak bisa bahasa Inggris, tapi tampak ramah. Senyum-senyum terus bila bertemu.

Itulah He Yunchang, 41 tahun, salah seorang seniman performance Cina yang kini diperhitungkan di dunia seni. Karya-karyanya berbasis pada pengalaman-pengalaman yang bisa membuatnya mati. Paling tidak, tubuhnya selalu berada pada ambang batas kesakitan. Dan setiap performance-nya didokumentasikan dari tahun ke tahun.

Pada pameran The Ability to Exist ini kita dapat melihat serangkaian dokumentasi apa yang telah diperbuatnya. Foto-foto besar yang dipajang di dinding Galeri Nasional langsung menyajikan gambaran bahwa orang ini memiliki gagasan-gagasan yang tak terpikirkan orang. Gagasan-gagasan gila. Lihat bagaimana pada 1999, dengan sebuah crane ia digantung terbalik di atas sungai kampung halamannya di Yunnan. Dalam posisi begitu ia mengerat tangannya dengan pisau. Tetes-tetes darah yang jatuh—membuat percikan-percikan merah. Itulah karyanya.

Lihat foto Niagara. Ada sebuah titik kecil dekat air terjun raksasa di perbatasan Amerika-Kanada itu. Dan titik kecil adalah He Yunchang. Pada Oktober 2005, saat hawa begitu dingin, di dekat air terjun itu, ia bugil lalu mengikatkan tali pada tubuhnya. Ujung tali dicencangkan pada sebuah pohon. Tali itu panjangnya 40 meter. Di ketinggian itu ia mendekati tumpahan air. Tubuhnya hanya berjarak delapan meter dari bidang sungai yang sangat lebar. Ia bisa terseret arus deras. Ia malah nekat hendak memotong tali, tapi tak sampai terjadi karena polisi menangkapnya.

Aksi-aksi yang dilakukannya bagi orang awam sangat tidak masuk akal, abnormal, absurd. Wajarlah jika orang bertanya apakah kesintingannya itu sebuah seni? Di mana letak keindahannya? Pada 2006 di Inggris, misalnya, ia membuat orang geleng-geleng kepala ketika membuat performance berjudul Touring Round Great Britain with Rock.

Ia pergi ke pantai Boulmer di kawasan timur Inggris. Ia memungut sebuah batu karang sebesar sepatu. Batu itu ia bawa berjalan menyusuri Inggris Raya. Selama 112 hari ia berjalan menempuh jarak 3.500 kilometer. Dari foto, kita bisa melihat bagaimana ia menyusuri pantai, pedesaan, bukit, pegunungan, padang rumput, menembus rawa-rawa, melintasi danau yang jarang ada orang. Ia berjalan tiap hari 35 km. Betapapun turun hujan lebat, ia terus berjalan mengenakan jaket hujan. Batu itu tak pernah lepas dari genggamannya.

Karya ini dibiayai British Artist Fund dan Chinese Art Centre di Manchester. ”Semuanya hanya 200 ribu pound,” kata He Yunchang. Menurut dia dana itu habis untuk menyewa van untuk tidurnya di malam hari dan membayar fotografer yang bergantian mengikutinya. Mobil van itu menunggu di titik-titik tertentu. Ia harus bisa tepat waktu sampai ke van yang menantinya. Bila tidak, biaya penyewaan bertambah. Untuk itu sering ia tidak lagi berjalan, tapi berlari. Rute perjalanannya melingkar. Berangkat dari pantai Boulmer, setelah tiga setengah bulan ia kembali lagi ke situ, meletakkan batu itu di tempat asalnya. ”Saya kembalikan begitu saja,” katanya. Saat ia berangkat, di foto tampak kepalanya gundul, ketika pulang rambutnya panjang.

Kadang apa yang dikerjakannya tampak bodoh, naif; sesuatu sia-sia seperti pekerjaan Don Kisot atau Sisifus. Pada 2000, misalnya, di Sungai Su Zho di Shanghai, dengan sebuah ember ia menciduk air, menumpahkannya ke perahu sampai bergalon-galon. Perahu itu lantas ia kemudikan sampai lima kilometer ke muara sungai. Di situ ia menciduk kembali air di perahu dan menumpahkannya kembali ke sungai.

Karyanya yang membahayakan adalah ia pernah membalut seluruh tubuhnya dengan pentul korek api. ”Itu menghabiskan ribuan pak korek api, membutuhkan empat orang untuk mencopoti pentul selama tujuh hari,” kenangnya. Lalu ia merokok dengan koran digulung. Sepercik api kena korek itu bisa membakar tubuhnya.

Pada 2003, ia pernah mengecor telapak tangan kanannya di sebuah batu, membuat ia tak bisa melangkah ke mana-mana. Pada tahun berikutnya, ia mengulangi hal itu dengan lebih ekstrem. Di perhelatan Tokyo Art Project di Beijing, ia dikurung dalam sebuah kotak semen, dengan sebuah lubang kecil. Ruang dalam kotak itu hanya cukup membuat ia jongkok dan berdiri. Penonton yang lewat tak tahu ada orang dalam kotak itu. Ia bertahan di dalam dengan sebuah ponsel. Setelah 24 jam, kubus semen itu dijebol dengan cara dipalu dari luar agar ia bisa keluar.

Apa yang dilakukan He Yunchang ini, menurut kurator Jiang Ming yang mendampinginya di Galeri Nasional, Jakarta, merupakan perkembangan seni performance yang di Cina tumbuh luar biasa sejak 1990-an. Ming menyebut seni ini sebagai sebuah behavior art. Di sini seniman menggunakan tubuhnya sendiri untuk membuat karya yang membuat publik terguncang, melakukan provokasi-provokasi yang menyulut perdebatan sosial dan moral.

Seorang seniman bernama Zhu Yu dalam Shanghai Biennale 2004, misalnya, pernah memakan fetus bayi mati yang telah busuk yang dicuri dari sebuah fakultas kedokteran. Karyanya ini untuk mengkritik perdagangan bayi di Cina. Saat ”kanibalisme kontemporer” ini ditayangkan di televisi Channel 3 Inggris, FBI dan Scotland Yard, konon, sampai melakukan investigasi.

Seniman Cina lain, Ai Weiwei, pada perhelatan besar Documenta 2007 di Kassel, Jerman, membawa 1.001 kursi antik Cina. Kursi-kursi itu disebar di sudut-sudut kota. Ia lalu memboyong 1.001 petani dari sebuah pedesaan Cina yang terpencil, yang keluar dari desanya saja tak pernah. Para petani itu disuruh duduk di kursi mewah zaman dahulu itu—dan melihat-lihat saja suasana orang lalu-lalang di kota Kassel.

Yang membedakan He Yunchang dengan seniman lain, menurut Jiang Ming, adalah: anarki Yunchang dilakukan terhadap diri sendiri. Karya-karya Yunchang selalu bertolak dari pengalaman yang membuatnya dapat menyelami seberapa batas ketakutan, kesepian, keputusasaan, ketidakpastian ada dalam dirinya. Seberapa jauh batas ketahanan psikologis dan fisik yang ada dalam dirinya. Maka dari itulah, pada setiap performance kadang ia memberi pengumuman agar penonton tak panik apabila ia nanti terluka atau terjadi apa-apa, sebab itu sudah risiko dia.

Kepada Tempo, seperti diterjemahkan Xie Hong, pacarnya, Yunchang mengatakan, setiap karyanya berdasarkan konsep yang matang. ”Apakah Anda rutin berolahraga untuk mempersiapkan tubuh Anda?” ”Tidak. Saya suka catur saja,” katanya, tertawa.

Anak pekerja tambang ini seolah ingin mengatakan tubuhnya adalah tubuh manusia biasa seperti kita sehari-hari. Dengan begitu, risiko terluka selalu ada. Ketika ia melakukan performance mengajak secara bergantian 100 orang untuk gulat melawan dirinya di Kunming, Cina, pada 2004, tubuhnya hancur. Pandangan matanya kabur. Saat bertarung ia tak bisa lagi melihat. Sebulan lebih setelah itu, salah satu kakinya bengkok, tak bisa bergerak.

Ia juga pernah pingsan di tengah pertunjukan berjudul Golden Sunshine. Itu pertunjukan yang menampilkan dirinya tercantel dan diayun-ayunkan, tergantung di depan sebuah penjara di Yunnan, 1999. Seluruh tubuhnya dilumuri cat kuning. Sinar matahari yang panas terserap ke dalam tubuhnya. Ia membawa cermin untuk membelokkan cahaya matahari. Ia bertarung melawan sinar itu. Ia pingsan dua kali, kalah bertarung dengan panas matahari.

Dalam setiap performance-nya ia mengaku juga mengantisipasi polisi. Pada 11 September 2007, untuk memperingati tragedi World Trade Center di Washington Square Park, ia telanjang bulat menyusun balok-balok. Ketika itu musim dingin. Semua yang lewat mengenakan mantel tebal. Tubuh Yunchang menggigil. Sama seperti di Niagara, ia kemudian ditangkap polisi, namun polisi selalu membebaskannya. Dalam konsepnya, karya-karyanya tidak bertendensi mengganggu sosial. Anarki dilakukan terhadap tubuh sendiri.

”Siapa yang bisa melarang kalau saya ingin melukai badan saya sendiri? Saya punya hak untuk melakukan itu. Kalau rusak, toh yang rusak itu tubuh saya sendiri.”

Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus