Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tak ke Mana-mana, Hanya Rose

Pada usia lebih dari 80 tahun, Rose Pandanwangi menyanyi untuk mengenang almarhum suaminya, pelukis Sudjojono. Cinta Rose kepada Sudjojono adalah segala-galanya.

16 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagu Ave Maria menutup pentas teater Pandanwangi dari Su­djojono di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, akhir pekan dua minggu lalu. Rose Pandanwangi menyanyikan lagu itu. Dalam usia 84 tahun, suara Rose, penyanyi mezzo-soprano terkenal pada 1960-an, masih merdu. Sekitar sepuluh lagu ia bawakan—berselang-seling dengan adegan—dari Ich Liebe Dich karya Beethoven sampai My Way yang dipopulerkan Frank Sinatra. Suaranya halus, lirih. Dari satu lagu ke lagu lain, sosok sepuh itu membawakannya dengan penuh penghayatan.

Saat lagu terakhir itu dilantunkan, di belakang panggung, putrinya, Mariano Dara Putih, yang akrab dipanggil Maya Sudjojono, tak kuasa membendung air mata. Di layar tersorot lukisan diri pelukis bernama lengkap Sindoesoedarsono Soedjojono itu. Lukisan diri Sudjojono ini seperti foto orang meninggal. Foto itu diling­kari bunga. "Itu yang bikin nangis," ujar Maya sambil mengusap air matanya. "Lukisan itu Bapak yang buat. Sepertinya Bapak sudah merasa akan meninggal." Sudjojono, kita tahu, wafat pada Maret 1986.

Malam itu kita menyaksikan sebuah pentas yang lain daripada yang lain. Rose Pandanwangi, bersama anak-cucunya, menyajikan kisah perjalanan cintanya dengan Sudjojono. Gandung Bondowoso—lulusan Institut Kesenian Jakarta—yang dikenal sebagai anggota senior Teater Mandiri, menyutradarainya. Maya Sudjojono didapuk sebagai Rose Muda. Gandung sendiri bermain sebagai Sudjojono muda dan narator. Jajang C. Noer, yang saat kecil pernah dilukis Sudjojono, juga tampil di panggung menceritakan kisahnya.

Rose, yang rambutnya putih total, memulai pentas dengan melantunkan Rozen de Bloemen. Penonton langsung terkesima. Di panggung, lukisan-lukisan Sudjojono era Rose disemprotkan ke sebuah layar besar. Suara Rose dirangkaikan dengan tayangan terus-menerus lukisan Sudjojono. Kita pun jadi mengerti, banyak lukisan Sudjojono berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya dengan Rose: potret-potret diri dan sketsa Rose saat tidur, mencuci, main piano, mengaso, dan membaca. Juga kamar rias Rose serta buket-buket bunga mawar hadiah penggemar saat Rose menyanyi, yang pernah membuat Sudjojono cemburu.

Kita tahu Sudjojono sering menuliskan buah pikirannya dalam bahasa Belanda di kanvas atau kertas sketsanya. Teks-teks ini kerap terlewatkan saat orang membahas Sudjojono. Salah satu keberhasilan Gandung adalah mampu menyajikan ke penonton bahwa ternyata banyak dari tulisan itu berisi perasaan personal kepada Rose. Sudjojono bertemu dengan Rose pertama kali di Amsterdam pada 1951. Rose kemudian mengunjungi Sudjojono di Yogya. Sejak itulah muncul benih cinta di antara mereka. Timbul pergolakan dalam hati mereka.

Pada 1956, misalnya, Sudjojono menghasilkan lukisan agak surealis. Lukisan itu menggambarkan sebuah grand piano hitam di sebuah lanskap—reruntuhan bangunan berpilar, gugus batu karang besar, danau biru, pepohonan ranggas, tanah merah, dan sangkar burung yang kosong. Seorang laki-laki tampak melintasi pilar dan berusaha menoleh ke grand piano. Dari pentas kita jadi tahu bahwa lelaki itu ternyata representasi Sudjojono dan grand piano itu Rose. Suasana "surealis" adalah metafora kegamangan pelukis yang pernah mengajar di Taman Siswa tersebut dalam mendekati Rose. Dari pentas itu kita juga tahu pada 1956 Sudjojono menulis surat cinta kepada Rose. Surat romantis itu dibacakan di panggung.

Sebelum menikah, baik Rose maupun Sudjojono sudah memiliki keluarga besar. Rosalina Wilhelmina Poppeck, yang beribu Belanda, memiliki tiga anak dari Jahja "Jack" Sumabrata, seorang dokter. Sedangkan Su­djojono memiliki delapan anak dari Sasmiya "Mia" Sasmojo atau Mia Bustam. Pentas ini mampu menyajikan bagaimana cinta mereka awalnya mekar secara sembunyi-sembunyi dan kemudian keduanya mengorbankan segala-galanya untuk cinta bergejolak itu.

Tatkala Rose melantunkan My Way, kita jadi tahu mengapa Rose suka lagu tersebut—karena menggambarkan keputusan beraninya menerima Sudjojono. Saat dalam karya pastelnya pada 1956 berjudul Sodom Gomorah, Sudjojono menorehkan tulisan "Kemarin adalah kemarin, esok adalah esok…", kita jadi tahu itu pernyataan kebulatan tekad dia untuk meninggalkan Mia Bustam.

Begitu kawin dengan Rose, Sudjojono produktif. Selain melukis Rose, ia intens menggambar anak-anak mereka, sejak bayi sampai tumbuh remaja. Maya termasuk yang paling banyak dilukis—karena tak rewel saat menjadi model. Sudjojono juga kerap melukis panorama istana impian. Ternyata itu impian Sudjojono memiliki rumah besar artistik dengan pemandangan elok seperti rumah Walter Spies di Campuhan, Bali, yang bisa menampung keluarganya—sesuatu yang tak kesampaian.

Sudjojono juga menggunakan Rose sebagai model telanjang. Beberapa seri telanjang Rose dipesan oleh kolektor. Dalam pentas diperlihatkan sebuah lukisan telanjang Rose. "Yang diambil yang dari belakang saja. Bu Rose tidak mau frontal yang terlihat dari depan," ujar Gandung. Di pentas, Maya yang berperan sebagai Rose itu juga menyinggung soal adanya lukisan telanjang milik kolektor yang disebut sebagai lukisan diri ibunya. "Saya marah besar. Itu bukan tubuh saya," kata Maya menirukan ucapan ibunya. Kita tahu itu kontroversi: Sabda Alam, lukisan milik kolektor Oei Hong Djien di Magelang yang sampai kini tetap keras dianggap Hong Djien sebagai lukisan Rose telanjang yang digambar Sudjojono.

Tentu saja kisah hidup Sudjojono bersama istri pertamanya, Mia Bustam, tak muncul. Mia, yang mendampingi pahit getir hidup Sudjojono selama masa Jepang dan tahun-tahun proklamasi—periode yang menghasilkan lukisan legendaris Sudjojono: Seko, Kawan-kawan Revolusi, Pengungsi, Sayang Saya Bukan Anjing, dan sebagainya—sama sekali tak tampil kisahnya. Pentas ini memang tak ke mana-mana selain kisah percintaan Sudjojono dan Rose, seperti yang ditegaskan sang sutradara: "Jadi tak akan ke mana-mana seperti pentas ini juga."

Harus diakui, menonton pentas ini membuat kita bisa membayangkan kisah hidup maestro lain, seperti Lee Man Fong dan Affandi, juga bisa dipanggungkan. Sebab, baru pertama kali biografi seorang maestro pelukis Indonesia diangkat ke pentas teater. Meski dramaturginya sederhana, garapan Gandung cukup informatif. Tapi memang pentas ini bukan apa-apa bila tanpa penampilan Rose Pandanwangi. Di pentas ini, kita seakan-akan melihat Rose ingin membuktikan bahwa kemerduan suaranya bukan menampilkan sisa-sisa suara dari masa kejayaannya menjadi bintang radio pada 1958, melainkan suara emas yang sengaja disimpannya sampai usia tua—dan suatu saat dikeluarkan secara khusus untuk memberitahukan kepada dunia bahwa ia tetap cinta kepada Sudjojono. Itu yang mengharukan. Itu yang menyentuh.

Rose berlatih seminggu dua kali selama beberapa bulan terakhir. Ia juga yang memilih sendiri lagu-lagu yang dinyanyikannya. Pandan, salah satu anak Rose, mengatakan ibunya sempat marah ketika jadwal berlatih meleset karena kesibukan pemain organ yang mengiringinya.

Yang juga menjadi magnet, selain suara Rose, adalah rekaman suara Sudjojono. Penonton bisa mendengar pernyataan Sudjojono tentang banyak hal, seperti perkataannya bahwa dia keluar dari Partai Komunis Indonesia. Juga pengakuan Sudjojono memeluk agama Kristen Protestan. Sebelum menikah dengan Rose, Sudjojono beragama Islam, meski sejak muda ia lebih terpengaruh oleh teosofi—karena pengaruh ayah angkatnya, Yudhakusuma, yang merupakan ayah pelukis Kartono Yudhokusumo. "Cintaku pada Kristus lebih bersifat intuitif…." Sejak berganti agama itu, Sudjojono beberapa kali melukis sosok Yesus secara kuat. Saat Maya dibaptis pun digambarnya.

Dari rekaman itu juga bisa kita dengar bagaimana sikap pelukis kelahiran Kisaran tersebut terhadap karya pesanan. Setelah menikah dengan Rose, Sudjojono sering menerima pesanan karya potret diri. "Banyak pelukis merasa terhina menerima pesanan. Itu berlebihan. Taj Mahal, Borobudur, semua juga karya pesanan," katanya. Rekaman itu berasal dari enam kaset yang dimiliki keluarga Rose. Menurut Rose, Su­djojono merekam sendiri suaranya di sela-sela melukis. "Saya juga enggak tahu kapan merekamnya. Mas Jon kan lebih sering sibuk sendiri di sanggar," ujar Rose kepada Tempo seusai pementasan.

Gandung harus memilih dan memilah suara Sudjojono yang disesuaikan dengan naskah cerita. Butuh dua bulan sendiri, menurut dia, untuk mendengarkan dan mengedit bagian rekaman suara yang harus ditampilkan. "Khusus untuk suara Pak Jon, saya tidak bisa menampilkan semua karena akan ada yang tersakiti," kata Gandung.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus