Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kukupu tilu kulawu Harimumu hideung deui
Tiga kupu-kupu warna kelabu Kenangan hitam kembali
SATU bait mamaos, senandung Sunda, itu mengalun merdu dengan nada halimpu, lembut mendayu-dayu. Penembangnya seorang lelaki tua berkulit kuning. Tubuh tipis dibalut celana dan kaus abu-abu sederhana dengan rambut panjang sebahu membuatnya lekas terlihat sebagai seorang seniman. Dia adalah Tan Deseng, 65 tahun, etnomusikolog Sunda sekaligus maestro musik tradisional Cina.
Begitu banyak karya musik dan tari yang lahir dari tangannya. Deseng yang mahir memetik gitar, kecapi, dan meniup suling Sunda itu dianggap sebagai salah satu pelopor tari jaipongan yang amat populer di tatar Sunda. Menurut dia, tarian dengan goyang pinggul menggoda itu sejatinya merupakan pengembangan dari tarian ketuk tilu versi Karawang. Dia juga fasih nembang cianjuran dan degung serta memainkan karawitan, rebab, dan gendang.
Lahir dan menjalani masa kecil di Jalan Tamim, Bandung, Deseng cepat menyerap keindahan seni musik dan tari Sunda yang didengar dan dilihatnya sehari-hari. Sebuah keniscayaan yang diakuinya secara jujur. ”Jiwa seni atau kepekaan terhadap musik amat dipengaruhi alam sekitar dan peradaban tempat kita hidup dan dilahirkan,” ujarnya.
Lantaran mempercayai pengaruh lingkungan itu, Deseng pernah memarahi seorang wartawan yang bertanya mengapa ia begitu menguasai kesenian Sunda. ”Kalau saya yang makan butir padi dan minum tetes air dari negeri Indonesia lalu memahami dan menyukai musik Indonesia, khususnya Sunda, apa salahnya?” ujarnya. Semakin dewasa, ia malah kian merasa dekat dan bertanggung jawab terhadap kesenian Sunda.
Toh, tertambat di musik etnik Sunda tak membuat Deseng meninggalkan sama sekali seni budaya etnik leluhurnya, Cina. Hingga kini dia bahkan selalu menjadi rujukan para seniman Indonesia manakala akan mengkolaborasi musik dan tari etnik lokal dengan Cina.
Pengakuan terhadap keterampilan Deseng antara lain datang dari musisi Remy Silado. Deseng, menurut Remy, sangat memahami sejarah Cina dan bisa membedakan setiap dinasti sesuai dengan peristiwa sejarah. ”Dia menguasai tulisan Cina sampai tingkat kaligrafi,” katanya. Remy juga mengakui kemampuan musikalitas pria kerempeng itu dalam musik klasik Barat. ”Dia punya kemampuan Primatista,” ujarnya. ”Sekali mendengar langsung bisa menirukan.”
Empat tahun lalu, bertempat di Gedung Grand Estern, Bandung, Deseng tampil sebagai dirigen untuk 84 personel Tionghoa yang membawakan lagu klasik Sunda Mekar yang menjadi lambang dangiang Bandung. Sebelumnya, mereka membawakan lagu Ni Nung Wo Nung yang terlelang Rp 100 juta.
Untuk mendukung acara promosi wisata dan perdamaian dunia dengan tajuk Indonesia Bersatu 2007, Deseng menampilkan pergelaran musik kerja sama Indonesia-Cina. Acara bertema, ”Berbakti dan Mewujudkan Jiwa Persatuan Bangsa Indonesia” itu digelar di Jakarta dan Bandung.
Salah satu puncak pengakuan terhadap dedikasinya di bidang musik adalah anugerah Metronome yang diterima Deseng dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia pada 2007. Penghargaan serupa diberikan kepada Idris Sardi (violis legendaris Indonesia), almarhum Denny Sabri (pemandu bakat musik legendaris), Nortier Simanungkalit (bapak paduan suara Indonesia), dan almarhum Benyamin Suaeb (musisi Betawi legendaris).
Kriteria penerima Piala Metronome adalah pengabdian diri dan kontribusi nyata kepada kehidupan dan perkembangan musik dalam negeri, tradisional, klasik, hingga pop, dengan segala kembangannya. ”Yang dilihat adalah lamanya pengabdian dan kontribusi yang diberikan, tanpa melihat bentuk dan seberapa luas dampak positifnya. Usia tidak menjadi penghalang,” kata James F. Sundah, salah satu juri. Deseng dinilai memenuhi kriteria itu, bahkan hampir semua pengusul mereferensikan namanya untuk musik Sunda.
Syahdan, pada 1973, dunia musik dikejutkan oleh dua orang ahli dari Eropa yang menciptakan alat bernama keyboard dan rhythm box . Alat musik itu dapat menghasilkan suara sekian banyak dari alat musik yang biasanya dimainkan oleh sejumlah orang. Padahal bangsa Indonesia, menurut Deseng, sudah lebih dulu menciptakan instrumen musik semacam itu.
Alat musik yang dimaksudnya adalah kecapi. Apa keistimewaannya? Instrumen musik berdawai 18 dengan kotak kayu berbentuk peti itu, menurut Deseng, bisa menghasilkan karakter yang tak kalah dengan keyboard. Bila dimainkan dengan 10 jari tangan dengan keterampilan tertentu, bisa mengeluarkan suara rhythm section, beat, lead, dan fill. Bedanya, keyboard alat musik elektrik, sedangkan kecapi akustik.
Bakat seni Deseng adalah titisan dari ayahnya, Tan Tjing Hong, seorang Cina totok yang berasal dari Zhangpu, Hokkian selatan. Sang ayah tipikal seorang ”terpelajar” Cina tempo dulu. Dia sastrawan amatiran yang menulis dalam bahasa dan huruf Cina. Dia juga terampil memainkan instrumen musik tradisional Cina dan melukis kaligrafi. Menjadi tabib atau shinse yang bisa mengobati orang sakit merupakan keahliannya yang lain.
Dari delapan anak Tan Tjing Hong, beberapa menjadi musisi. Tan Detjeng, anak kelima, sekarang menjadi guru musik dan vokal di Dandong, Cina timur laut. Tan Dekong, anak ketujuh, piawai memainkan yangqin (semacam kecapi yang dimainkan dengan cara diketuk) dan ehru (rebab Cina berdawai dua).
Deseng, yang lahir pada 22 Agustus 1942, belajar meniup harmonika dan memetik guzheng (kecapi Cina) dari kakak terdekatnya, Detjeng. Sejak kecil, ia terpukau tiap kali mendengar suara guzheng dan piul (biola). Ketika masih tinggal di Gang Dulatip, tiap pergi ke sekolah ia selalu melewati stasiun kereta api Bandung. Di sana ia biasanya mampir mendengar gesekan maut Mang Adang, seorang pengamen biola yang andal. Ia juga keranjingan menonton aksi Ki Sunarya, dalang wayang golek yang kondang di Bandung.
Keterampilan musik Deseng berkembang pesat. Menjelang remaja, ia sudah menguasai musik karawitan Sunda, pop Barat, musik Mandarin, dan sejumlah musik modern seperti jazz, blues, dan bosanova. Ia juga akrab dengan karya klasik ciptaan Mozart atau Beethoven. Deseng tak cuma piawai memainkan kecapi, suling, dan rebab, tapi juga guzheng, dizi, ehru, dan ketera.
Berbagai keterampilan itu tak membuatnya cepat puas hati. Pada usia 17 tahun, Deseng memperdalam ilmu kepada empu kecapi Ebar Sobarna dan Sutarya. Dua tahun kemudian ia belajar lagu cianjuran kepada Nyi Mas Saodah yang dikenal sebagai penembang paling beken di Jawa Barat.
Selanjutnya Deseng memperdalam khazanah musik Sunda dengan menyambangi padepokan wayang golek Giri Harja. Di sana ia menimba ilmu dari Abah Sunarya dan Asep Sunandar. Ia juga belajar menyanyikan lagu Sunda dari Titin Fatimah, Euis Komariah, dan Tati Saleh. Di jalur musik diatonis, Deseng berguru dan menjadi murid kesayangan gitaris jazz legendaris Eddy Karamoy.
Namun kegilaannya kepada musik membuat orang tuanya cemas. Apalagi ia cuma menyelesaikan pendidikan setingkat kelas dua sekolah menengah pertama. Maka ayahnya, yang ketakutan akan masa depannya, mendesak Deseng belajar berdagang seperti halnya keturunan Tionghoa umumnya. Dengan terpaksa, Deseng mematuhi keinginan ayahnya.
Pada usia 14 tahun, bersama seorang temannya ia mencoba peruntungan berdagang besi di Palembang. Tapi, pada suatu malam, di kamar kosnya secara tak sengaja ia mendengar alunan musik Sunda dari radio tetangga. Air matanya pun menitik teringat kampung halaman. Keesokan harinya tanpa pikir panjang ia langsung berkemas pulang ke Bandung. Ia mengumpulkan ongkos pulang dari hasil mengamen di kapal. Secara keseluruhan, ia cuma bertahan empat bulan di rantau.
Deseng juga pernah berdagang lotek dan emas. ”Tapi hanya dalam hitungan bulan semua barang ludes, bangkrut,” ujarnya. Beruntung, sejak 1960-an ia memiliki dapur rekaman yang sampai sekarang menjadi sumber pendapatan tetapnya.
Kekhawatiran ayahnya belakangan terbukti. Sebagai seniman, hidup Deseng serba kekurangan. Beruntung, ia bertemu pengusaha kaya dari Cicadas yang terpesona oleh permainan musiknya. Dia punya putri bernama Tan Lie Joe. Singkat cerita, Deseng dijodohkan dengan Lie Joe. Mereka menikah pada 1964 dan dikaruniai seorang putri. Namun jurang perbedaan yang membentang membuat biduk rumah tangga mereka terempas pecah 12 tahun kemudian.
Perpisahan dengan istri membuat kehidupan Deseng kembali kusut. Keluarganya menjauh. Ia lantas mencari ketenangan pada spiritualitas. Sampai pada suatu petang ia mendengar suara azan magrib berkumandang. Batinnya tiba-tiba bergetar. Ia seketika memeluk Islam dengan restu keluarga yang kembali mengakuinya. Di depan namanya terpasang kata Mohammad.
Setahun setelah bercerai, Deseng menikah lagi dengan Nia Kurniasih, mojang asal Subang, Jawa Barat. Mereka dikaruniai dua putri: Fitri Chen Huimin alias Cici dan Tantri Chen Huiyun alias Dede. Kedua putrinya itu kini telah menikah dan memberinya dua cucu.
Secara rohani Deseng sudah memperoleh ketenangan. Tapi secara materi sesungguhnya ia masih didera kekurangan. Sampai kini ia masih hidup nomaden, berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Deseng sempat pindah ke Jakarta, tapi kemudian kembali ke Bandung, tinggal di Jalan Murni I nomor 39, lantas pindah ke daerah Muara, Malabar, dan Karasak.
Rumah yang ditempatinya sekarang di Jalan Babakan Jeruk III nomor 16 Terusan Pasteur, memang cukup besar dan berada di kawasan elite, tapi lagi-lagi masih berstatus kontrak. Rumah itu menjadi markas Padepokan Pasundan Asih, tempat ia bermusik dan menularkan kepiawaian musiknya. Mereka yang belajar di sana datang dari beragam kalangan. Ada dokter, insinyur, pengusaha, tukang sayur, atau seniman murni. ”Kebanyakan keturunan Cina yang mencintai seni budaya Sunda,” ujarnya.
Toh, dengan arif, Deseng mengecilkan arti ”hidup susah”. Dia mengatakan, ”Dalam hidup, saya masih bisa nganteur ka nu sieun, nalang ka nu susah, nulung ka nu ripuh, nyaah ka nu poekeun (mengantar orang yang ketakutan, membantu orang yang perlu, menolong orang yang kesulitan, dan sayang pada orang yang sedang kehilangan arah).”
Nugroho Dewanto, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo