Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIALA Citra sudah dibagi-bagi. Dengan pukulan gong, Menpen Ali
Murtopo menutup Festival Film Indonesia 1982 di Jakarta, Sabtu
malam berselang. Glamurnya tidak berlebihan, atmosfirnya lebih
sederhana. Kali ini, untuk menghargai orisinalitas cerita,
disediakan pula sebuah Citra dimenangkan oleh Serangan Fajar.
Dewan Juri sementara itu, dalam satu uraian singkat, merumuskan
adanya peningkatan di segi teknik sinematografik dan kedalaman
penggarapan isi cerita. Sampai di sini segala sesuatu nampak
hampir memenuhi harapan. Padahal ada sebuah isu, dan tidak
seorang pun yang berminat membicarakannya. Sutradara Nico
Pelamonia misalnya kepada TEMPO berkata: "Itu 'kan kawan kita,
orang flim sendiri. Jadi ya . . . bagaimana."
Kawan kita yang dimaksud Nico tak lain dari Ismail Soebardjo,
sutradara pemenang Citra 1981 dengan film Perempuan Dalam
Pasungan (PDP). Tahun ini filmnya terbaru, Bercanda Dalam Duka
(BDD), tercatat untuk beberapa unggulan. Tapi justru akhir Juli
lalu BDD dituduh sebagai hasil jiplakan -- dari Homicide,
produksi Hongkong 1973. Isu jiplak ini dilontarkan oleh sebuah
harian di Ibukota. Akibatnya timbul heboh. PWI Seksi Film lantas
memutarkan BDD dan Homicide di hadapan wartawan. Hal yang sama
kemudian dilakukan KFT organisasi karyawan film, dalam forum
lebih terbatas.
Para penonton, agaknya, pada kesempatan itu memang sampai pada
kesimpulan bahwa telah terjadi penjiplakan total. Habis tema dan
penokohan mirip sekali. Juga beberapa adegan seperti pergumulan
karena soal telur, penembakan oleh si bisu, dan obor-obor di
pebukitan. Benar, BDD, yang waktu putarnya hampir dua jam,
menampilkan tokoh sentral: Lurah Dirun. Tapi, di samping
penggarapan tokoh ini lemah, persamaan alur cerita kedua film
bagaikan benang merah yang tidak terbantah. Tentang ini apa kata
Ismail?
Di rumahnya di kawasan Jelambar, Jakarta, Ismail Soebardjo, 39
tahun, mengakui BDD memang dipengaruhi Homicide. Tapi untuk film
yang sama ia juga meramu gagasan dan bahan dari film dan buku
lain -- tanpa menyebut judul-judulnya. Dikatakannya, dia memang
terilhami oleh tokoh si bisu dalam Homicide. Tapi entah dengan
maksud apa disebutkannya bahwa BDD merupakan pengembangan dari
PDP, filmnya sendiri.
Tuduhan menjiplak baginya terasa pahit. "Masyarakatlah yang akan
menilai," ucapnya tertahan. Toh penjiplakan dinilai Ismail
sebagai hal yang wajar. "Tidak ada yang murni, kecuali Allah,"
katanya. Dia tidak menyinggung soal persamaan adegan. Sebaliknya
malah menegaskan: "Sepanjang yang lahir itu berbeda, itu adalah
kreativitas."
Tapi tidak hanya Ismail. Tuduhan menjiplak, meski tidak begitu
gencar, juga ditujukan kepada M.T. Risyaf untuk filmnya Bawalah
Aku Pergi (BAP). Diduga mengambil sesuatu dari film Jepang Take
Me Away, BAP yang belum beredar itu paling tidak memang
mcnjiplak nama. Tapi Risyaf tandas menolak tuduhan. Sejak mula
ia memang sudah jatuh senang pada judul itu yang disodorkan
produser satu paket dengan tiga "keharusan" lain. Yakni: pemeran
utama harus Roy Marten. Harus ada shooting di luar negeri. Dan
harus ada beberapa nyanyian. Dengan paket itu, Asrul Sani
mengolah sebuah skenario yang kemudian memenangkan Citra
sebagai skenario terbaik tahun ini.
BICARA tentang tuduhan, Risyaf berpendapat bahwa sebuah karya
baru bisa disebut menjiplak bila mencakup keseluruhan: fisik dan
tema. Kalau yang ada sekedar pengaruh, itu bukan jiplakan.
Menarik juga komentarnya: "Yang saya akui adalah, saya membeli
celana Levi's, tapi saya tetap orang Indonesia. Karena itu saya
harus mensiasati film BAP." Mensiasati? Tidak jelas maksudnya,
memang. Tapi ayah dua anak ini kemudian berkata: "Kalau film
saya itu saya sebut hasil jiplakan, berarti saya tidak jujur."
Dari awal sampai akhir, masalah penciptaan memang meliputi soal
kejujuran. Terasa kurang bertanggung jawab jika Nico Pelamonia
mengatakan: "Berulangnya penjiplakan tidak bisa diatasi, tidak
pula bisa dihukum. Masalahnya tidak ada satu badan untuk
menghukumnya." Risyaf berpendapat sama "Bergantung kesadaran
orangnya, karena tidak ada yang menghukum." Dan Ismail Soebardjo
menyayangkan tiadanya sanksi hukum, seraya menyesalkan FFI yang
tidak punya konsep untuk mengatasi kasus penjiplakan. Ia pun
mengingatkan perlunya rumus tentang 'penjiplakan' itu sendiri.
Terasa ada kecenderungan untuk mencari jalan berputar.
Pada saat perfilman Indonesia semakin maju di segi teknis, ia
juga makin kedodoran dalam penulisan skenario. Kasus
penjiplakan itu buktinya.
Kelemahan di bidang itu mencemaskan, terutama karena tidak mudah
diatasi. Bukan saja karena lembaga pendidikan yang ada tidak
bisa menjamin tercetaknya penulis skenario yang baik. Tapi juga,
seperti kata Edward Pesta Sirait, "Iklim penciptaan belum
merangsang ke arah sana. Apalagi semua menulis berdasar
pesanan," tandasnya.
Sjuman dan Nya Abbas mensinyalir banyaknya faktor penghambat
kreativitas bagi penulis skenario. Mulai dari Deppen yang
nyinyir, BSF yang gawat, produser sampai 'booker.'
Ada kecenderungan kedua, yang juga menyangkut skenario. Yakni
makin banyaknya novel pop yang difilmkan. Ini memang tidak
langsung membuktikan keterbatasan daya cipta penulis skenario.
Lagi pula, meski trend itu juga mencerminkan kelatahan (hal yang
dibantah Fritz Schadt, mengingat Usmar Ismail pun dulu
memfilmkan Anak Perawan Di Sarang Penyamun dan Liburan Seniman),
seperti kata Nya Abbas Akup novel bisa memberi landasan kerja
yang baik bagi penulis skenario. Arifin. C. Noer memperinci
sumbangan positif novel pop pada film antara lain pada bahasa,
komposisi cerita, plot dan pcrwatakan yang semuanya lebih baik
dan lebih rapi.
Perhitungan komersialnya bukan tidak ada. "Di Amerika bahkan ada
semacam ketentuan harus memfilmkan novel yang sudah dicetak
100-200 ribu eksemplar, karena produser dan sutradara
berpendapat secara hitung dagang hal itu lebih aman," ujar
Fritz, diiringi senyum lebar.
Perhitungan dagang itu pula yang memacu kecenderungan ketiga:
menderasnya film-film keras, horor atau action satu tahun
belakangan ini.
Meski seorang staf BSF yakin, demam horor itu segera mencapai
titik jenuh, tak urung banyak yang waswas. Apa tidak berpengaruh
buruk, bisa memacu jumlah kejahatan Kecemasan itu diredakan
Sarlito Wirawan, psikolog: "Jangan terlalu melebih-lebihkan.
Pengaruh film keras terhadap tindakan kriminal hanya 5%. Dia
memang belum meneliti khusus, tapi dia mengajukan tolok ukur:
dalam 100 orang pasti ada 3 penjahat. Dipastikannya 3 orang
inilah yang akan terpengaruh. Menurut Sarlito, film seks lebih
besar pengaruhnya karena "bisa langsung ditiru."
Hendrick Gozali, direktur PT Garuda Film, memperhitungkan selama
1 tahun terakhir ini di Indonesia diproduksi 50% film horor,
30% drama, 10% komedi, 10% action. Apa yang dicari penonton pada
film horor? Dikatakan Hendrick: penonton sering kagum pada
trik-trik seperti film Barat.
TAPI itu pun belum menjamin pasar. Kata Hendrick, selera
masyarakat berbeda -- dari golongan ke golongan, dari dacrah ke
daerah. Sumatera Barat dan Inlon sia Tirlur biasanya tidak
suka film horor. Apa sebabnya, dia pun kurang tahu. Gope
Samtani dari Rapi Film, yang memproduksi Jaka Sembung, yakin
tren film keras sekarang mengikuti arus yang sama di luar
negeri. Tapi selera penonton di sini cenderung pada film mistik
(maksudnya: kepercayaan) yang diangkat dari legenda. Sundel
Bolong umpamanya.
Adapun Ratno Timur sama sekali tidak memperhitungkan trend,
karena sejak mula ia memproduksi film keras. Ada 25 judul semua.
"Orang tak betah mendengar dialog bertele-tele. Mereka ingin
menonton action yang bagus," kata sutradara merangkap aktor yang
kini sedang menggarap film Jin Galunggung itu. "Saya senang
membuat film seperti ini. Baru judulnya saja sudah mendatangkan
uang. Film belum selesai, booker sudah membayar," katanya terus
terang.
Sebaliknya Teguh Karya menegaskan: "Saya kurang suka film keras
yang mempermudah kejahatan sambil mendangkalkan agama." Pada
prinsipnya sutradara ini tidak antikekerasan dalam film. Apalagi
di antaranya memang ada yang baik. Hanya ia berpendapat, "film
yang bergelimang darah dan kekejaman tidak bisa ditingkatkan
nilai artistiknya. Karena itu sebaiknya dilarang saja."
Dan syukurlah, film macam itu tak menjadi pemenang Citra tahun
ini: Serangan Fajar, 6 Citra untuk penyutradaraan (Arifin C.
Noer), tata musik (Embi C. Noer), tata artistik (Fred Wetik &
Farraz Effendy), peran pembantu wanita (Suparmi), serta untuk
film terbaik dan keaslian cerita. Dalam film ini juga, Dani
Mursani mendapat penghargaan khusus untuk peran anak-anak. Citra
lainnya berbagi: Asrul Sani (penulis skenario. Bawalah Aku
Pergi), Akin (sinefotografi, Jangan Ambil Nyawaku), Norman Benny
(penyuntingan gambar/ editing, Bukan Istri Pilihannya), Zaenal
Abidin (peran utama, Putri Seorang Jenderal), Maruli Sitompul
(peran pembantu pria, Bawalah Aku Pergi), Yenny Rachman (peran
utama wanita, Gadis Marathon). Sedang film komedi Pintar-pintar
Bodoh, mendapat piala Antemas untuk film terlaris berdasar
jumlah penonton di kota besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo