Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Hotel Melia Havana, Kuba, Abdurrahman Wahid mendengarkan gending Jawa. Waktu itu, April 2000, Presiden Republik Indonesia keempat itu merebahkan diri setelah seharian mengikuti pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Negara Nonblok, di Havana, Kuba. Di sampingnya, Yenny Wahid, anaknya, membacakan buku untuknya.
Sekitar pukul sepuluh malam, tiba-tiba pintu kamar Gus Dur diketuk. Ketika anggota pasukan pengaman presiden membukanya, terpanalah seisi kamar: Fidel Castro dan sejumlah pengawalnya telah berdiri di muka pintu.
Gus Dur, yang saat itu mengenakan celana pendek, masih sempat meraih celana panjang dan hem. Yenny menyambar kebaya dan kerudungnya. Sedangkan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang berada di kamar lain, tergeragap bangun dari tidur dan segera menemui Castro. ”Bapak enggak pakai sandal, benar-benar seadanya,” Yenny mengisahkan.
Gus Dur memang mengungkapkan keinginannya bertemu dengan Castro. Tapi pemerintah Kuba tak memberikan tanggapan. Rupanya, pemerintah Kuba sangat berhati-hati dalam urusan keselamatan Sang Komandan. Jika ingin bertemu secara pribadi dengan pemimpin negara lain, Castro hampir selalu merahasiakan waktu dan tempat pertemuan. Presiden Kuba yang beberapa kali menjadi sasaran bidik dinas intelijen Amerika Serikat itu ingin pertemuan berlangsung tanpa aturan protokoler.
Castro, kata Yenny, tak memakai baju kebesaran militernya. Ia berbusana santai. Suasananya cair, penuh canda, dan, kata Yenny, ”Tak ada pembicaraan yang sangat serius sepanjang sekitar satu jam.”
Presiden Kuba itu lebih banyak bercerita seputar geopolitik, tentang negaranya, tentang Amerika sebagai imperialis baru. Sama seperti pidato-pidatonya. Sedangkan Gus Dur, seperti biasanya, melontarkan humor-humor segar. Antara lain, cerita empat Presiden Indonesia yang gila. Katanya, presiden pertama gila wanita, yang kedua gila harta, yang ketiga gila beneran, dan yang keempat (Gus Dur) bikin orang gila. Dengan tergelak, Castro menukas, ”Sepertinya saya masuk yang ketiga dan keempat.”
Gaya spontan dan mendadak itu juga ditunjukkan Castro kala menerima Presiden Soekarno. Dalam kunjungan pada awal 1960-an itu, Bung Karno sudah menunggu hampir satu jam dari waktu yang telah disepakati, di istana kepresidenan di Havana. Castro belum muncul jua. Bung Karno pun kesal. Ia lalu mengajak rombongan pulang ke hotel.
Di tengah perjalanan, mendadak sebuah jip menyalip dan memotong mobil Bung Karno. Jip berhenti, melintang di tengah jalan. Sopirnya segera turun, bergegas mendekati mobil Soekarno. Sang sopir itu adalah Fidel Castro. Dia mengulurkan tangan, minta maaf bertubi-tubi. Castro mengaku datang dari ladang tebu, dan mengajak Bung Karno kembali ke istana.
Ya, dengan caranya yang tiba-tiba itu, Castro mengulurkan keramahan dan kehangatan. Joesoef Isak, 78 tahun, editor penerbit Hasta Mitra, mengenang perjumpaannya dengan Sang Komandan, 42 tahun silam. Ia, yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, bersama dua rekannya, Banda Harahap dan Utoyo Mahdi, memenuhi undangan memperingati ulang tahun ke-5 Revolusi Kuba. Ia datang sebagai delegasi Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Dari Jakarta, Joesoef dan kedua rekannya itu tak bisa terbang langsung ke Kuba. Sejak Castro berkuasa pada 1959, Kuba mengalami embargo dan blokade ekonomi oleh Amerika dan sekutunya. Pesawat terbang dari Amerika dan Eropa Barat tak ada yang mendarat lagi di sana. Hanya ada dua penerbangan rutin yang saat itu masuk ke Kuba: dari Cekoslovakia dan Meksiko. Joesoef dan rekan-rekannya memilih rute pertama.
Menumpang pesawat Czech Airlines (CSA) dari Praha, Joesoef terbang ke Kuba pada akhir Desember 1963. Setelah singgah di Dublin, Irlandia, dan Kanada, akhirnya pesawat itu mendarat di Bandar Udara Internasional Jose Marti, Havana.
Pertemuan Joesoef dan Castro terjadi pada 1 Januari 1964 malam. Ia dan rombongan undangan lainnya—korps diplomatik sejumlah negara dan para wartawan dari berbagai negara—datang menghadiri resepsi ulang tahun Revolusi Kuba di Istana Kepresidenan. Malam itu, Castro dan Presiden Osvaldo Dorticos menyambut. Castro mengenakan seragam militer lengkap dengan atributnya.
Ketika tiba giliran menyalami Castro, Joesoef memperkenalkan diri bahwa ia datang dari Indonesia. Saat itu Castro langsung menyahut, ”Wah, itu negeri sahabat saya, Soekarno,” katanya. Castro lantas menanyakan kabar Bung Karno dan Indonesia.
Pertemuan itu singkat saja, memang. Tapi bagi Joesoef peristiwa langka itu sangat membekas. Castro saat itu berusia 38 tahun dan sangat tampan, kata Joesoef. Ia juga terpesona oleh kepiawaian Castro berpidato saat berhadapan dengan ribuan orang di depan Istana Revolusi. Castro berpidato lebih dari tiga jam tanpa teks dalam bahasa Spanyol. ”Meski lebih dari tiga jam dan saya tidak mengerti, pidato Castro tidak membosankan,” katanya. Pidato Castro dengan suara menggelegar dan menyihir massa itu segera mengingatkan Joesoef pada pidato Bung Karno.
Menurut Joesoef, saat itu penerjemahnya mengatakan isi pidato Castro seputar pembangunan Kuba, terutama di bidang kesehatan dan kesejahteraan buruh. Castro juga berbicara mengenai pahlawan-pahlawan Kuba. Lalu tentang keberhasilan mengalahkan pasukan Amerika di Teluk Babi. Castro menyatakan bahwa persatuan rakyat Kuba bisa mengalahkan negara adikuasa, Amerika.
Joesoef kini menyimpan foto hitam-putih saat ia berjabat tangan dengan Castro. Ironisnya, menurut Joesoef, foto itu diperolehnya dari Library of Congress, Washington, DC, Amerika Serikat, yang notabene musuh Kuba. Perpustakaan ini menyimpan foto Joesoef yang sempat menjadi headline harian El Mundo, Kuba, edisi 2 Januari 1964.
Nurdin Kalim, Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo