Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN suara bariton, lelaki tua itu masih mampu menahan para peminatnya di aula Sanggar Bengkel Teater Rendra di Depok. Ia adalah Sitor Situmorang. Sabtu malam pekan lalu, penyair yang kini berusia 68 tahun itu membacakan 35 buah puisinya -- terdiri dari 21 karya lama yang ia tulis di tahun 1970-an dan 14 karya baru. Ini tentu merupakan acara istimewa. Inilah untuk pertama kalinya Sitor -- yang ''progresif revolusioner'', di tahun 1960-an begitu galak mengganyang sesama seniman yang ''kontrarevolusi'' -- kembali ke Tanah Air dan tampil di depan umum. Dan rekan- rekannya menerimanya kembali dengan tangan terbuka. Cuma sayang, karya Sitor yang dibacakan malam itu tidak bisa dikatakan bagus. Penyair yang segenerasi dengan Chairil Anwar ini dulu pernah menjadi salah seorang tonggak penting dalam sastra Indonesia kontemporer, lantaran puisi-puisinya antara lain terkumpul dalam Surat Kertas Hijau, Jalan Mutiara (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956). Ia memang sangat produktif. Selain menulis cerita pendek (dalam kumpulan Pertempuran dan Salju di Paris) dan sejumlah esei sastra, kumpulan puisinya saja tak kurang dari delapan buah. Tidak seperti halnya para penyair besar di luar negeri yang semakin matang dalam tempaan penderitaan, Sitor tidaklah demikian. Pasang-surut waktu dan usia, juga nasib buruk, meskipun tak mampu menahan produktivitasnya, telah menggoyahkan sendi- sendi puitik sajak-sajaknya. Lihatlah, misalnya, karya barunya, yang ia baca malam itu: Andaikata/Bisa berjabatan ta- ngan/Menyalami para empu/Perancang candi Prambanan pencipta Lara Jonggrang/Yang namanya tak tercatat/Bisa bercakap-cakap dengan seniman desa/Pemahat patung kayu di Pulau Kei/Andaikata/Bisa kenal seniman yang meniupkan nafas Ken Dedes/Ke dalam batu gunung (Affandi Penghuni Rumah Pohon). ''Semangat'' verbal seperti itu tersebar hampir di sebagian besar karyanya yang baru. Lantas bandingkan dengan karyanya yang lama, yang ia tulis tahun 1950 dan 1960-an. Sebagian terbesar karya Sitor pada periode ini sarat dengan alur irama yang nyaman, renungan yang hening, puisi yang ''murni''. Misalnya: Kerling danau di pagi hari/Lonceng gereja bukit Itali/Jika musimmu tiba nanti/Jemputlah abang di teluk Napoli (Lagu Gadis Itali). Betapa puitisnya. Puisi seperti itu, dulu, hampir menjadi semacam ''gaya'' Sitor. Lebih-lebih puisi- puisi pendeknya -- yang cuma terdiri atas beberapa bahkan dua atau satu baris -- sungguh sarat dengan makna yang sangat dalam. Yang terkenal antara lain Bunga Di Atas Batu (Bunga di atas batu/Dibakar sepi/Mengatas indera/Ia menanti/Bunga di atas batu/Dibakar sepi) atau Anak, yang hanya dua baris (Keyakinan yang sia-sia/Berkata dengan bunga) atau Malam Lebaran yang hanya satu baris (Bulan di atas kuburan). Mengapa penyair ini yang seharusnya semakin besar dan matang karena derita di penjara justru melorot? Hal itu barangkali lantaran sikapnya yang ''banting setir'' di tahun 1960-an: dari seniman dan pemikir kebudayaan menjadi politikus (yang langsung terjun dalam kancah politik praktis), dan otomatis juga perubahan sikap keseniannya. Gara-gara kudeta G30S-PKI, Sitor ditangkap pada tahun 1967 dan mendekam di LP Salemba, Jakarta, selama delapan tahun. Ketika itu Sitor memang bukan pemimpin Lekra/PKI, tapi ia pendiri dan ketua umum Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI yang selalu menyuarakan ''paduan suara'' bersama PKI. Pada tahun 1963 Sitor sempat memimpin delegasi ke Konperensi Pengarang Asia-Afrika di Kairo yang disemangati oleh kaum komunis. Setelah konperensi usai, ia mengunjungi RRC dan hasilnya ialah sebuah kumpulan puisi Zaman Baru, yang menurut brosur Indonesia, Sebuah Laporan Amnesti Internasional (1977), memuat puisi-puisi realisme sosialis. Dan kini Sitor pulang dari Belanda dan Pakistan dengan puisi yang biasa-biasa saja. Budiman S. Hartoyo dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo