Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sosok Hangat Sang Sahabat

Di mata beberapa orang Indonesia, Castro adalah pribadi yang hangat, spontan, jauh dari aturan protokoler

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Hotel Melia Havana, Kuba, Abdurrahman Wahid mendengarkan gending Jawa. Waktu­ itu, April 2000, Presiden Republik Indonesia keempat itu merebahkan diri setelah seharian mengikuti pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Negara Nonblok, di Havana, Kuba. Di sa­mpingnya, Yenny Wahid, anaknya, membacakan buku untuknya.

Sekitar pukul sepuluh malam, tiba-tiba pintu kamar Gus Dur diketuk. Ketika anggota pasukan peng­aman presiden membukanya, terpanalah seisi kamar: Fidel Castro dan sejumlah pengawalnya telah ber­diri di muka pintu.

Gus Dur, yang saat itu mengenakan celana pen­dek, masih sempat meraih celana panjang dan hem. Ye­nny menyambar kebaya dan kerudungnya. Sedang­kan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang ber­ada di kamar lain, tergeragap bangun dari tidur dan segera menemui Castro. ”Bapak enggak pakai sandal, benar-benar seadanya,” Yenny mengisahkan.

Gus Dur memang mengungkapkan keinginannya bertemu dengan Castro. Tapi pemerintah Kuba tak memberikan tanggapan. Rupanya, pemerintah Kuba sangat berhati-hati dalam urusan keselamatan Sang Komandan. Jika ingin bertemu secara pribadi dengan pemimpin negara lain, Castro hampir selalu mera­hasiakan waktu dan tempat pertemuan. Presi­den Kuba yang beberapa kali menjadi sasaran bidik dinas intelijen Amerika Serikat itu ingin pertemuan berlangsung tanpa aturan protokoler.

Castro, kata Yenny, tak memakai baju kebesaran militernya. Ia berbusana santai. Suasananya cair, penuh canda, dan, kata Yenny, ”Tak ada pembicaraan yang sangat serius sepanjang sekitar satu jam.”

Presiden Kuba itu lebih banyak bercerita seputar geopolitik, tentang negaranya, tentang Amerika se­­bagai imperialis baru. Sama seperti pidato-pidatonya. Sedangkan Gus Dur, seperti biasanya, melontarkan humor-humor segar. Antara lain, cerita empat Presi­den Indonesia yang gila. Katanya, presiden pertama gila wanita, yang kedua gila harta, yang ketiga gila beneran, dan yang keempat (Gus Dur) bikin orang gila. Dengan tergelak, Castro menukas, ”Se­pertinya saya masuk yang ketiga dan keempat.”

Gaya spontan dan mendadak itu juga ditunjukkan Castro kala menerima Presiden Soekarno. Dalam kunjungan pada awal 1960-an itu, Bung Karno sudah menunggu hampir satu jam dari waktu yang telah disepakati, di istana kepresidenan di Havana. Castro belum muncul jua. Bung Karno pun kesal. Ia lalu mengajak rombongan pulang ke hotel.

Di tengah perjalanan, mendadak sebuah jip me­nyalip dan memotong mobil Bung Karno. Jip berhenti, me­lintang di tengah jalan. Sopirnya segera turun, ber­gegas mendekati mobil Soekarno. Sang sopir itu ada­lah Fidel Castro. Dia mengulurkan tangan, minta­ ma­af bertubi-tubi. Castro mengaku datang dari ladang tebu, dan mengajak Bung Karno kembali ke istana.

Ya, dengan caranya yang tiba-tiba itu, Castro meng­ulurkan keramahan dan kehangatan. Joesoef Isak, 78 tahun, editor penerbit Hasta Mitra, mengenang perjumpaannya dengan Sang Komandan, 42 tahun silam. Ia, yang saat itu menjadi Pemimpin Redak­si Harian Merdeka, bersama dua rekannya, Banda Ha­rahap dan Utoyo Mahdi, memenuhi undangan memperingati ulang tahun ke-5 Revolusi Kuba. Ia datang sebagai delegasi Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Dari Jakarta, Joesoef dan kedua rekannya itu tak bisa terbang langsung ke Kuba. Sejak Castro ber­kuasa pada 1959, Kuba mengalami embargo dan blo­kade ekonomi oleh Amerika dan sekutunya. Pesawat terbang dari Amerika dan Eropa Barat tak ada yang mendarat lagi di sana. Hanya ada dua penerbang­an rutin yang saat itu masuk ke Kuba: dari Cekoslova­kia dan Meksiko. Joesoef dan rekan-rekannya memilih rute pertama.

Menumpang pesawat Czech Airlines (CSA) dari Praha, Joesoef terbang ke Kuba pada akhir Desember 1963. Setelah singgah di Dublin, Irlandia, dan Kanada, akhirnya pesawat itu mendarat di Bandar Udara Internasional Jose Marti, Havana.

Pertemuan Joesoef dan Castro terjadi pada 1 Ja­nuari 1964 malam. Ia dan rombongan undangan ­lain­nya—korps diplomatik sejumlah negara dan para wartawan dari berbagai negara—datang menghadiri resepsi ulang tahun Revolusi Kuba di Istana Kepre­sidenan. Malam itu, Castro dan Presiden Osvaldo Dor­ticos menyambut. Castro mengenakan seragam mi­liter lengkap dengan atributnya.

Ketika tiba giliran menyalami Castro, Joesoef mem­perkenalkan diri bahwa ia datang dari Indonesia. Saat itu Castro langsung menyahut, ”Wah, itu nege­ri­ sahabat saya, Soekarno,” katanya. Castro lantas me­nanyakan kabar Bung Karno dan Indonesia.

Pertemuan itu singkat saja, memang. Tapi bagi Joe­soef peristiwa langka itu sangat membekas. Castro saat itu berusia 38 tahun dan sangat tampan, kata Joe­soef. Ia juga terpesona oleh kepiawaian Castro berpidato saat berhadapan dengan ribuan orang di depan Istana Revolusi. Castro berpidato le­bih dari tiga jam tanpa teks dalam bahasa Spanyol. ”Meski lebih dari tiga jam dan saya tidak mengerti, pidato Castro tidak membosankan,” katanya. Pidato Castro dengan suara menggelegar dan menyihir massa itu segera meng­ingatkan Joesoef pada pidato Bung Karno.­

Menurut Joesoef, saat itu penerjemahnya menga­takan isi pidato Castro seputar pembangunan Kuba, terutama di bidang kesehatan dan kesejahtera­an buruh. Castro juga berbicara mengenai pahlawan-pah­lawan Kuba. Lalu tentang keberhasilan me­ngalahkan pasukan Amerika di Teluk Babi. Castro menyatakan bahwa persatuan rak­yat Kuba bisa mengalahkan negara adikuasa, Amerika.

Joesoef kini menyimpan foto hitam-putih saat ia berjabat tangan dengan Castro. Ironisnya, menurut Joesoef, foto itu diperolehnya dari Library of Congress, Washington, DC, Amerika Serikat, yang notabene musuh Ku­ba. Perpustakaan ini menyimpan foto Joesoef yang sempat menjadi headline harian El Mundo, Kuba, edisi 2 Januari 1964.

Nurdin Kalim, Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus