Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Penentang Sampah Plastik dari Gresik

Sejak kanak-kanak, Aeshnina Azzahra Aqilani sudah tertarik pada bidang lingkungan. Ia menjelma menjadi remaja aktivis lingkungan yang sangat getol memerangi sampah plastik.

23 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aeshnina Azzahra tertarik pada bidang lingkungan sejak kanak-kanak.

  • Aeshnina Azzahra menjelma menjadi aktivis lingkungan yang sangat getol memerangi sampah.

  • Aeshnina Azzahra diundang sebagai pembicara di berbagai acara di dalam dan luar negeri.

SEPERTI siswa lain, Aeshnina Azzahra Aqilani mengikuti proses belajar-mengajar di Madrasah Aliyah Bilingual, Desa Junwangi, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, dengan tekun di ruang kelas pada Senin, 17 Oktober lalu. Remaja yang dikenal sebagai aktivis lingkungan yang getol mengkampanyekan perang terhadap sampah plastik ini baru sekitar enam bulan duduk di kelas X sekolah lanjutan tingkat atas tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nina—sapaan akrab perempuan yang lahir di Gresik, Jawa Timur, 17 Mei 2007, ini—juga sekaligus berlatih mandiri di Madrasah Aliyah Bilingual. Lembaga pendidikan milik Pondok Pesantren Modern Al-Amanah itu memang mengharuskan siswanya bermukim. “Orang tua hanya mengunjungi sebulan sekali,” kata Nina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski jadwal belajar sangat padat sejak pagi hingga malam, bungsu dari tiga bersaudara anak pasangan Prigi Arisandi dan Daru Setyorini ini tetap berusaha meluangkan waktu untuk mengekspresikan diri sebagai aktivis lingkungan. Kebetulan pihak sekolah juga tidak mengekang kegiatan Nina.

Pada 1 Oktober lalu, misalnya, Madrasah memberi izin Nina berangkat ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta. Saat itu Nina datang untuk memenuhi undangan ceramah di Forum P20 (Parliamentary20).

Di hadapan anggota parlemen negara-negara anggota G20 itu, Nina diminta memaparkan problem sampah plastik di Indonesia serta solusinya. Ia didampingi Ketua DPR Puan Maharani dan politikus Partai Gerindra, Fadli Zon. “Saya hanya diberi waktu sepuluh menit. Sebenarnya kurang, tapi yang penting pesan tentang bahaya efek sampah plastik telah tersampaikan ke mereka,” tutur Nina.

Pulang dari Jakarta, undangan dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, telah menunggu. Nina mendapat undangan untuk menjadi pembicara dalam seminar bertema lingkungan hidup di Kampus Biru tersebut pada akhir Oktober 2022.

Di sela belajar pun Nina mesti mengisi sebagai pemateri seminar daring tentang lingkungan. Biasanya Nina menggunakan waktu luang antara zuhur ke asar dan asar ke magrib. Namun tak semua permintaan dilayani. “Yang mengatur (jadwalnya) Mama. Karena kalau semua permintaan dipenuhi hampir tiap hari ada saja,” ujarnya.

•••

KETERTARIKAN Nina pada bidang lingkungan berawal sejak masa kanak-kanak. Sebagai anak Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) yang berfokus memerangi pencemaran sungai oleh limbah berbahaya, ia sering diajak ayahnya, Prigi Arisandi, turun langsung ke lokasi pencemaran Sungai Brantas, di Mojokerto, Gresik, Surabaya, juga Sidoarjo, Jawa Timur. Nina juga acap dibawa ketika sang ayah menggelar unjuk rasa menentang pencemaran tersebut ke kantor pemerintah.

Sebagai perbandingan, Prigi dan istrinya mengajak Nina melihat sungai-sungai yang belum terkontaminasi limbah industri di Wonosalam, Jombang, Jawa Timur. Di lereng pegunungan itu, air sungainya masih jernih. “Dari situ timbul kesadaran dalam diri saya bahwa semua anak punya hak bermain di sungai yang bersih,” ucap Nina.

Pada saat masuk Sekolah Dasar Muhammadiyah I Wringinanom, Gresik, Nina dan teman-temannya satu kelas mendapat tugas dari guru untuk menulis surat buat bupati saat itu, Sambari Halim. Isi suratnya berupa pemberitahuan kepada bupati bahwa aliran Sungai Brantas di sekitar SD Muhammadiyah I sudah tercemar limbah pabrik. Belakangan, Nina tahu bahwa permintaan menulis surat buat bupati ke guru itu datang dari ayahnya.

Aeshnina Azzahra Aqilani di sekolahnya, Madrasah Aliyah Bilingual, Desa Junwangi, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, 17 Oktober 2022. TEMPO/Kukuh S. Wibowo

Selain memerangi pencemaran air sungai, Nina berfokus menentang sampah impor di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Kala itu sebuah industri kertas skala besar mengimpor kertas bekas sebagai bahan baku. Namun, sejak 2017, Prigi menemukan sisipan sampah plastik di antara kertas bekas impor itu.

Perusahaan itu kemudian menyerahkan sampah-sampah plastik bekas yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Korea Selatan, dan Australia tersebut kepada penduduk setempat untuk dipilah-pilah dan dijual lagi. Berdasarkan penelitian Ecoton, 70 persen sampah plastik itu berupa bungkus makanan, 20 persen produk rumah tangga, dan 10 persen produk perawatan tubuh.

Sungguhpun dapat menghidupi masyarakat sekitar, menurut kajian Ecoton, kandungan logam sampah-sampah plastik itu membahayakan kesehatan. Menurut Nina, saat pertama kali melihat sampah plastik impor itu menggunung, hatinya terguncang. “Ini negara maju, negara kaya, yang fasilitas pengolahan sampahnya katanya canggih, ternyata mereka membuang sampahnya ke sini. Timbul rasa tidak terima dalam hati saya,” tuturnya.

Dari pengamatan Nina, warga mendaur ulang sampah plastik itu, dipotongi kecil-kecil, dan dicuci menggunakan air sungai. Pilahan sampah yang layak jual kemudian diambil oleh pengepul. Adapun pilahan yang tak laku dijual ke pabrik tahu dan pabrik kerupuk sebagai bahan bakar produksi. Abu sisa bahan bakar, menurut Nina, dimakan ayam sehingga telurnya tak layak makan karena melebihi zat dioksin.

Pada 2019, saat duduk di kelas I Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Gresik, Nina menulis surat buat Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Isinya berupa protes Nina terhadap negara adidaya itu karena membuang sampahnya ke Indonesia. Awalnya ia memberi gambaran suasana Desa Bangun yang masyarakatnya tiap hari menghirup asap pembakaran sampah asal Amerika. Dampaknya, warna air tanah jadi hitam dan tak layak minum.

“Saya menuntut Amerika berhenti membuang sampahnya ke Indonesia. Mereka harus mendaur ulang sampahnya sendiri dan seruan ‘ambil kembali sampahmu’,” kata Nina.

Surat tulisan tangan tersebut ia titipkan kepada Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya bersamaan dengan saat Ecoton menggelar unjuk rasa. Dua bulan kemudian surat Nina dibalas oleh Gedung Putih. Nina kecewa karena Amerika tidak mau mengakui kesalahannya. “Amerika justru menyalahkan Indonesia karena bersedia menerima sampah dari mereka,” ujarnya.

Selanjutnya Nina melayangkan surat kepada Kanselir Jerman, Perdana Menteri Australia, Perdana Menteri Kanada, dan Presiden Amerika pengganti Trump, Joe Biden, dengan tuntutan yang sama. Surat buat Kanselir Jerman dan Perdana Menteri Australia disampaikan langsung oleh Nina lewat duta besar mereka di Jakarta. Kebetulan waktu itu ia mendapat undangan syuting sebuah film dokumenter dari produser asal Jerman di Jakarta.

“Produser itu tertarik membuat film dokumenter tentang sampah plastik di Mojokerto karena tahu saya menulis surat untuk Presiden Trump dan dibalas,” tutur Nina.

Selain Nina yang mewakili Indonesia, ada tiga anak perempuan dari negara lain yang dibikin film dokumenter berjudul Girls for Future. Film itu berkisah tentang perjuangan empat anak perempuan melawan krisis iklim. Tiga lainnya mewakili India, Australia, dan Afrika. Empat masalah yang diangkat dalam dokumenter itu adalah sampah impor (Indonesia), kekeringan (Afrika), ancaman krisis batu bara dan punahnya terumbu karang (Australia), serta bahaya asap pembakaran sampah (India).

Aeshnina Azzahra saat ikut Aksi Climate March dari Dam square ke Westerpark bersama warga Amsterdam, November 2021. Dok. Pribadi

Selain di Jakarta, menurut Nina, proses pembuatan film tersebut berlangsung di Desa Bangun, Mojokerto. Totalnya memakan waktu satu minggu. Namun, ketika di lokasi pembuangan sampah impor di Desa Bangun, tim produksi film diusir oleh ketua rukun tetangga karena dianggap merugikan warga. Pabrik kertas selaku pengimpor kertas bekas pun menolak diwawancarai. “Seru aja ketika itu, kami dimarah-marahi oleh ketua RT,” kata Nina, kemudian tertawa.

Setelah Jerman, Kanada dan Inggris menyusul membuat film dokumenter serupa. Berbeda dengan tim produksi Jerman yang diusir pengurus RT, proses syuting produser Kanada dan Inggris berjalan lancar. Nina pun makin terkenal sebagai aktivis lingkungan. Bahkan Bupati Purwakarta saat itu, Dedi Mulyadi, sempat bertandang ke rumah dia di Wringinanom. Dedi mengajak Nina ke Purwakarta, Jawa Barat, untuk berceramah tentang bahaya sampah plastik di hadapan para pelajar.

•••

BANJIR undangan buat Nina terus mengalir. Pada Oktober 2021, sewaktu duduk di kelas III SMP, ia mendapat undangan dari The Plastic Soup Foundation untuk mengikuti Plastic Health Summit di Amsterdam, Belanda. Dalam acara itu, panitia memberikan waktu 10 menit kepada Nina untuk berpidato.

Nina pun mengangkat isu sampah plastik impor di Desa Bangun, Mojokerto. Dalam acara tersebut, ia juga bertemu dengan para ilmuwan peneliti mikroplastik di paru-paru manusia. Mereka saling berbagi pengalaman mengenai bahaya sampah plastik bagi tubuh.

Nina bersyukur kampanye tentang bahaya sampah impor plastik bagi kesehatan kemudian mendapat respons pemerintah. Pemerintah membuat regulasi pembatasan sampah impor 2 persen serta dicek ketat untuk menghindari penyusupan sampah plastik.

Di Desa Bangun, sampah plastik telah berkurang. Warga yang semula hidup dari daur ulang sampah plastik dicarikan pekerjaan baru oleh pemerintah, antara lain budi daya lele. Pabrik tahu dan kerupuk tidak lagi memakai sampah plastik sebagai bahan bakar, diganti tempurung kelapa. “Saya bersyukur kampanye-kampanye kami direspons,” ucapnya.

Meski demikian, kata Nina, kampanye untuk lingkungan yang sehat membutuhkan napas yang panjang. Menurut dia, selain disuarakan di jalanan, kampanye tersebut harus disampaikan lewat jalur politik. Karena itu, Nina memendam obsesi masuk ke dunia politik untuk memperjuangkan lingkungan yang bersih dan sehat tersebut.

“Mau tidak mau kelak saya harus masuk dunia politik. Syukur-syukur, kalau Tuhan mengizinkan, saya bisa menjadi Menteri Lingkungan Hidup,” ujar Nina.

Wakil Kepala Hubungan Masyarakat Madrasah Aliyah Bilingual, Muhammad Iqbal Khoirul Darulkhulud, berharap kedatangan Nina di lembaga pendidikan itu bisa memberi pencerahan buat teman-temannya agar tidak hanya berfokus pada ilmu agama, tapi juga peduli lingkungan sekitar.

Iqbal berharap, setelah Nina lulus, kiprahnya sebagai aktivis lingkungan yang memerangi sampah plastik tak hanya di tingkat regional, tapi merambah ke tingkat nasional bahkan internasional. “Apalagi ia punya cita-cita kuliah di Belanda,” kata Iqbal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus