Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Amerika Serikat George W. Bush melukis dan menerbitkannya jadi buku.
Temanya wajah imigran yang datang ke Amerika Serikat.
Bagaimana George W. Bush menafsir kisah hidup para imigran itu?
LEWAT buku Out of Many, One: Portrait of America’s Immigrants, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat ke-43 (2001-2009), menghadirkan diri sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan kaum imigran di negaranya. Dalam buku penuh warna, ia dengan empatik melukis para imigran ikonik yang menjadi pilihannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bush tidak menceritakan dari mana dan kapan kegemaran melukis itu datang. Namun situs Sputniknews edisi September 2016 menyebutkan Bush menekuni seni lukis selepas ia tak lagi menjabat presiden pada 2009. Dalam amatan saya, Bush semula lebih tertarik kepada obyek anak-anak anjing. Namun pada fase berikutnya ia melukis, antara lain, para imigran dan para veteran perang pengabdi Amerika. Jajaran lukisan para veteran ini kemudian dibukukan dalam Portraits of Courage: A Commander in Chief’s Tribute to America’s Warriors. Dari dua pilihan tema itu nyata bahwa lukisan potret Bush jauh lebih baik ketimbang lukisan anjingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun menyebut tiga instruktur seninya—Sedrick Huckaby, Jim Woodson, dan Gail Norfleet—Bush tidak menceritakan siapa yang membimbing dirinya dalam melukis potret, sehingga yang dihasilkan menyimpan aspek-aspek artistik yang memadai. Baik karakternya, harmoni warnanya, komposisinya, maupun presisinya (dibandingkan dengan foto-foto figur yang dilukis). Bahkan, tak ada penjelasan tentang hal yang sensitif dan sulit: skin tone-nya, yang disampaikan lewat goresan kasar ekspresif impresionistik.
George W. Bush mengaku ia memilih sosok-sosok imigran dalam kanvasnya lantaran didorong oleh sejarah riuh dan kurang elok Amerika Serikat di masa lalu. Untuk menjabarkan aspirasinya itu, Bush menulis esai yang diawali dengan pedoman kenegaraan George Washington, presiden Amerika pertama. Washington mengucapkan, “Dada Amerika terbuka untuk menerima tidak hanya orang asing yang gagah dan terhormat, tapi juga orang-orang yang tertindas dari semua bangsa dan agama”. Seleret kalimat ini diberangkatkan dari metafora John Winthrop pada 1630, gubernur pertama Koloni Teluk Massachusetts. Winthrop menyebut bahwa Amerika adalah “a city upon a hill”. Tanah harapan dan tempat berdirinya mercusuar bagi orang-orang pengelana seluruh dunia.
Out of Many, One – Portraits of America’s Immigrant karya Presiden Amerika Serikat ke-43 George W Bush.
Judul buku: Out of Many, One: Portraits of America’s Immigrant
Penyusun: George W. Bush
Penerbit: Crown Publishers, New York
Cetakan pertama: 2021, 208 halaman
Namun pedoman Washington itu realitasnya hanya diikuti setengah-setengah oleh warga Amerika. Indikasinya, betapa selama ratusan tahun perlakuan warga Amerika kulit putih terhadap warga pendatang berkulit hitam, kuning, merah, atau cokelat tak henti kasar dan diskriminatif. Padahal “Amerika putih” pun pada mulanya adalah imigran.
Amerika Serikat memang dikelindani sikap politik seperti itu, lantaran tradisi diskriminasi sudah lama ditanamkan oleh sebagian pemimpinnya. Sejarah pun mengingat kebijakan presiden Amerika kedua, John Adams, yang mendadak menentang George Washington lewat Alien and Sedition Acts. Sebuah ketetapan yang memperpanjang masa tunggu calon warga negara Amerika, dan sekaligus memberi kekuasaan kepada presiden untuk mendeportasi orang asing. Sebuah kebijakan yang dianggap sangat buruk. Akibat hal ini, politikus James Madison menulis surat kepada Wakil Presiden Thomas Jefferson: “Undang-undang itu serupa monster yang selamanya akan mempermalukan orang tuanya”.
Tentu ada pemimpin Amerika yang sadar atas kelakuan rasis politis itu. Seperti John F. Kennedy (presiden ke-35) yang menulis buku A Nation of Immigrants sebagai reaksi keras terhadap tradisi pembatasan migrasi, yang idenya berasal dari kebijakan kolot dan “takut” ala Monarki Kerajaan Inggris 1776.
Pada kurun berikutnya, Ronald Reagan (presiden ke-40) kembali menyadarkan kebobrokan politik negerinya. Nah, pengingatan Reagan inilah yang diteruskan Bush. Maka dalam upaya mereformasi sistem imigrasi yang rusak dan ketinggalan zaman itu, Bush pun berbicara kepada bangsanya di Ruang Oval Gedung Putih pada 2006.
“Kami juga bangsa imigran. Dengan begitu, kami juga harus menjunjung tinggi tradisi para imigran itu. Tradisi yang telah memperkuat dan memperkaya negara kami dalam banyak hal. Orang Amerika Baru tidak perlu ditakuti sebagai orang asing. Justru mereka harus disambut sebagai tetangga!”
Bush mengakui, sebagai warga yang tumbuh di Texas, negara yang berbatasan dengan Meksiko, ia banyak belajar sejarah imigran dengan fokus utama imigran Latin-Meksiko. Empatinya kepada para imigran makin mengkristal ketika ia menjadi Gubernur Texas. Kedekatannya pada tradisi Latin ini menyebabkan ia makin mengapresiasi tradisi bangsa-bangsa lain yang datang ke Amerika. Lalu ia pun melukis para imigran dari berbagai penjuru.
Salah satu lukisan yang menarik dibahas adalah potret Paula Rendon, wanita Meksiko yang sangat lama bekerja sebagai asisten rumah tangga keluarga George H.W. Bush (presiden ke-41), ayah Bush. Paula ia anggap sebagai ibunya yang kedua. Dalam visual, terlihat Bush melukiskannya dengan segenap perasaan dan penghormatan yang tinggi. Goresan kuasnya yang kasar menghantar warna-warna pastel dengan dominan pink, warna kasih. Atas lukisan itu Bush menulis: “Saya sering mengatakan bahwa nilai-nilai keluarga Meksiko tidak berhenti di Sungai Rio Grande. Karena sebagian besar imigran yang melintasi perbatasan selatan kami adalah pekerja keras yang menafkahi keluarga mereka dengan menunaikan pekerjaan yang dibutuhkan oleh Amerika.”
Potrait Paula Rendon dan Potrait Arnold Schwarzenegger.
Bush juga melukis Indra Nooyi, imigran India yang jadi pemimpin bisnis PepsiCo; Mariam Memarsadeghi, imigran nekat Iran yang kini jadi petinggi McDonald-Laurier Institute; Dirk Nowitzki, imigran Jerman yang menjadi atlet basket kenamaan; Annika Sorenstam, imigran Swedia yang moncer sebagai pegolf super; Hamdi Ulukaya, imigran merana Turki yang menjadi Chief Executive Officer Chobani; Madeleine Albright, imigran gundah dari Cekoslowakia yang menjadi menteri luar negeri; Salim Asrawi, imigran Libanon yang punya jaringan restoran; Jeanne Celestine Lakin, imigran penyintas genosida di Rwanda yang menjadi penggerak kemanusiaan; Gilbert Tuhabonye, imigran miskin Burundi yang menjadi pelari jauh nomor satu Amerika; dan Sanya Partalo, imigran Bosnia yang terkenal sebagai ahli strategi usaha.
Yang menyentuh, Bush juga melukis Roya Mahboob, CEO Digital Citizen Fund yang semula imigran kocar-kacir dari Afganistan; Shinhae Oh, imigran pelarian Korea Utara yang menjadi petinggi organisasi penyelamatan pengungsi; juga Kim Mitchell, anak sepasang pejuang Vietnam yang terbunuh dan diadopsi oleh seorang tentara Amerika. Di negeri Abang Sam, Kim akhirnya menjadi Direktur Veterans Village San Diego. Dalam buku yang dilengkapi infografik “Facts on Immigration” dan “Becoming an American” ini Bush juga melukis bintang film Arnold Schwarzenegger, imigran dari Austria. Oh ya, lukisan cat minyak di kanvas itu rata-rata berukuran 70 x 50 sentimeter.
Dari 38 lukisan yang ada dalam buku, dari berbagai bangsa imigran yang ia lukis dengan khidmat, Bush mengingatkan moto Amerika: E Pluribus Unum, yang artinya out of many, one, dari banyak (menjadi) satu. Karena itu, menarik apabila jajaran lukisan Geroge W. Bush ini diboyong ke Indonesia dan dipamerkan di Istana Presiden Bogor, misalnya. Bukankah moto itu, dan konten lukisan-lukisan itu, sejiwa dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo