Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”KONDISINYA bermacam-macam.” Ari Dina Krestiawan ingat, saat pertama kali mencoba memasang rekaman kamera format pita 8 milimeter milik Sardono W. Kusumo ke proyektor, banyak rol yang pitanya lengket. Dan ketika beberapa detik terputar langsung terputus. ”Ada rol yang kemasan luarnya masih bagus tapi begitu dilihat pitanya banyak yang berjamur. Dan, saat dipasang, gambarnya penuh bintik,” kata Ari. Sebaliknya, ia menemukan rol yang kondisi fisik luarnya rusak tapi tatkala dipasang gambarnya normal.
Menurut Ari, merek kamera yang digunakan Sardono adalah Keystone. Kamera ini masih belum menggunakan elemen sound. Jadi gambar yang ditangkap bisu. ”Kamera jenis ini sekarang sudah tidak diproduksi lagi,” ujarnya. Sardono memiliki puluhan rol hasil pengembaraannya. Semua disimpan di loteng rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta. Hanya sebagian dari rol itu yang memiliki identifikasi atau catatan. Kebanyakan Sardono lupa isinya tentang apa. Baru, tatkala rol-rol itu dicoba, Sardono langsung ingat. ”Bahkan ada yang bungkusnya salah, tak sama dengan isinya,” kata Ari.
Langkah pertama yang dilakukan Ari setelah mengecek semua rol adalah memindai pita-pita itu untuk keperluan digitalisasi. Mula-mula hal tersebut dilakukannya di Sinematek Jakarta. Namun hanya seperempat. Lebih dari 70 persen pendigitalisasian ia lakukan di Studio EANDE, Melbourne, Australia. Restorasi selanjutnya juga di situ mulai April sampai Mei 2015.
Selain rekaman Samgita Pancasona, yang tergolong sangat hancur, menurut Ari, adalah rekaman Sardono atas fenomena alam taifun di Jepang. Tatkala Sardono berada di Osaka pada 1970, kawasan itu dilanda taifun. Melihat fenomena alam dahsyat itu, ia justru naik ke atas bukit karang membawa kamera. Langit gelap. Angin berembus kencang. Sardono berdiri mengabadikan badai tersebut. Juga merekam dirinya yang berada dalam suasana itu.
Meski sudah direstorasi, dokumentasi taifun ini masih terlihat buram. Di Jepang, selain merekam taifun, Sardono menguntit Affandi. Kebetulan sang pelukis juga sedang berada di Osaka. Sardono mengikuti Affandi melukis sebuah kuil. Kondisi rekamannya jelas lebih bagus daripada rekaman taifun. ”Sementara dokumentasi Sardono tahun 1988 di Borobudur scratch-nya banyak dan jamuran.”
Durasi tiap rol rata-rata tiga menit. Untuk mengabadikan suatu peristiwa, Sardono sering membutuhkan banyak rol. Di lingkungan suku Batak, saat mengikuti upacara agama Parmalin, Sardono menghabiskan banyak rol. Karena itu, durasi dokumentasi upacara Batak yang ditayangkan di Singapura tersebut paling panjang, hampir 49 menit. Menurut Ari, pihak Australia saat hendak merestorasi meminta Ari lebih dulu menyambung isi rol sekitar tiga menit itu. ”Sebab, kalau mereka yang menyambungkan sendiri, biaya jatuhnya sangat mahal.”
Ari adalah aktivis Lab Laba-laba yang melakukan pameran di gedung Pusat Film Nasional (PFN), Jakarta, yang terbengkalai pada Maret 2015. Saat itu ia melihat banyak pita rol film 35 dan 16 milimeter tergeletak di lantai gedung PFN. ”Pita-pita bekas film itu saya kumpulkan. Saya pulung. Saya ingin tahu itu potongan film apa.” Lalu Ari membuat live box. Satu per satu pita itu ia potret dengan lensa makro dan ditayangkan di live box. Sardono tertarik pada metode Ari. Dia kemudian meminta Ari membantu menyelamatkan harta karun dokumenternya.
Menurut Ari, pihak Ong Keng Sen sama sekali tidak melakukan intervensi. Mulanya Ong meminta dulu contoh dokumentasi. Padahal saat itu belum dilakukan digitalisasi. ”Saya lalu pakai cara gampang. Rol yang masih bagus saya tembakkan ke layar dengan proyektor. Kemudian saya rekam dengan video. Dokumentasi video saya ini lalu yang dikasihkan Mas Don sebagai sampel ke tim Ong Keng Sen.”
Menurut Ari, biaya digitalisasi dan restorasi dokumentasi Sardono ini ratusan juta rupiah. Tapi tetap tidak semahal, misalnya, restorasi film Tiga Dara karya Usmar Ismail. Di Taman Warisan Melayu, Singapura, film-film dokumenter Sardono ini ditayangkan di enam layar monitor yang terus-menerus berputar sepanjang hari. Ari menjamin bila film ini diperbesar di layar yang lebih lebar daripada monitor televisi tak akan pecah. ”Kalau diperbesar, visualisasinya tetap enak.” SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo