Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAPANULI, 1927. Seorang pemuda, yada suatu hari membaca iklan
tentang penerimaan siswa baru STM (d/h Koningin Wilhelmina
School) di Batavia. Syaratnya: mengikuti testing berhitung dan
menggambar. Lulus testing di kantor Residen Sibolga, ia
berangkat ke Batavia mengikuti tes lisan, dengan bekal 100
goelden. Cukup banyak. "Dengan uang itu, kamu masih bisa pulang
kalau tidak lulus", kata orang tuanya.
Sial. Di kapal, uang itu hilang. la menangis. Bagi pemuda yang
baru berusia 15 tahun itu, Batavia terasa begitu jauh dari
kampung dan amat asing. Sementara menyesali diri karena kurang
berhati-hati, seorang orang Arab berjanggut datang
menghampirinya. Di geladag kapal itu, diceritakannya nasib
malang yang menimpanya. Terharu mendengar kisah sedih itu, tanpa
komentar Arab berjanggut itu memasukkan sejumlah uang ke kantong
si pemuda.
"Dua genggam penuh tanpa dihitung", kata Friedrich Silaban, 64
tahun, kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO di kantornya, Proyek
Pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta. Wakil Kepala Proyek
Pembangunan Masjid Istiqlal inilah yan tahun 1954 memenangkan
sayembara disain masjid Istiqlal. Silaban melanjutkan ceritanya.
Sampai di Batavia, uang dihitung: 75 goelden. Lumayan. "Tuhan
kasih pengalaman pada saya supaya berhati-hati", ujarnya. Sejak
itu, katanya, ia tak pernah lagi kehilangan, "walaupun saya
berkali-kali ke luar negeri".
Silaban, juga dikenal sebagai arsitek yang amat dekat dengan
almarhum Bung Karno. Di zaman Jepang, Silaban bekerja di
Kotapraja Bogor. Ia sering berkunjung ke rumah sahabatnya,
Ernest Dezentje. indo Belanda-Sunda, pelukis tenar saat itu.
Bung Karno juga pengagum Dezentje. Maka di rumah pelukis itulah
mereka bertemu. Seminggu 3 kali Jum'at, Sabtu dm Minggu Bung
Karno selalu di Istana Bogor. Dan pada hari-hari itulah Bung
Karno sering memanggilnya.
"Bukan Mercusuar"
"Kami selalu membicarakan hal-hal yang menyangkut bangunan",
tutur Silaban. Bung Karno yang insinyur sipil itu, menurut
Silaban, jiwa dan pandangannya lebih dekat pada soal-soal
arsitektur. Ketika masih jadi mahasiswa, Bung Karno (bersama
seorang gurubesarnya) berhasil membuat disain hotel Preanger,
Bandung.
Begitu dekat Silaban dengan Bung Karno, hingga tak salah kalau
peranan Silaban cukup besar dalam melahirkan proyek-proyek
mercusuar. Namun ia tak menerima sebutan "mercusuar" itu. "Itu
bukan mercusuar, tapi satu pandangan yang jauh ke depan",
kilahnya. "Lihat itu gedung Bank Indonesia jalan Thamrin. Kalau
dulu menuruti rencana saya, tak seperti itu jadinya. Sekarang
kan terasa sempit dan harus pakai AC", katanya.
Dasar Yahudi . . .
Menurut Silaban - yang memenangkan sayembara perencanaan gedung
Bl itu - semula dia minta agar bangunannya lebih luas dari yang
sekarang. Tapi tak disetujui. "Waktu itu direksinya masih orang
Belanda. Biasa kan, mereka lebih hemat", katanya. Silaban yang
merasa tak dipengaruhi oleh gaya arsitektur tertentu itu tahun
1954 memenangkan sekaligus 3 sayembara perencanaan masjid
Istiqlal, Bank Indonesia dan Monumen Nasional. Dan sampai
sekarang ia masih membuat disain beberapa bangunan besar di
beberapa kota. Gedung BI Surabaya dan BNI '46 Medan misalnya,
sampai sekarang belum selesai.
Untuk sayembara Monas, ia hanya berhasil sebagai pemenang kedua.
"Tapi ingat, waktu itu pemenang pertama tak ada, karena panitia
rupanya tak puas dengandisain yang disayembarakan", katanya.
Sebagai pemenang sayembara Istiqlal ia menggondol hadiah Rp
25.000 (uang lama), Rp 40.000 (untuk Bank Indonesia) dan Rp
25.000 (untuk Monas). "Hadiah Istiqlal habis buat potong kerbau
karena sudah janji sama teman-teman", katanya tertawa.
Bagi Silaban yang Kristen Protestan, kemenangannya dalam
sayembara Istiqlal sungguh berarti. Sebelum mulai membuat
disain, ia berdoa pada Tuhan. Ia ingat pada Kisah Gideon dalam
Alkitab bab Hakim-hakim. Gideon adalah seorang lemah, bukan
jenderal, tapi diperintah oleh Tuhan berperang lewat sebuah
ilham. Tidak lantas percaya, Gideon mohon agar Tuhan memberi
isyarat-isyarat, kalau memang Tuhan memerintahkannya begitu.
Gideon mohon agar kulit domba yang diletakkannya di lapangan
jadi basah sementara benda-benda sekelilingnya tetap kering.
Esoknya! Gideon melihat kulit domba itu basah. "Tapi dasar
Yahudi, Gideon masih minta isyarat sekali lagi", Silaban
berkisah. Mendapat isyarat kedua kali, Gideon pun langsung
berangkat berperang. Dan menang.
Begitu pula Silaban. Mulai mengerjakan disain masjid Istiqlal,
ia terus-menerus berdoa. "Oh, Tuhan, kalau benar di mata Tuhan
saya sebagai pengikut Yesus mampu membuat disain masjid, berilah
saya kemenangan dalam sayembara ini. Dan sebelum mengangkat
potlot saya juga sudah berdoa. Saya terus berdoa, sebab siapa
tahu jawaban Tuhan datang terlambat", ujarnya.
Dan pertanda itu pun datanglah - ia menang. Masih ada cerita
lain di balik kemenangannya. Silaban sempat sakit sebelum
disainnya selesai. Dengan bantuan temannya, Marah Mansur, ia
menyelesaikan disain sambil tergeletak di ranjang. Waktu itu
tinggal memberi warna, sementara batok lutut kanannya bergeser
akibat salah pijat. Terpaksalah sambil berbaring dan temannya
memegang kertas gambar, disain diselesaikan. Lebih dari itu, ia
yakin Tuhan membenarkan tindakannya - meski ia tahu ada
sementara orang yang mengkritiknya, "kok mau-maunya bikin disain
masjid".
Karena Bukan Islam . . .
Tapi masjid yang dibayangkan panitia itu berubah sama sekali di
tangan Silaban. Semula ia keberatan dengan luas tanah yang 7 Ha
ia minta agar disediakan 30 Ha. Waktu itu panitia hanya
membayangkan sebuah masjid dengan gedung induk yang menampung
20.000 jamaah. Itu pun ditentukan pula luas tempat bersembahyang
per orang seluas 50x 100 Cm.
Karena bukan orang Islam, Silaban mengadakan observasi ke beberapa
masjid di Bogor dan Cianjur. Akhirnya ia memutuskan bahwa tempat
bersembahyang per orang yang seluas 0,5 MÿFD itu tak mencukupi.
Tepatnya harus 60 x 120 Cm alias 0,7 MÿFD. Dan panitia, akhirnya
menyetujui, meski soal luas tanah seluruhnya panitia tetap pada
keputusan semula. Soalnya, tempatnya memang sudah direncanakan,
di bekas Wilhelmina Park dan Benteng Citadel.
Namun pemerintah berjanji akan memperluas lagi dengan membongkar
semua bagunan ABRI di sekitarnya termasuk Markas Kodam V/Jaya.
Dan sekarang, luasnya jadi 10 Ha. Adapun luas bangunan induk
bertambah lebih dari separoh luas yang semula direncanakan. Tak
sampai di situ, Silaban juga menambah beberapa teras untuk
sembahyang Idulfitri dan Iduladha. "Untuk sembahyang Jum'at saja
cukup. Tapi untuk sembahyang hariraya, biasanya umat Islam
sembahyang di tempat-tempat tertentu saja, hingga memerlukan
tempat yang lebih luas", kata Silaban.
Itulah sebabnya Silaban menghendaki perluasan. Belum lagi tempat
parkir. Sampai saat ini Silaban tak bersedia menjelaskan jumlah
biaya pembangunannya. Yang pasti, masjid yang akan diresmikan
akhir tahun 1977 ini sebenarnya baru selesai 50. Kapan selesai,
Silaban hanya bilang, "kalau uang cukup dalam 4 tahun bisa
selesai". Menurut Mayjen (purn) ir. Sudarto, kepala Proyek yang
dibutuhkan sekitar Rp 3,5 milyar (uang lama)dan Rp 6,5 milyar
(uang baru).
Untuk menyelesaikannya dibutuhkan Rp 2 milyar setahun. Menurut
perkiraan seorang arsitek lain kepada TEMPO, biaya yang masih
dibutuhkan sekitar $ 100 juta AS alias Rp 40 milyar. "Dan
menurut perhitungan saya, masjid itu baru selesai 20 tahun
lagi", kata sumber yang tak mau disebut nama itu. "Itu kalau mau
sempurna".
Soal waktu yang begitu lama buat membangun bagi Silaban
sebenarnya tak perlu diherankan. "Gereja St Peter di Vatikan
yang begitu megah saja baru selesai selama 20 masa pemerintahan
beberapa Paus. Dan biayanya sampai S 400 juta AS (sebelum
merosot). Dihitung dengan kurs sekarang sekitar $ 1,5 milyar AS"
katanya. Dan Silaban yang suka bangunan megah itu menyatakan
"kita harus bangga dengan bangunan bangunan seperti itu".
Bung Karo Tak Setuju
Silaban mengagumi 2 arsitek dunia: Frank Lloyd Wright (AS) dan
Le Corbusier (Perancis). Itulah sebabnya, baginya "kita tak
perlu terikat pada arsitektur tradisionil, asal daiam membangun
kita tetap setia pada kondisi alam tropis". Dan karena itulah
disain Monas bikinan Silaban begitu megah. Saking megahnya,
malah tak dipakai. Tingginya saja sampai 00 meter, dengan mimbar
yang mampu menarllpung 20 000 orang.
"Bung Karno tak setuju, alasannya kurang bersifat Indonesia",
kata Silabam Akhirnya disain yang dipakai ciptaan arsitek
istana, Sudarsono, dengan Bung Karno sendiri sebagai supervisi.
"Cuma lihat saja sekarang. Monas jadi kalah dengan gedungnya
Bang Ali: Balai Kota. Padahal disain itu saya buat sesuai dengan
gagasan Bung Karno untuk mengecilkan Borobudur", tambahnya.
Waktu itu Bung Karno bilang, "harus kita bikin Borobudur jadi
kecil". Maksudnya, barangkali, ingin membuat sebuah monumen yang
benar-benar megah melebihi Borobudur, satu dari sejumlah
kebanggaan dunia itu. Setelah disainnya tak terpakai, Silaban
baru sadar. "Bung Karno biasa bersikap begitu karena memang suka
bakar semangat. Dan sesudah itu ia mundur teratur" ujar Silaban.
Tentang Istiqlal, meskipun disain sudah siap tahun 1954,
pekerjaan persiapan baru mulai tahun 1961, sedang peletakan batu
pertama 3 tahun kemudian oleh Bung Karno. Pembangunan itu hanya
sampai sekarang sudah 16 tahun. Ketika itu sampai-saunpai gambar
orisinilnya sempat hilang. "Untung saya masih punya kopinya",
katanya.
Silaban menilai, naluri Bung Karno dalam melihat yang indah dan
tak indah sangat tajam. Ada sebuah proyek mercusuar yang tak
jadi dibangun, Menara Bung Karno, yang dulu direncanakan di
Ancol dekat Pasar Ikan. "Menara itu direncanakan mirip Donou
Turm di Wina. Gambar-gambarnya, sekarang masih disimpan Bang
Ali", ujar Silaban yang untuk persiapan pembuatan disainnya me
rasa perlu 2 minggu tinggal di Wina.
Kenal Bung Karno di zaman Jepang. ketika itu Silaban mengaku
"masih saja dalam politik, bahkan agak naik". Suatu hari ia
bertanya pada Bung Karno, "me ngapa bapak jadi begitu pro
Jepang?" Sukarno hanya tertawa saja. Dan pada saat pidato di
bioskop Maxim Bogor, antara lain Bung Karno melontarkan
kata-kata, "saya tahu di sini ada mata-mata musuh".
Kemudian pemimpin itu, yang didampingi oleh Suzuki, orang
Jepang, berbicara tentang kekuatan Jepang dan Amerika. "Secara
tatabahasa, pidato itu kalau ditafsirkan bisa berarti Jepang
yang kuat", kata Silaban. "Tapi karena orang Jepang yang
mendampinginya tak tahu nuansa bahasa kita, ia tak tahu
sebenarnya Bung Karno menjelaskan bahwa Jepang bakal kalah
perang. Sejak itu saya yakin bahwa Bung Karno sebenarnya tidak
pro Jepang", tutur Silaban. Ketika hal itu ia ceritakan kepada
Bung Karno, yang bersangkutan cuma tersenyum.
Mau Dibunuh
Sejak zaman Jepang (1942) sampai penyerahan kedaulatan (1949)
merupakan masa-masa sedin dan gembira. Pernah ditahan Jepang, di
masa revolusi pun pernah pula ditahan pemuda peluang - dituduh
pro Belanda. Di tahan Jepang di Cipanas, ia dibebaskan oleh
tentara Inggeris lalu dibawa ke Sukabumi. Di Sukabumi pernah mau
dibunuh oleh tentara pejuang, Silaban dipindah ke kamp
Kedunghalang, kawasan elit di Bogor.
Di Kedunghalang itu pulalah ia kawin dengan Letty Kievits, gadis
Sunda-Belanda, yang kini dianugerahi 10 anak. Sebelum penyerahan
kedaulatan, Silaban dan keluarga cuti ke Negeri Belanda. "Tepat
pada hari penyerahan kedaulatan itu, 29 Desember 1949, saya
berada di kapal", ujarnya Di Amsterdam, Silaban belajar lagi di
Academie van Bouwkunst selama 1 tahun.
Pulang dari Negeri Belanda ia kembali ke Bogor menduduki
jabatannya yang lama, Kepala DPU Kotapraja Bogor. Jabatan ini
terus dipegangnya sampai ia pensiun tahun 1965. Begitu lama
menja bat kepala DPU, katanya, "saya ini nggak pernah naik
pangkat". Arsitek bllkan tamatan perguruan tinggi yang lebih
banyak belajar sendiri ini, oleh Bung Karno pernah dijuluki
sebagai arsitek "by the race of God ".
Sejak Orde Lama diganyang, Silaban yang begitu dekat dengan Bung
Karno selama 3 tahun nganggur. Tapi ia tidak mengalami
pemeriksaan seperti halnya orang-orang yang digolongkan sebaga
orla. Begitu akrab hingga saya tak l ernah bicara dalam bahasa
Indonesia de ngan Bung Karno", kata Silaban.
Dalam setiap pertemuan, juga dalam sidang Dewan Perancang
Nasional (Silaban salah seorang anggotanya), di mana hadir Mr.
Moh. Yamin, ir. Rooseno Prof. Priyono, Bung Karno selalu
berbahasa Belanda dengan Silaban. Suatu saat Bung Karno minta
maaf kepada hadirin, "maaf saudara-saudara, jangan gusar. Kita,
Silaban dan saya, lebih memahami jiwa masing-masing kalau bicara
dalam bahasa Belanda".
Tak Perlu Ikut Ujian
Karier Silaban yang begitu tinggi sebagai arsitek, sesungguhnya
tak begitu mudah dicapai. Lahir di Bonandolok, Tapanuli, 16
Desember 1912, ia adalah anak Sintua Jonas Silaban. Sintua
adalah ucapan bahasa Batak buat "Saint", sebutan seorang
pengurus Majelis Jemaah Gereja Huria Kristen Batak Protestan.
Tahun 1927 ia tamat HIS di Narumonda, Tapanuli. Lalu melanjutkan
ke KWS (STM) di Jakarta.
Di Jakarta ia mondok di rumah pendeta Nainggolan, sahabat
orangtuanya, di jalan Kwitang. Begitu ia datang ke sekolah,
kepala sekolah KWS Laffermann langsung memberinya buku-buku.
"Kamu tak perlu ikut ujian, karena nilaimu bagus", kata
Laffermann. Setahun di KWS, orangtuanya meninggal. "Lalu siapa
yang membiayai sekolah saya", fikirnya saat itu.
Kepala Sekolah menyarankan agar minta surat pada kontrolir
Siborong-borong yang menyatakan tak sanggup membiayai
'sekolah.'Dan begitu mendapat surat dari Tapanuli, ia mendapat
beasiswa. "Hanya sehari saja mengurusnya", tutur Silaban. Sejak
itu ia pindah mondok di rumah orang Belanda, "supaya saya bisa
lebih tekun belajar". Soalnya, di rumah pendeta Nainggolan ia
tak mendapat kamar tersendiri buat belajar dan menggambar.
Hampir tamat KWS, Silaban pindah lagi, ke rumah J.H. Antonisse,
seorang arsitek yang diakunya sebagai bapak angkat. Selama
itulah ia sempat mengikuti pameran gambar yang diselenggarakan
setiap tahun di Pasar Gambir. Rupanya Antonisse tertarik pada
bakat Silaban. Kebetulan ketiga anak Antonisse tak satu pun yang
tertarik jadi arsitek. Maka hampir seluruh ilmu Antonisse
"diturunkan" pada Silaban.
Tamat KWS Silaban bekerja di Kotapraja Batavia, kemudian pindah
ke ZeniAD Belanda, sebagai opseter. Tahun 1935 Silaban yang juga
tertarik pada perencanaan bangunan mengikuti sayembara
perencanaan rumah walikota dan beberapa hotel. Sebagai
satu-satunya pribumi, saat itu Silaban memenangkan hadiah
ketiga. "Perhatian saya waktu itu memang sudah berat pada
perencanaan daripada pelaksanaan", katanya.
Pujian Tjarda
Sejak itulah ia makin percaya pada kemampuannya sebagai arsitek.
Suatu hari, pada Perang Dunia II, Jerman menyerbu Negeri
Belanda. Dan- Silaban membuat monumen sementara untuk mengenang
orang-orang Belanda yang gugur. Monumen dari kayu dan kain blacu
itu sempat membuat Gubernur Jenderal untuk Hindia Belanda Tjarda
van Starkenborg tercengang karena dibuat cuma dalam waktu
sehari. Dan Tjarda memberinya selembar surat pujian.
"Sebagai inlander, bagi saya hal itu sangat mengesankan", kata
Silaban. Ia sendiri mengakui, ketika itu buta politik. Kisah
yang sama, dan justru karena buta politik itu, terjadi lagi di
zaman Jepang. Ketika Syucokan (residen) Bogor meninggal, Silaban
diminta mernbuat kuil untuk penghormatan bagi arwah Syucokan. Ia
membikinnya cuma dalam waktu semalam saja. Dilaksanakan dengan
beberapa pekerja, "malam itu kami menghabiskan bertong-tong kopi
dan ratusan tusuk sate".
Sungguh, dua pengalaman mengesankan yang tak pernah ia lupakan.
Di hari tuanya sekarang, ia masih bekerja sebagai Wakil Kepala
Proyek Pembangunan Masjid Istiqlal. Tiap hari, Senin sampai
Kamis ia berangkat dari Bogor jam 6 pagi dan baru pulang sekitar
jam 5 sore. Hari Jum'at ia habiskan di rumah membaca buku, Sabtu
dan Minggu untuk keluarga. "Dibanding dengan dulu, sekarang saya
tak sibuk lagi", katanya.
Satu-satunya yang jadi urusan tinggal Masjid Istiqlal, sebab
perusahaannya Biro Arsitek Silaban sudah lama mandeg. "Kehabisan
modal", katanya. Ia sudah memutuskan menghabiskan sisa umurnya
buat menulis buku. "Isteri saya mendesak agar meninggalkan
sebuah buku untuk anak-anak", katanya lagi.
Punya 2 cucu dari 2 anaknya yang sudah berumah-tangga, di
rumahnya jalan Gedung Sawah II (belakang hotel Salak Bogor),
Silaban sekeluarga tampak hidup berbahagia. Rumahnya bagus
dengan arsitektur menarik, dengan beberapa pohon rindang depan
rumahnya. Di sana nongkrong sebuah mobil Chrysler yang otomatik
penuh. "Mobil ini pernah dipakai berkeliling istana oleh Bung
Karno", katanya bangga. Dan sebagai kenang-kenangan, sang mobil
kini tak lagi dipakainya. Tapi di hari-hari tertentu "dipanasi"
agar mesinnya tetap terpelihara.
Meski dulu suka bekerja keras, kini Silaban harus lebih banyak
menjaga kesehatannya. Selama tak bekerja 3 bulan (sejak
pengganyangan Orde Lama dulu), ia kejangkitan penyakit kencing
manis. "Dulu saya biasa bekerja 14 jam sehari. Dan seperti
kebanyakan orang Batak saya juga banyak makan. Rakus", katanya
tertawa. Mungkin itulah sebabnya ia kena diabetes. Dan karenanya
ia tak lagi makan atau minum yang manis-manis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo