Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBACA sambil tiduran itu asyik. Angket terhadap 10.000 anak-anak Inggris mengungkapkan, sebagian besar dari mereka itu membaca sambil tiduran. Selain itu angket yang diadakan pada 1982 tersebut menemukan pula, Enid Blyton, pengarang serial Lima Sekawan, adalah favorit anak-anak. Sebagian besar anak-anak Indonesia diduga juga gemar membaca sambil tiduran. Setidaknya, di perpustakaan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sering terlihat anak-anak telungkup di karpet, kedua tangan menopang kepala, dan sebuah buku tergeletak di depan mereka. Di ruang itu kursi memang terbatas. Dan, seperti di Inggris, karya Blyton, serial Lima Sekawan, ternyata populer pula di kalangan anak-anak kita. Tampaknya, seri cerita ini mudah melekat di kepala anak-anak. Kini serial cerita anak-anak karya pengarang Indonesia - merupakan kecenderungan baru, tampaknya - muncul menyaingi buah pena Blyton di pasaran. Dalam Pesta Buku Anak-Anak dan Remaja di Balai Sidang Senayan, Jakarta, dibuka akhir pekan ini, dipajang beberapa cerita berseri itu. Di antaranya, serial Keluarga Sirkus karya Bung Smas, cerita Sersan Grung-grung buah tangan Dwianto Setyawan, lalu serial Keluarga Cemara, Imung si Detektif Kecil, serta Kiki dan Komplotannya - ketiganya karya Arswendo Atmowiloto. Sejarah munculnya cerita serial agaknya dimulai oleh Arswendo dengan Kiki-nya pada 1978. Kisah ini lahir karena Arswendo, yang menjadi pimpinan majalah Hai, harus mengisi cerita bersambung dl majalah itu. Waktu itu, belum terasa benar kelebihan cerita serial dibandingkan dengan yang bukan serial. Baru ketika PT Gramedia, yang menerbitkan cerita serial Kiki, tahun itu juga, menerbitkan Lima Sekawan, orang pun mafhum. Yakni, cerita berseri lebih kecil risiko ruginya. Begitu nomor awal terbit dan laku, ditanggung nomor selanjutnya bakal laris pula. "Dari 26 judul Lima Sekawan yang sudah diterjemahkan, rata-rata sudah cetak ulang tujuh kali," kata Adi Subrata, direktur Penerbitan Gramedia. Tapi, hingga 1980, belum ada pengarang kita yang sengaja mencoba membuat cerita serial - selain Arswendo. Padahal, larisnya Lima Sekawan membuktikan, betapa gampangnya tokoh cerita serial hidup dalam angan anak-anak. Tiap nomor, meski sudah tamat ceritanya, para tokohnya menjanjikan satu kisah baru yang lebih asyik. "Saya langganan setia Lima Sekawan," kata Rudiyanto, 14, siswa kelas III SMP Maria Ratu Perdamaian, Jakarta. "Karena kepingin terus mengikuti petualangan Yulian, Dick, dan saudara-saudaranya. " Baru pada 1981, Dwianto menggarap Sersan Grung-grung-nya. Konon, ia diilhami oleh banyaknya anak-anak di Malang, tempat domisili Dwianto, yang selalu menyerbu Lima Sekawan di toko-toko buku. Belakangan disusul oleh Bung Smas alias Slamet Mashuri dengan Keluarga Sirkus-nya. Keduanya diterbitkan oleh PT Gramedia. Toh, kedua pengarang ini belum sepenuhnya mengalahkan Blyton. Pengarang Inggris ini tampaknya memahami benar cara memikat anak-anak. Misalnya, dalam buku pertana Lima Sekawan, ia menyuguhkan tokoh paman yang misterius, tapi sangat pimtar, beserta anaknya yang tomboy - lebih suka dianggap cowok sekalipun dirinya cewek asli. Pertemuan tokoh Lima Sekawan, yang suka bertualang dengan paman dan saudara sepupu mereka yang bertabiat aneh ini, tentu saja menimbulkan hal-hal menarik. Tapi dari sudut gaya bahasa, Arswendo lebih unggul - baik dari Dwi, Slamet, maupun Blyton. Terutama dalam Keluarga Cemara, Arswendo benar-benar tangkas menyusun kalimat, benar-benar mencerminkan suasana keseharian. Bagaimanapun, munculnya cerita serial membuka kemungkinan baru: ia menguji panjang napas pengarang kita tanpa paksaan. Sebab, cerita serial bisa saja diakhiri di nomor mana saja - tiap nomor tak menuntut lanjutannya. Sementara itu, bentuk ini lebih gampang diakrabi anak-anak, karena tiap seri tokoh utamanya sama - mirip film seri di televisi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo