Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mucumba, Mei 2002…
Inilah kelab malam kelas atas di Havana yang mulai mendidih di atas pukul sepuluh malam. Musik berirama Latin berdentam-dentam, merobek lantai dansa hingga subuh. Di salah satu pojok, Tempo menemukan sejumlah remaja berkeringat menarikan salsa. Seorang gadis belia meloncat ke atas meja. Roknya mini bukan main, memamerkan keindahan sepasang kaki muchaca Cubana. Dia berjingkrak, mengangkat gelas bir tinggi-tinggi, lalu bersulang: ”Viva, la patria!” Hidup tanah air! Teman-temannya memekik: ”Viiiiva!” Si Rok Mini bersulang lagi: ”Para Fidel!” Untuk Fidel! Kor bergema: ”Viiiiiva!”
Bertha Alfonso, mahasiswi Akademi Musik Havana yang menemani Tempo pelesir malam ketika itu, mengatakan Fidel Castro memang disanjung sebagian anak muda Kuba. Tapi, astaga, menjadi yel-yel di lantai disko? Nona Alfonso buru-buru menyodorkan alasan: ”Jasa El Comandante besar sekali untuk kaum muda. Dia menyediakan pendidikan cuma-cuma di seluruh negeri.”
Hotel Nacional de Cuba, Agustus 2006…
Bertha Alfonso, kini 24 tahun. Dia sudah jarang keluar malam setelah lulus kuliah dan bekerja sebagai guru musik. Tapi pada Minggu, 13 Agustus lalu, dia menghabiskan malam di bar Hotel Nacional, Havana. Di hotel bintang empat itu dia bersama sejumlah kawannya makan malam, mengobrol, berdansa. Lalu, ”Kami bersulang untuk kesehatan Fidel. Dia sakit keras. Ada yang bilang dia sudah koma,” tuturnya kepada Tempo, pekan lalu, via saluran telepon internasional.
Bertha, putri seorang dokter militer, mampu merayakan hari jadi pemimpinnya di hotel makmur—sesuatu yang sulit dikecap oleh banyak anak muda Kuba. Boleh jadi pula sebagian besar dari mereka bahkan tidak hafal hari lahir presidennya, 13 Agustus 1926.
Tapi satu hal, tidak sulit menemukan kaum muda, para muchacos dan muchacas, yang lahir dari ”pendidikan” Fidel Alejandro Castro Ruz. Mereka ada hampir di setiap sudut jalanan Havana. Di kawasan elite Old Havana. Di balik rumah-rumah sempit dan kumuh di punggung La Rampa, down-town Havana. Mereka ini, yang lahir dari generasi kemudian—setelah Fidel naik takhta 47 tahun silam—praktis tumbuh bersama semboyan Castro yang tersohor: Socialismo o muerte. Sosialisme atau mati.
Fidel Castro tampaknya tidak memberikan banyak pilihan di antara dua ekstrem itu. Sosialisme atau mati. La patria o muerte. Tanah air atau mati. Di halaman Universidad de la Habana yang luas, ribuan mahasiswa kerap mendengarkan orasinya yang membakar. Dia juga sering berpidato—terutama jika sedang ingin menghujat Amerika—di atas semacam ”panggung” yang dibangun di depan kantor konsulat Amerika Serikat.
Di situ, di hadapan Laut Karibia yang terbentang hingga ke ujung horizon, Fidel mengirimkan cercaan pada kapitalisme serta memuji sosialisme.
Banyak yang terpana. Banyak pula yang segera membuang pidato itu ke tempat sampah. ”Fidel tidak sadar dunia sudah lama berubah. Warga Kuba tidak bisa makan dari bualan sosialisme,” ujar Yamilka Gonzales, 26 tahun, dengan sinis kepada Tempo, empat tahun silam.
Dikontak Tempo kembali dua pekan lalu, Yamilka mengaku belum berubah pendapat. Yamilka tidak sendirian. Gaji yang ia terima sebagai guru sekolah menengah teknik cuma sekitar US$ 10 (hampir Rp 100 ribu). Menurut dia, sosialisme yang dijunjung oleh Castro tidak bisa memenuhi apa yang paling dibutuhkan anak-anak muda Kuba saat ini: pekerjaan yang patut.
Banyak anak muda menganggur selepas kuliah. Dan fenomena sectoral brain drain deras menerpa negeri itu selama satu dekade belakangan, terutama. Barisan insinyur, dokter, ahli hukum terpuruk menjadi buruh yang jauh lebih rendah levelnya. Sopir, pelayan hotel, atau pemandu wisata. Juan Castillo, 28 tahun, masih tetap bekerja sebagai bell boy di Hotel Palco selama empat tahun terakhir.
Dia insinyur penerbangan. Lulus cum laude. ”Tapi saya bertahan menjadi penjaga pintu hotel karena faktor penghasilan,” ujarnya. Sebagai insinyur yang mengajar di Sekolah Tinggi Teknik Havana, dia dibayar US$ 30 sebulan. Sebagai penjaga pintu hotel? Gaji resminya US$ 15, tipsnya bisa mencapai US$ 230 per bulan.
Universitas-universitas Kuba adalah penghasil sarjana yang boleh dibanggakan. Negeri itu ”mengekspor” hampir 4.000 dokter muda setiap tahun ke seantero Amerika Selatan serta negeri-negeri Asia. Kuba juga mengirimkan barisan dokternya ke Yogyakarta dan Jawa Tengah ketika kedua wilayah ini dihantam gempa, Mei lalu.
Dua garda terbaik dari angkatan muda Kuba adalah dokter dan peneliti. Untuk menyokong hidup, mereka melakukan pekerjaan tambahan. ”Saya mengajar bahasa asing dan menjadi penerjemah,” ujar Sandra Gomez, 23 tahun, seorang dokter yang baru lulus, kepada Trabajadores—surat kabar bagi kaum pekerja Kuba.
Sandra, Yamilka, dan Bertha tak menyangkal bahwa mereka adalah bagian dari ratusan ribu, jutaan, anak muda yang pernah mengecap hadiah terindah dari Castro: pendidikan gratis di seluruh Kuba. Ketiga anak muda ini juga bisa menjadi cermin kecil yang mewakili keterbelahan angkatan muda Kuba dalam memandang sosok El Comandante.
Bertha mengaku dia dan sekelompok kawannya—ada musisi, pengacara, dosen—menganggap Fidel Castro berhasil melahirkan generasi yang tidak terisap oleh arus utama kapitalisme. ”Saya tidak akan mau pindah ke wilayah Amerika mana pun biar dibayar ribuan dolar,” kata putri keluarga Alfonso itu dengan tenang. ”Saya ingin membagi hasil pendidikan saya dengan mengajar musik.”
Gadis berdarah Kuba-Yamaika ini mengaku, globalisasi di bidang informasi membuat dia dan kawan-kawannya tahu apa yang bisa mereka capai di luar Kuba. ”Tapi saya tidak akan pergi. Nada. Tidak!” Bertha juga menegaskan, bersama keluarganya dia ingin ada di Havana bila Fidel Castro meninggal.
Adapun Yamilka, dia tetap mengkritik Castro sebagai si gaek yang keras kepala dan ”kuper” pada perkembangan dunia luar, dan terus mengungkung mereka selama puluhan tahun. ”Saya dan beberapa sepupu saya ingin sekali mengadu nasib ke Meksiko. Kami ingin keluar dari Kuba, walaupun sulit sekali dari segi ongkos dan izin,” ujarnya.
Toh, Yamilka tetap mengakui belum ada sosok pemimpin Kuba sekuat presiden yang sedang sekarat itu. ”Raul cuma bayangan. Kami dengar, kalau membuat keputusan, dia mesti menghadap dulu ke kakaknya,” katanya kepada Tempo.
Sebelum hari jadinya yang ke-80, Pak Tua menitipkan kursi presiden kepada adiknya, Jenderal Raul Castro, 73 tahun. Tubuhnya tak mampu lagi berkompromi setelah dia dihantam perdarahan usus selama tiga bulan lebih. Tapi pemimpin Kuba yang tua-renta itu belum padam sepenuhnya.
Dia masih diobrolkan, dengan benci maupun hormat, dari halaman kampus hingga ke bar-bar hotel. Dia belum selesai bertempur melawan godaan kapitalisme yang selalu dihadangnya dengan keras: ”Demi kemaslahatan anak-anak muda kami,” ujarnya dalam satu pidato yang bergelora di Havana, Oktober 1997.
Lima tahun setelah pidato itu, datanglah Oliver Stone, sutradara film tersohor asal Amerika, ke Havana. Keduanya beradu gelas anggur di Istana Revolusi sembari Stone menyatakan niatnya membikin film tentang Castro. Seorang wartawan lokal dari Trabajadores kemudian melaporkan anekdot berikut selepas pertemuan itu.
Beberapa pembantu dekat Presiden datang menghadap setelah Oliver pulang ke Amerika. Mereka bermohon: ”Tuan, bagaimana kalau kita menitipkan pada amigo Americano itu (Oliver Stone) agar membawa beberapa barang kalau dia kembali ke sini?”
Mereka menyerahkan daftar berisi pesanan anak-anak mereka. Ada jins, sepatu Nike, jam tangan Swatch dan…, burger McDonald’s. ”Ini racun bagi anak-anak muda kita. Nada! Tidak!” Castro membentak.
Di film dokumenter Comandante yang kemudian dibuat Stone, kamera merekam sebuah detail menarik. Presiden Kuba yang dikenal amat anti-produk Amerika itu mengenakan… sepasang sepatu Nike.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo