Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seorang Maestro dengan Paru-paru Basah

Ismail Marzuki (1914-1958) meninggal pada usia 44 tahun karena paru-paru basah. Lelaki Betawi kelahiran Kampung Kwitang ini mewariskan ke kita sekitar 200 lagu indah dengan tema beragam, dari perjuangan, nasionalisme, kritik sosial, hingga percintaan. Siapa pun tak menyangkal lagu semacam Juwita Malam sampai Aryati sampai sekarang masih enak didengar.

Ahad, 11 Mei lalu, merupakan 100 tahun hari kelahiran Ismail Marzuki. Pelbagai acara pun digelar menyambut perayaan seabad sang pencipta. Dari pameran partiturnya, pentas teater, hingga pertunjukan orkestra. Tempo menelusuri jejak-jejak kehidupan Ismail, termasuk penyebab kematiannya.

Keluarganya menduga penyakit paru-paru basah yang diidap Ismail Marzuki diperparah setelah ia sering berlatih menggunakan saksofon milik temannya yang dibelinya. Tempo juga menyajikan "polemik" adanya sinyalemen plagiarisme dalam beberapa karyanya.

12 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan berjarik yang digambar di atas kertas berukuran A4 itu tampak tengah bertafakur. Tak ada senyum di bibirnya. Mata sendunya menatap bunga yang bertebaran di atas tanah. Pada halaman di samping kiri gambar itu tercantum notasi balok tak berlirik dengan judul Goegoer Boenga di Taman Bakti.

Itulah partitur lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dengan tulisan tangan dia sendiri. Begitu pula gambar perempuan di sebelahnya merupakan goresan Ismail. Pada partitur Soembangsihkoe, yang dilengkapi lirik bertulis tangan rapi, Ismail menghiasinya dengan gambar pria berpeci dan memakai beskap tengah berdiri tegak. Sedangkan pada notasi Sri Rama, Dimana Sitha, dia menggambar dua tokoh mirip wayang orang dengan tulisan "Sri Rama".

Ketiga partitur berhias gambar itu bagian dari 130 lembar partitur tulisan tangan Ismail Marzuki yang dipamerkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada 7-14 Mei ini. Selain mempertunjukkan partitur yang amat berharga tersebut, pameran yang merayakan "100 Tahun Ismail Marzuki" itu menampilkan sekitar 60 lembar foto, biola, akordeon, rebab, dan jam dinding kayu merek Ever Electric Clock peninggalan Ismail. "Rasanya ini pertama kalinya barang-barang milik Ismail Marzuki dipamerkan," ujar Agung Sunaryo, Kepala Bidang Program Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki.

Selain menggelar pameran di atas, TIM mengagendakan serangkaian acara yang akan digelar hingga 24 Mei mendatang. Di antaranya diskusi terbuka bertema "Menimbang 100 Tahun Ismail Marzuki", Pertunjukan drama Ismail Sang Pahlawan oleh Teater Tanah Air, dan sebagai puncaknya akan digelar "Konser 100 Tahun Ismail Marzuki" di Teater Jakarta.

Perayaan serupa digelar berbagai pihak. Yayasan Musik Sastra Indonesia, misalnya, akan mengadakan rangkaian acara bertajuk "Mengenang 100 Tahun Ismail Marzuki" sepanjang 11 Mei-29 Agustus 2014. Sebagai acara puncak, yayasan yang didirikan antara lain oleh Pia Alisjahbana, Dedi Sjahrir Panigoro, dan Ananda Sukarlan itu akan menggelar "Konser Mengenang 100 Tahun Ismail Marzuki" di Soehanna Hall, The Energy Building, Jakarta, pada 29 Agustus mendatang.

Ya, tahun ini merupakan 100 tahun kelahiran Ismail Marzuki, salah seorang komponis besar yang dimiliki Indonesia. Sepanjang karier musiknya, Ismail menciptakan lebih dari 200 lagu. Selain membuat lagu perjuangan dan cinta tanah air seperti Rayuan Pulau Kelapa dan Indonesia Tanah Pusaka, Ismail menciptakan tembang pop, di antaranya Juwita Malam, Aryati, dan Sabda Alam. "Lagu-lagunya merdu dan romantis, melodinya sederhana," kata pengamat musik Suka Hardjana.

Biduanita senior Titiek Puspa mengenang Ismail sebagai pencipta dan penggubah lagu yang hebat. "Lagu-lagunya bukan hanya satu warna. Ada yang bertema heroik, cinta tanah air, dan percintaan. Hebatnya, semua lagunya sempurna," ucapnya. Titiek, 76 tahun, juga mengagumi kemampuan Ismail menggubah lirik lagu, yang menurut dia sangat mengena. "Kalau disimak dari lirik-lirik lagunya, sepertinya Pak Ismail itu orangnya romantis."

1 1 1

Seabad silam, tepatnya pada 11 Mei 1914, Ismail Marzuki lahir di Kampung Kwitang Lebak, Batavia—di sekitar kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ayah Ismail, Marzuki Saeran, seorang guru mengaji dan anggota grup musik rebana. Ibunya meninggal ketika Ismail baru berusia tiga bulan. Ismail kemudian diasuh kakaknya, Anie Hamimah. Di lingkungannya, keluarga Marzuki termasuk golongan menengah. Marzuki bekerja sebagai kasir di Ford Reparatie Atelier Tio, perusahaan bengkel mobil di Senen Raya, dengan gaji sekitar 150 gulden.

Dengan gaji itu, Marzuki bisa menyekolahkan Ismail ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Idenburg—salah satu sekolah dasar unggulan—di Menteng. Dia juga menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli pelat (piringan hitam) lagu-lagu yang digemarinya, dari lagu Barat, irama Melayu, rumba, tango, samba, hingga keroncong. Boleh dibilang, dari koleksi pelat ayahnya itulah Ismail pertama kali bersentuhan dengan musik. Ismail kecil, yang akrab dipanggil Maing di lingkungan Kampung Kwitang, bisa duduk berjam-jam di depan gramofon menyimak lagu-lagu koleksi sang ayah.

Kegemaran musik Ismail kian menjadi ketika dia bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sekolah menengah tingkat pertama itu, Ismail membentuk kelompok musik dan dia memainkan banjo. Band Ismail itu kerap mengisi pelbagai acara kesenian di sekolah. Pada saat itu, Ismail juga sudah mulai mencoba mengarang lagu.

Setamat dari MULO, Maing, yang pandai berbahasa Belanda dan Inggris, dengan mudah diterima bekerja sebagai kasir di perusahaan Socony Service Station. Hanya, dia tak bertahan lama di perusahaan itu. Ismail kemudian bekerja sebagai sales di KK Knies, yang berkantor di Noordwijk Straat—kini Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Knies menjual pelbagai alat musik, perekam, serta piringan hitam merek Polydor dan Columbia.

Ismail betah bekerja di perusahaan itu. Kegemarannya akan musik tersalurkan. Saat bekerja di sana pulalah dia berkenalan dengan sejumlah musikus terkenal zaman itu. Salah satunya Hugo Dumas, pemimpin Orkes Lief Java (Hidup Jawa). Kelak, saat Ismail menginjak umur 23 tahun, di orkes keroncong itu ia bergabung dan berkiprah sebagai penggubah dan pencipta lagu.

Boleh dibilang, sejak masuk orkes itu, langkah kreatif Ismail kian berkembang pesat. Dia sangat produktif mencipta dan menggubah lagu keroncong, Barat, ataupun langgam Melayu. Lief Java pula yang mengantarkan Ismail bersiaran di radio Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). Sejak itulah nama Ismail kian berkibar sebagai pencipta dan penggubah lagu, serta musikus.

Pada 1940-an, Ismail menikah dengan Eulis Andjung, biduanita kelahiran Bandung. Setelah menikah, Eulis berganti nama menjadi Eulis Zuraidah. Pengantin baru itu sempat mengontrak rumah di Jalan Gunung Sahari sebelum tinggal di Kampung Bali, Tanah Abang.

1 1 1

Rumah sederhana itu boleh dikatakan cukup luas untuk ukuran rumah di Kampung Bali yang padat. Rumah bercat putih yang terletak di pojokan Jalan Kampung Bali X itu berdiri di atas tanah seluas 196 meter persegi. Sebetulnya rumah itu biasa saja. Yang membuatnya istimewa adalah plang kecil bertulisan "Rumah Ismail Marzuki" yang menandai rumah lawas itu.

Di rumah itulah dulu Ismail Marzuki tinggal bersama istrinya, Eulis Zuraidah, dan anak angkatnya, Rachmi Aziah. Rumah itu kini dimiliki keluarga Syamsiar (almarhum). Ricfandi Tovan Gustino, cucu Syamsiar, kini mengurus rumah yang dijadikan kos-kosan itu. Menurut Rachmi, rumah itu dijual setelah ayahnya meninggal pada 1958. "Ibu dan saya kemudian pindah ke Bandung," kata Rachmi, yang kini tinggal di sebuah rumah kontrakan di Cinangka, Sawangan, Depok.

Rachmi mengenang di rumah itu terdapat sebuah kamar yang menjadi tempat berkarya ayahnya. Di kamar bagian depan rumah itulah Ismail menciptakan lagu-lagu dengan iringan biola atau gitar pada malam hari. Tapi, jika siang hari, dia sering menggunakan piano.

Kamar itu pernah dipertahankan oleh Syamsiar untuk menghormati Ismail. Kamar tetap dikosongkan dan terawat. "Konon, Pak Syamsiar sering mendengar bunyi biola dari kamar tersebut," tutur Rachmi.

Bagi Rachmi, rumah itu sangat bersejarah. Sebelum mengangkat Rachmi sebagai anak, Ismail telah tiga kali mengangkat anak dari tetangga. Sayang, ketiganya meninggal saat masih kecil. Menganggap hal ini sebagai pertanda kurang baik, keluarga Ismail kemudian memutuskan mengambil anak dari saudara. "Saya anak dari adik Bu Ismail. Dari hamil sudah diminta," ujar Rachmi.

Pada 1950, Rachmi lahir. Ketika berusia dua bulan, ia langsung diboyong Ismail dan istrinya ke rumah mereka di Kampung Bali, Gang 10 Nomor 36. Nama Rachmi Aziah diberikan oleh Ismail, menggantikan nama Atika dari ayah kandung Rachmi, Djudju Sudradjat.

Meski hanya sekitar delapan tahun, Rachmi menyimpan banyak kenangan tinggal bersama Ismail di Kampung Bali. Dia mengingat ayah angkatnya sebagai orang yang keras menerapkan disiplin sekaligus protektif terhadap anaknya. "Kalau saya pulang sekolah telat sedikit saja, tukang becak sampai tetangga yang bisa naik sepeda disuruh mencari," ucapnya.

Ismail juga termasuk ketat dalam urusan mengatur waktu. Tamu yang datang berkunjung harus membuat janji sebelumnya, termasuk saudara. "Kalau enggak janjian, ia enggak mau datang menemui. Mungkin, karena seniman, kalau lagi bekerja takut mood-nya hilang," katanya.

Soal makanan, tutur Rachmi, ayahnya sangat anti terhadap jajanan yang dibeli di luar rumah karena takut tidak bersih. Satu perkecualian adalah es krim cokelat kesukaan di tempat langganannya, Ragusa, toko es krim legendaris di kawasan Jakarta Pusat yang masih beroperasi hingga sekarang. Segala makanan, bekal piknik, hingga kue ulang tahun harus berasal dari dapur rumah sendiri. "Kadang kalau saya dan Ibu lagi pengen gado-gado, sehabis makan kami langsung semprot-semprot supaya bau bumbunya tidak ketahuan. Daunnya juga kami buang jauh," ujarnya.

Pada akhir pekan, sang ayah yang menggantikan ibunya bertugas di dapur, memasak sayur asam atau tempe kegemaran Ismail. Ketika libur, Ismail kerap mengajak Rachmi melancong ke Gambir atau Pasar Ikan di Jakarta Utara. Bila pergi berdua, mereka naik sepeda motor laki-laki merek Ariel kesayangan Ismail. Namun, bila mengajak sang istri dan anak, Ismail mengendarai mobil Fiat. "Walau jalan-jalan begitu, pikirannya enggak diam, masih menciptakan lagu."

Kebiasaan lain adalah begadang, bahkan hingga subuh, untuk menciptakan lagu. Ditemani kopi hitam dan rokok Kansas, Ismail menggubah lagu dengan bantuan biola dan gitar. Dia termasuk perokok berat. Rachmi ingat sang ayah bisa menghabiskan tiga-empat bungkus rokok sehari, bahkan hingga di pengujung hayatnya. Larangan istri hingga dokter tak mempan menghentikan kebiasaannya. "Katanya, merokok enggak merokok sama aja nanti mati juga," tutur Rachmi menirukan ucapan sang ayah.

Bisa jadi kebiasaan ini memperparah penyakit paru-paru basah yang sekitar 12 tahun menggerogoti kesehatan Ismail, terutama ketika ia memasuki usia 41 tahun. Rachmi menyatakan keluarganya memperkirakan ayahnya tertular penyakit itu setelah membeli saksofon milik temannya, yang memiliki penyakit yang sama. "Padahal sudah digodok dan direndam air panas, Bapak kena juga," kata Rachmi. Ismail kemudian rutin berobat ke dokter di Jalan Pegangsaan. Adapun saksofon itu akhirnya dibuang.

1 1 1

PADA 1958, kesehatan Ismail kian memburuk. Namun dia masih sempat menciptakan lagu berjudul Inikah Bahagia. Rupanya, lagu itu menjadi karya terakhirnya. Pada 25 Mei 1958, sekitar pukul 14.00, sang pencipta dan penggubah lagu perjuangan wafat di usia 44 tahun.

Ismail Marzuki dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Saat Tempo mengunjungi makam tersebut pekan lalu, belum ada tanda-tanda menjelang perayaan 100 tahunnya—makam itu diziarahi oleh kalangan pemusik atau para seniman kita. Makam sang maestro masih sepi dari bunga. Makamnya yang terletak di Blok A1-84, BLAD 13, itu berdekatan dengan tembok yang memisahkan lokasi kuburan dengan persimpangan Jalan Penjernihan dan Jalan KH Mas Mansyur.

Makam Ismail Marzuki berdampingan dengan kuburan istrinya, Eulis Zuraidah, yang meninggal pada 2001. Di belakang nisan Ismail ada plang hijau bertulisan "Makam Pahlawan Nasional – Ismail Marzuki". Di antara nisan dan plang itu terdapat miniatur tiang bendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tiang. Miniatur bendera itu terbuat dari besi.

Ismail Marzuki telah puluhan tahun wafat, tapi lagu-lagunya terus menggema hingga sekarang. Menurut Rachmi, dari sekitar 200 lagu ciptaan ayahnya, banyak partitur dan catatan yang dibuat Ismail rusak karena banjir yang melanda rumah ketika tinggal di Bandung. Hanya puluhan yang bisa diselamatkan dan dilaminasi.

Sebagian partitur tersebut disimpan Rachmi, yang lain dititipkan di Taman Ismail Marzuki bersama beberapa alat musik milik Ismail, seperti akordeon dan biola; foto; serta penghargaan. Benda-benda peninggalan Ismail itulah yang pada 7-14 Mei ini dipamerkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Ratnaning Asih, Dian Yuliastuti, Ananda Badudu, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus