Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Alvian Wardhana mengajak kawan-kawannya memberikan les gratis kepada anak-anak desa.
Mereka menerapkan tiga metode belajar sesuai dengan kecenderungan gaya belajar setiap anak.
Anak-anak juga diberi pemahaman tentang toleransi dan kesetaraan.
ALVIAN Wardhana seolah-olah tak mengenal kata istirahat. Setelah meneliti pemberdayaan pemuda di Malang, Jawa Timur, untuk program kreativitas mahasiswa, ia kembali ke kampungnya, Desa Saranghalang, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Di sela kesibukannya kuliah secara daring, mahasiswa S-1 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya, Malang, itu memimpin Literasi Anak Banua, komunitas yang bergerak di bidang literasi di Kalimantan Selatan. “Kami memberikan les gratis kepada anak-anak usia sekolah dasar,” kata Alvian, 19 tahun, Senin, 15 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komunitas yang awalnya mengajari anak-anak membaca itu kini tersebar di 14 desa di Kalimantan Selatan dengan 1.800 anak yang mengikuti kegiatan. Didirikan pada Maret 2018, Literasi Anak Banua menjadi finalis Wenhui Award 2020 yang diselenggarakan UNESCO Asia-Pacific. Mereka pun masuk 100 proyek sosial terbaik pada 2020 menurut lembaga yang menginisiasi jaringan internasional bagi para pemuda, Friends for Leadership.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Literasi Anak Banua juga masuk tiga besar Desamind Award 2021 untuk kategori inisiatif dalam pendidikan yang diselenggarakan lembaga swadaya masyarakat Desamind. Alvian, pendiri komunitas itu, baru saja terpilih sebagai satu dari sembilan Ashoka Young Changemakers 2021 yang diadakan organisasi global yang berbasis di Amerika Serikat, Ashoka.
Semula Alvian mendirikan Literasi Anak Banua untuk mengajari anak-anak di Desa Kunyit, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut. Ia sebelumnya datang ke kampung itu sebagai relawan Forum Anak Daerah, organisasi di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk mensosialisasi hak anak. Ketika mengajak anak-anak bermain, Alvian kaget karena ada anak kelas III sekolah dasar yang belum bisa membaca. “Literasi adalah hal dasar yang bisa mengubah taraf hidup seseorang dan masyarakat. Waktu melihat anak-anak itu, saya merasa tertampar,” ujar Alvian.
Bersama lima kawannya, Alvian kembali ke kampung itu untuk mencari tahu penyebab anak-anak tersebut belum bisa membaca. Beberapa anak bisa memahami pelajaran, tapi banyak lainnya yang tertinggal. Mereka yang keteter itu tidak memahami penjelasan guru karena sistem pembelajaran yang sama untuk semua murid. Dari situ, Alvian dan kawan-kawan memiliki gagasan memberikan les membaca gratis sesuai dengan kecenderungan gaya belajar mereka.
Menurut dia, ada tiga gaya belajar anak, yakni audio, visual, dan kinestetik. Mereka yang condong ke arah audio lebih memahami penjelasan yang dijabarkan lewat suara. Sedangkan yang berat ke sisi visual lebih berfokus pada penglihatan. Adapun yang bertipe kinestetik menyenangi belajar dengan melibatkan gerak. Alvian, yang ketika itu masih duduk di kelas XI sekolah menengah atas, memahami betul hal tersebut. Ia bisa memperbaiki nilainya di sekolah secara drastis setelah menemukan tipe belajarnya sendiri. Ia sebelumnya tergolong murid yang dianggap ketinggalan di kelas. “Dari SD sampai kelas VII SMP itu nilaiku rendah, pernah dapat 0,8, sampai ibuku dipanggil guru, ha-ha-ha…,” tuturnya.
Saat duduk di kelas VII SMP, Alvian mencari cara agar belajar lebih terasa menyenangkan dan ia dapat lebih memahami pelajaran. Dia akhirnya menemukan ketiga metode tersebut. Setelah Alvian menemukan cara belajar yang cocok, nilainya langsung melesat. Ia masuk 10 besar pada semester berikutnya dan masuk ke kelas unggulan saat kelas VIII. Di SMA, dia selalu masuk tiga besar.
Pada awal Maret 2018, Alvian dan lima kawannya datang ke Desa Kunyit dengan niat mengajari anak-anak desa itu sesuai dengan kecenderungan mereka dalam belajar, tapi masyarakat setempat menolak. Warga Kunyit tak yakin murid-murid SMA itu mampu mengajari anak mereka. Sebuah komunitas pemuda setempat juga menentang lantaran anak-anak di sana sudah punya kegiatan belajar baca-tulis Al-Quran. Alvian dan kawan-kawan akhirnya mendatangi kepala desa. “Kepala desa mengizinkan, tapi kami diminta mengumpulkan tanda tangan 125 kepala keluarga dalam dua hari sebagai bentuk persetujuan masyarakat,” ucapnya.
Mereka akhirnya mendatangi rumah warga satu per satu dan menjelaskan niat sekaligus memberikan contoh beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh anak muda. Tanda tangan persyaratan itu akhirnya mereka kantongi. Kepada komunitas yang menolak, mereka mendiskusikan makna wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad, yakni Surat Al-Alaq. Kata pertama dalam ayat pertama itu memiliki arti “bacalah”. “Membaca itu konteksnya bukan hanya Al-Quran, tapi juga untuk hal yang lain,” kata Alvian.
Komunitas itu akhirnya mau menerima. Alvian dan kawan-kawan mengatur jadwal agar kegiatan mereka tak bentrok dengan kegiatan kelompok itu. Literasi Anak Banua baru bisa memulai kegiatan setelah tiga pekan mengurus perizinan. Sekitar 100 anak kelas I-III SD bergabung mengikuti kegiatan mereka. Alvian dan teman-temannya mengelompokkan mereka setelah mengamati dan menguji kecenderungan gaya belajar setiap anak.
Pengajar di kelompok audio akan lebih banyak menggunakan suara, misalnya dengan memanfaatkan pengeras suara, agar anak-anak mudah mengerti. Sedangkan pengajar di kelompok visual lebih banyak menggunakan gambar, seperti memakai video dari YouTube. Adapun pengajar di kelompok kinestetik biasanya menggunakan alat peraga, di antaranya boneka tangan. Pelan-pelan mereka melihat kemajuan pada anak-anak tersebut. “Yang semula belum bisa menulis abjad, bisa menulis. Yang belum bisa membaca jadi bisa membaca,” ujar Alvian.
Melihat perkembangan kemampuan anak-anak, Alvian dan kawan-kawan punya gagasan mempraktikkan metode itu kepada anak-anak di desa lain, terutama di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia. Sampai 2020, mereka sudah merambah ke 13 desa lain. Salah satunya Desa Bajayau, Kecamatan Daha Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang harus ditempuh selama sekitar enam jam menggunakan sepeda motor dari Desa Kunyit.
Alvian juga mengajak kawan-kawannya yang lain menjadi anggota komunitas ataupun relawan. Hikmah salah seorang di antaranya. Relawan dari Desa Pemuda, Kecamatan Pelaihari, itu tahu betul kualitas pendidikan di kampungnya. Pendidikan bukan hal yang utama bagi masyarakat. Jumlah guru di sana pun sangat terbatas. “Kadang satu guru untuk semua kelas. Kadang anak kelas VI diberi pelajaran kelas IV,” katanya.
Setelah anak-anak sudah bisa membaca, mereka mulai merambah ke mata pelajaran lain, seperti matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Selain itu, mereka diajari keterampilan di luar pelajaran, seperti mendongeng (storytelling). Anak-anak tersebut juga diberi pemahaman mengenai hal lain, seperti toleransi dan kesetaraan.
Tiatira Nadine Ratih, 20 tahun, dari Desa Riam Adungan, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, melihat perubahan kemampuan anak-anak di desanya setelah Literasi Anak Banua masuk pada akhir 2019. Adiknya, Doni, siswa kelas II SD, ikut belajar bersama mereka. Doni, yang semula malas belajar, sekarang terlihat lebih bergairah. Prestasi Doni, yang semula peringkatnya 20-an di kelas, kini masuk ke 10 besar. Semangat anak-anak lain untuk belajar juga meningkat. “Kakak-kakak pengajar baru parkir motor saja mereka sudah kelihatan antusias,” tuturnya.
Alvian dan timnya kini sedang mengembangkan Literasi Anak Banua untuk menjangkau anak-anak ataupun pemuda lebih banyak. Mereka membuat program yang bisa diikuti oleh anak-anak muda, baik yang hendak menjadi relawan maupun yang ingin belajar, yang mereka promosikan lewat media sosial.
Program Great Banua, misalnya, mengajak pemuda dari mana pun mengajari anak-anak di Desa Kunyit dan desa lain. Tema yang diajarkan berkaitan dengan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Para pemuda yang ingin berkontribusi tinggal mengirim rekaman kepada Literasi Anak Banua yang nantinya disampaikan ke anak-anak di desa tersebut. “Kami ingin memfasilitasi kawan-kawan yang ingin memberikan manfaat kepada masyarakat, tapi bingung caranya bagaimana,” ujarnya.
NUR ALFIYAH, DIANANTA P. SUMEDI (BANJARMASIN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo