Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa tahun saja, setelah menulis tesis doktor yang merombak historiografi seni Bali, diangkat menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Bali, beberapa hari mengenakan toga Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar, seniman itu menyelenggarakan pameran akbar karyanya di Agung Rai Museum of Art, Ubud, Bali. Sebuah pameran yang dihadiri segenap tokoh dunia budaya di Bali, termasuk saya. Ya! Itulah Wayan Kun Adnyana, 45 tahun, yang, saya hampir saja lupa, kini namanya mesti saya bubuhi embel-embel “profesor”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hebat, kan? Hebat, Kun—begitu panggilan akrabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sudut seni, seperti pasti sudah dibisikkan diam-diam di kalangan seniman yang siapa tahu iri itu: “embel-embel dan prestasi akademis formal tidak penting”. Seni adalah ekspresi, bukan pengetahuan. Seni tak terkurung sekat definisi. Bahkan karya seni yang paripurna pun tak dapat tereduksi pada analisis apa pun. Tapi Kun tidak terlalu peduli. Dia tahu bahwa seni rupa, betapapun peran yang diberikan terhadap rasa, tak akan pernah baik bila tidak disertai pengetahuan yang mumpuni.
Battle on The Ocean, 160x200 Cm, 2020 karya Kun Adnyana. Jean Cocteau
Mengapa Gusti Nyoman Lempad adalah seniman besar? Kun bertanya. Karena Lempad dapat memadukan “logika” dan dinamika garis minimalis dengan pengetahuan tentang mitos-mitos. Dan apa yang menarik dari karya Wianta? Kemampuannya menyadari megashock modernitas di Bali yang lalu disusul upaya menjembatani hal itu dalam karya seni rupa dan puisinya.
Bali dan seninya memang memerlukan pelaku cerdas nan sadar. Bukankah pulau ini terlalu lama dininabobokan oleh keterpukauan buta pengunjungnya terhadap “budaya”-nya? Kalau rasa “pukau” yang sadar, boleh-boleh saja, asal disikapi. Tapi kalau rasa pukau yang membuat seniman Bali hanya mampu melihat dirinya melalui mata haus eksotika orang luar, itu jelas-jelas harus dilawan. Bukankah sudah terlalu banyak seniman menjadi korban perangkap eksotika? Kun terlalu cerdas untuk tidak memahami masalah ini. Bilapun Kun pada akhirnya terpukau, itu bukan lantaran ia teralienasi oleh citra eksotis pulaunya, tapi sebaliknya, karena baik “rasa” maupun kecerdasannya mengantarnya sampai ke aneka lapis kesadaran baru dan kreativitas terkait.
Lihat saja karya-karya yang dipajang dalam pamerannya! Lapis-lapis kesadarannya terlihat jelas muncul pada kanvas melalui berbagai akal stilistik figuratif atau “pseudo-abstrak”: kesadaran waktu; kesadaran ruang; kesadaran diri yang sunyi di tengah ruang waktu; kesadaran akan “kita” dan mereka yang mengisi ruang dan waktu dunia manusia; kesadaran akan tempat serta manusia Bali dan Indonesia kini dan dulu kala.
Semua kesadaran itu ditampilkan di ruang-waktu yang beraneka ragam: dalam beberapa karya secara riil-historis (misalnya relief Yeh Pulu), dalam karya lain secara simbolis-imajiner (misalnya Monumen Nasional atau Monas serta patung Bali), dan dalam karya berbeda yang lebih mengemuka adalah ruang kosong kosmis. Namun sosok manusia selalu hadir, dan selalu tampil menentang atau mengupayakan sesuatu, atau merogoh-rogoh ruang kosong seolah-olah mencari yang tak mungkin tergapai. Ujung-ujungnya, terungkaplah, dari karya ke karya, fase proses pemberadaban Kun berawal dari momen dia membuka diri terhadap jati diri kultural Bali-nya (ikon-ikon Bali, terutama Yeh Pulu) hingga saat ia mempertanyakan arti dan posisi keberadaan manusia pada umumnya (sosok manusia di ruang kosmis). Memukau.
Namun keterpukauan kita belum selesai. Satu pertanyaan muncul. Bila karya-karya lukis Kun dipandang sebagai pantulan diri dan kesadaran yang kian luas, mengapa pilihannya selalu justru mengerucut pada suatu tipe sosok manusia historis saja? (Sosok orang Bali yang berbusana sebagaimana pada masa 500 tahun silam, sekitar zaman Gajah Mada menaklukkan Raja Bali, Sri Astasura Ratna Bumi Banten (1332-1343), yang beribukota di desa yang kini bernama Bedahulu, di dekat Ubud.) Sedangkan adegan-adegan yang ditampilkan menyampaikan visi baik historis maupun imajiner dan bukan historis, yakni manusia Majapahit tengah menembus waktu secara jauh lebih luas, baik secara historis maupun mitis lintas zaman.
Kita juga melihat adegan yang imajiner, yakni orang Bali zaman Majapahit ditampilkan berkuda dan membawa buruannya di Taman Monas, Jakarta. Ada juga adegan ketika orang-orang Bali Majapahit itu diperlihatkan mengemudi mobil, menumpang sepeda motor, atau duduk di sayap sebuah pesawat terbang. Jadi, di antara karya Kun, ada yang menampilkan kejayaan politik maritim Majapahit, tapi ada juga yang mempertemukan zaman-zaman, memperhadapkan satu sama lain, atau menyandingkan teknologi masa kini dengan alat dan simbol masa lalu. Bahkan ada karya yang memperlihatkan sosok manusia mungil melompat ke angkasa, beradu kekuatan, dan lain-lain, di luar acuan sejarah apa pun. Pendeknya, berawal dari Bali, Kun terlihat seolah-olah hendak mendekap waktu lintas zaman.
Kun Adnyana menerangkan teknik berkarya kepada Gubernur Bali Wayan Koster (kanan). Jean Cocteau
Hemat saya, tidak mungkin Kun “mendekap waktu” itu secara kebetulan. Meskipun pasti terdapat aspek yang menyangkut misteri kreativitas sang seniman, tak diragukan bahwa dia mempunyai kuasa keras atas sistem simbolisnya. Kun adalah cendekiawan, kan? Kreativitasnya menyangkut nalar dan pengetahuan. Agar menyadari, dan agar kreatif, dia “harus tahu” secara mendalam—fenomena baru di kalangan seniman Bali—bukan sekadar memahami secara intuitif. Dan begitu dia “tahu”, baru tangannya terbawa taksu dan lahirlah wujud simbolis yang dikehendakinya.
Maka memang bukan kebetulan bila Kun memasuki lapis-lapis kesadaran tersebut melalui satu pintu saja: pengamatannya terhadap situs purbakala Yeh Pulu di Desa Bedahulu. Sebagian besa ikonografinya berasal dari situs itu. Itulah juga sebabnya pamerannya dijuluki “Hulu Pulu”. Bagaimana? Hulu dalam bahasa Bali berarti “kepala”, yang lalu meluas artinya menjadi “asal”. Adapun yeh berarti air. Di Bali, leluhur yang sudah “bersih” dianggap telah menjadi yeh, yaitu air, dan bermukim di gunung. Akhirnya, pulu berarti gentong.
Jadi, bermula dari titik awal di Bali, dari Yeh Pulu yang disulap menjadi Hulu Pulu, Kun mengantar kita memasuki sejarah dengan segala kompleksitasnya—keberadaan si miskin dan si kaya, konflik antarbangsa, kejayaan dan kehancuran, harapan dan ilusi ideologis, impian teknologis—yang dihadirkan dalam karyanya. Sedikit demi sedikit, dari karya ke karya, kita melihat identitas Bali-nya meluas menjadi identitas Indonesia yang pada gilirannya meluas lagi hingga pada akhirnya konsep identitas sendiri lenyap tertelan keberadaan kosmos Ilahi. Singkatnya, semua yang dipertanyakan dan akhirnya disadari Kun berawal dari momen historis tunggal di Yeh Pulu, yang pecahan pantulannya, bak di cermin yang retak-retak, menyebar ke semua arah.
Dalam bahasa lain, Kun mengatakan melalui adegan baik realis maupun imajiner karya bahwa sejarah dan budaya tempat kita lahir adalah kunci jati diri dan kesadaran-kesadaran apa pun lainnya. Kita lihat disini betapa Kun ambisius. Lukisan-lukisannya menampilkan dan sekaligus mendekonstruksi secara visual mekanisme pembentukan jati diri individual dan identitas kultural. Dia menunjukkan bagaimana Ke-Bali-an menjadi Ke-Indonesia-an yang lalu menjadi Kemanusiaan. Alih-alih terkurung dalam temporalitas etnosentris sempit, Kun justru mengantar kita menggali keuniversalan dan rasa berbangsa dalam kelokalan kita.
Menarik, kan?
Kita menantikan permainan simbolis berikutnya.
JEAN COCTEAU, ANTROPOLOG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo