Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pembuka Jalan Petani Lokal

Helianti Hilman menaikkan nilai pangan lokal melalui Javara hingga menembus pasar dunia. Penjualannya meningkat di tengah pagebluk Covid-19.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai siasat dilakukan Helianti Hilman agar Javara tetap bisa berjalan di masa pandemi Covid-19.

  • Helianti harus belajar bisnis online untuk meningkatkan penjualan produknya di masa pandemi.

  • Demi mengembangkan Javara, Helianti harus meninggalkan kursi pemimpin perusahaan.

PANDEMI Covid-19 membuat Helianti Hilman bertambah sibuk. Sejak pemerintah DKI Jakarta memberlakukan pembatasan sosial berskala besar pada awal April lalu, pendiri PT Kampung Kearifan Indonesia (Javara) ini bisa bekerja mulai subuh sampai tengah malam. Ia antara lain mesti menghadiri beberapa rapat daring (online), mengecek data penjualan di semua market, dan memikirkan calon produk baru. “Saya sampai diprotes anak karena kerja terus,” katanya, Kamis, 4 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Heli—demikian perempuan 49 tahun itu disapa—mesti bekerja lebih keras untuk mengadaptasikan Javara agar tetap berjalan di masa pagebluk virus corona. Javara adalah perusahaan bahan pangan organik yang bermitra dengan puluhan ribu petani di seluruh Indonesia. Mereka antara lain menjual beras, tepung, bumbu dapur, minyak kelapa, madu, dan camilan. Produk mereka dijual di berbagai toko organik dan supermarket; dipakai di banyak hotel, restoran, juga penyedia katering; serta diekspor ke lebih dari 25 negara di empat benua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Heli, tak ada masalah dengan pasar ekspor. Pesanan justru meruyak. Pada 4 Juni lalu, misalnya, ia baru saja berbincang dengan pembeli baru dari Singapura. Masyarakat di Negeri Singa, yang selama ini mengandalkan pangan impor antara lain dari Malaysia, mulai waswas lantaran pemerintah Malaysia berencana mengurangi ekspor selama pandemi. Esoknya, Heli punya janji berdiskusi dengan pembeli baru dari Hong Kong.

Problem justru datang dari pasar dalam negeri. Sepuluh persen produk Javara dibeli oleh hotel, restoran, dan penyedia katering. Selama pandemi, jumlah pengunjung hotel merosot tajam. Banyak restoran, terutama yang berada di mal, tutup. Bisnis katering juga lesu karena orang memilih memasak sendiri di rumah. Mau tak mau mereka harus menggenjot penjualan dengan cara lain, yakni lewat online. Penjualan daring sebelumnya hanya menyumbang tak sampai 2 persen dari total pemasukan Javara.

Inilah yang membuat mantan Chief Executive Officer (CEO) Javara ini puyeng. Ia tak paham cara kerja daring. “Saya itu golongan ‘kolonial’. Kalau ketemu digital, mata saya agak berkunang-kunang, ha-ha-ha…,” ucap pemegang gelar master hukum hak kekayaan intelektual dari King’s College London, Inggris, itu.

Heli harus tetap terjun langsung. Sebagai chief creative and branding officer, ia mesti belajar membaca big data konsumen. Dari data ini, ia bisa membuat inovasi produk baru yang diprediksi laku di pasaran. “Saya juga mesti belajar membaca kecenderungan perilaku konsumen online,” ujarnya.

Bulan lalu, misalnya, ia punya ide membuat superfood cireng. Gagasan itu muncul setelah ia melihat penjualan minyak kelapa yang melonjak tajam selama pandemi. Penjualan di toko pusatnya di Kemang, Jakarta Selatan, saja sampai 3,5 ton per bulan.

Heli meminta tim Sekolah Seniman Pangan, perusahaan yang juga ia didirikan, membuat cireng dari tepung sagu Papua yang tak membuat gula darah langsung melonjak seperti tepung lain. Mereka juga membuat nugget dari bahan dasar sayuran, seperti daun kelor dan bit, untuk memudahkan orang memasak makanan sehat. Dua pangan tersebut rencananya diluncurkan Javara bulan ini.

Ia juga menyatukan berbagai macam produk yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh yang dijual dalam satu paket. Produk seperti ini banyak dicari di tengah pandemi, terutama oleh orang yang memiliki masalah imunitas, seperti penyakit autoimun.

Tim lain pun menerapkan berbagai siasat. Sejak April lalu, Javara memperkerjakan pegawai baru yang khusus mengurusi marketplace. Ia mengubah prioritas produk yang ditampilkan di pasar online. Dengan berbagai macam akrobat tersebut, penjualan di marketplace melambung sampai 400 persen. Jika semua penjualan dijumlahkan, hasil dagangan Javara justru naik sampai 30 persen di tengah pagebluk.

Heli bekerja sebagai konsultan di Bank Dunia dan United Nations Development Programme sebelum mendirikan Javara. Ketika datang ke berbagai daerah, ia melihat beberapa petani yang masih menjaga bahan pangan kuno. Ia bermimpi bisa membukakan akses pasar yang lebih luas bagi mereka dengan membuat Javara. Heli yang langsung memimpin perusahaan tersebut. Ia mengemas hasil pertanian tersebut agar lebih tahan lama dan atraktif.

Namun rupanya produk mereka tak dilirik konsumen dalam negeri. Ia akhirnya berbelok ke pasar di negeri lain. Tak dinyana, dagangannya laris manis di tanah orang. Baru tiga tahun belakangan produk Javara mulai dilirik masyarakat dalam negeri, setelah kesadaran mengonsumsi makanan sehat mulai meningkat. Sementara semula 80 persen produk mereka dijual di negara lain, tahun lalu 70 persen produk Javara terjual di pasar domestik.

Mimpi Heli bukan hanya membuka pasar bagi para petani lokal. Ia juga ingin mereka punya generasi penerus yang bangga akan hasil bumi. Namun, nyatanya, Indonesia kehilangan sekitar 500 ribu-1 juta petani setiap tahun. Ia kemudian mendirikan Sekolah Seniman Pangan, yang diikuti anak-anak petani, nelayan, dan orang rimba, pada 2017. Heli melatih mereka memberikan nilai tambah pada hasil pertanian sehingga bisa menembus pasar dunia. “Saya ingin anak muda melihat bahwa profesi petani itu seksi,” tuturnya.

Menurut Direktur Partnership Sekolah Seniman Pangan Etih Suryatin, sekolahnya memberi mereka pelatihan menjadi entrepreneur yang diharapkan bisa memajukan daerah asal masing-masing. Salah satu lulusannya adalah Ferdinandus “Nando” Watu dari Desa Detusuko di kaki Gunung Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur. Nando menggerakkan warga membuka paket wisata di daerahnya dengan menjual kearifan warga suku Lio, seperti bercocok tanam dan mengikuti rembuk warga, kepada wisatawan mancanegara. Ia juga mengajak masyarakat kembali menanam sorgum dan padi lokal bangkala.

Heli, kata Etih, juga selalu punya ide mengangkat pangan lokal. Ketika mereka terbang ke Papua beberapa bulan lalu, misalnya, Heli membawa oleh-oleh talas Papua untuk anak-anak Sekolah Seniman Pangan. Heli meminta mereka mengubah talas tersebut menjadi cracker dan keripik. Tiga hari kemudian, produk pesanan tersebut jadi. “Kami tawarkan prototipenya ke salah satu perusahaan internasional yang ada di sini, juga dikirim ke teman-teman di Papua agar mereka mencontoh untuk diproduksi,” Etih menerangkan.

Ide yang terus muncul itulah yang membuat Heli kemudian meninggalkan kursi CEO. Ia merasa lebih cocok menjadi seniman yang terus berkreasi ketimbang menjalankan perusahaan. Terlebih ia ingin mengembangkan Javara menjadi perusahaan pangan yang lebih besar. “Kalau saya yang terus memegang, Javara akan kesulitan berkembang,” ujarnya.

Sejak 2017, Heli meminta Erwin Z. Achir, yang berpengalaman selama 35 tahun bekerja di bidang teknologi informasi dan manajemen bisnis, bergabung di Javara untuk menempati kursi CEO. Erwin baru menerima lamaran ini pada 2019. Erwin antara lain berpengalaman menjadi Presiden Direktur PT TData Indonesia—anak perusahaan Teradata Corporation, yang berbasis di Amerika Serikat. Heli juga merombak jajaran direksi. “Semua board of director lebih tua dari saya. Mereka veteran di bidang masing-masing,” ucapnya. Heli lantas melipir menjadi chief creative and branding officer.

Salah satu tugas Erwin adalah merapikan tatanan penjualan digital. Sedangkan Heli berfokus menciptakan produk baru dan menangani urusan pemasaran. Menurut Erwin, Heli sangat kreatif dan bersemangat menciptakan inovasi. “Orang seperti Heli adalah tipikal penekan gas dalam perusahaan. Tugas saya adalah mengatakan kapan boleh menekan gas tersebut dan kapan tidak,” tuturnya.

Untungnya, kata Erwin, meskipun berstatus pendiri perusahaan, Heli legawa ketika idenya belum bisa dijalankan karena kepentok hitungan keuangan. Mereka mesti menghitung biaya investasi dan imbal balik yang bisa diharapkan. “Apalagi di situasi pandemi seperti sekarang, jangan sampai mengacaukan keuangan perusahaan,” ujarnya.

NUR ALFIYAH


CATATAN KOREKSI:
Artikel ini diubah pada Ahad, 7 Juni 2020 untuk memperbaiki akurasinya. Dengan ini kesalahan diperbaiki. Redaksi mohon maaf.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus