Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mula-mula adalah tembang. Seraya memukulkan dodog alat pukul kecil, yang biasa dipukulkan dalang ke kotak kayu perempuan tua itu lirih meng iringi empat penari. Dalam tata cahaya temaram, kita melihat tubuh para penari (Hadawiyah, Rusini, Sri Setyoasih, dan Wahyu Widayati) terbungkus tikar.
Koreografi awalnya seperti sebuah gerak kontemporer bebas yang berlanskapkan lirisme Jawa. Namun, ketika para penari duduk, membuka belitan, dan menyematkan sumping, penghias telinga dan kepala, kita melihat mereka menjadi empat penari serimpi. Segera terasa gereget tradisi yang lain. Empat penari itu bergerak di seputar area gelaran tikar. Seolah mereka bermain dalam batas patokan ruang tertentu.
Serimpi, menurut Mugiyono Kasido, adalah saka guru tari Jawa. Jumlah penarinya yang empat melambangkan filosofi kiblat papat atau empat penjuru mata angin. ”Komposisi tari serimpi sebetulnya mengandaikan adanya pancer atau pusat di antara empat mata angin, tapi pusat tak terlihat,” kata Mugiyono. Ia bermaksud menampilkan pusat yang biasanya kosong itu menjadi tampak dalam wujud sosok penari tua.
Dan sosok tua tersebut adalah Mur harti, 69 tahun, dalang wayang kulit perempuan dari Klaten, yang tak lain ibunda Mugiyono. ”Pancernya adalah ibu,” kata Mugiyono. Sosok Murharti memang menjadi centre dalam komposisi. Ia masuk dan menjadi bagian komposisi. Posisinya di tengah para penari.
Yang menarik: antara dia dan para penari tak terjadi interaksi atau dialog gerak. Sang pancer tetap menembang, seolah untuk dirinya sendiri, bukan untuk mengiringi langkah kaki dan tangan para penari. Mereka meng alir sendiri-sendiri. Bahkan terasa tak terjadi tatapan mata di antara mereka. Sosok tua itu ada secara fisik, tapi tetap seperti tidak terlihat di mata empat penari itu.
Bagian yang memikat adalah tatkala, seraya menembang, sang ibu menjahit tikar. Tikar sobek bagi rakyat jelata Jawa adalah simbol ketercerai beraian. Sang ibu tampak sangat khu syuk melakukannya, ”tanpa mempedu li kan” penari yang bergerak di sekelilingnya.
Mugiyono menggunakan unsur gerakan-gerakan serimpi yang di-stretching atau diperpanjang saat para penari membungkus diri mereka dengan tikar. Kemudian ia mencampurkan vokabu ler gerak dari berbagai macam tarian serimpi, antara lain Srimpi Sangupati, Srimpi Ludira Madu, dan Srimpi Anglir Mendung. Gerakan Srimpi Sangupati (serimpi bekal kematian yang terkenal karena para penarinya membawa pistol) yang diambil, misalnya, gerakan tangan saat penari memutar-mutar pistol. ”Gerak tangan itu saya pakai tapi tanpa ada unsur pistol,” ujar Mugiyono.
Malam itu mereka yang tak mengerti bahasa Jawa halus pun bisa merasakan bahwa tembang adalah nyawa pertunjukan. ”Saya tak tahu artinya. Tapi pasti maknanya dalam,” kata seorang penonton. Mendengar kalimat ”Muhammad rasulullah... Hyang Widhi”, kita bisa meraba lirik yang ditembangkan oleh Ibu Murharti yang lebih dari 30 tahun tak mendalang itu bernapaskan kerohanian. Namun, mendengar kalimat ”susune nyengkir gading...”, kita juga bisa menduga tembang itu berbicara tentang keindahan tubuh wanita. Mugiyono mengambil tembang-tembang itu dari buku Martopangrawit, empu karawitan Surakarta, berjudul Gending dan Sindenan Bedaya Srimpi. ”Isinya tentang alam dan keelokan pe rempuan,” Mugiyono menjelaskan.
Serimpi dianggap sebagai tari sakral. Konon, dulu di keraton para penari nya harus perawan. Banyak koreografer kita kini yang menggunakan elemen-elemen serimpi. Namun sedikit yang menampilkannya secara mengejutkan, kecuali kelompok Sahita dari Solo. Mereka pernah menyajikan Srimpi Serimpet. Empat sosok penari bermakeup nenek-nenek dengan sangat luwes dan kocak memparodikan gerak-gerik elegan serimpi. Dua penari Mugiyono malam itu Sri Setyoasih dan Wahyu Widayati adalah motor Srimpi Serimpet. Pertunjukan mereka saat itu ”kurang ajar” dan menyegarkan.
Kini Mugiyono memberi judul koreo grafinya Srimpi Neyeng, yang artinya serimpi berkarat. Ia mengaku gelisah saat Malaysia mengklaim tari kita. ”Karya saya ini refleksi dan kritik tentang nasib tragis tari tradisional kita,” kata Mugi. Menurut dia, serimpi atau tari tradisional lain akan berkarat dan membusuk bila ditinggalkan.
Klimaks pertunjukan: seluruh tikar direnggut sang ibu dan dilekatkan ke tubuh, menyisakan kepalanya, sedangkan lampu dari atas menyorotnya. Seluruh ruang seolah memusat ke Murharti. Ibu itu seolah sebuah kulminasi.
Memang cukup puitis. Namun, bila kita berharap menyaksikan sebuah ton tonan nakal, mencekam yang secara bentuk memperlihatkan bagaima na serimpi itu bakal mengalami penga ratan dan pembusukan sebagaimana Srimpi Serimpet mengolok-olok serimpi klasik kita tak akan menemukan. Sajian serimpi Mugiyono malam itu malah seolah varian dari keagungan serimpi.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo