Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tak Perlu Malu dengan Bambu

Sekolah Hijau di Ubud, Bali, menjadi salah satu nomine penghargaan arsitektur Aga Khan 2010. Material utama bangunannya dari bambu. Lebih kuat daripada baja.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANTAN Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold ”Al” Gore telah memutar balik hidup John Hardy tiga tahun lalu. Pada saat itu, John merupakan pengusaha perhiasan besar di Bali. Bisnisnya sedang melesat.

Perhiasan hasil karya tangan perajin John Hardy Designs (PT Karya Tangan Indah) dipajang di rak-rak toko kelas atas Saks Fifth Avenue, Neiman Marcus, dan Bloomingdale’s di Amerika Serikat; Isetan di Jepang; hingga Le Bon Marche Rive Gauche di Paris. Namun, Hardy, 60 tahun, warga Kanada, dan istrinya, Cynthia, malah memilih melepas seluruh sahamnya di Hardy Designs kepada dua mitranya, Damien Dernoncourt dan Guy Bedarida.

Semua gara-gara film dokumenter An Inconvenient Truth karya Al Gore dan sutradara Davis Guggenheim. Film yang memenangi dua Piala Oscar pada 2007 ini sebagian besar menayangkan presentasi Al Gore mengenai perubahan iklim dan pemanasan global. Seperti lirik lagu I Need to Wake Up yang dilantunkan Melissa Etheridge dalam Inconvenient Truth, ”Something’s got to break up. I’ve been asleep. And I need to wake up now.” Fakta-fakta yang disodorkan Al Gore rupanya menggugah John Hardy.

”Saya mulai berpikir apa yang bisa diwariskan untuk anak-cucu saya kalau bukan bumi yang hijau,” ujar Hardy, bapak empat anak, dua pekan lalu. Dari pengusaha perhiasan, Hardy pun banting setir mendirikan Green School di daerah Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, lewat Yayasan Kul Kul. Di tepi Sungai Ayung yang membelah kawasan Ubud, Hardy, yang tinggal di Bali sejak 1975, membangun kompleks sekolah seluas delapan hektare. Dia memilih bambu sebagai material utama bangunan. Bambu dipilih John Hardy karena, menurut dia, material ini bisa menjadi solusi pengganti kayu dan otomatis akan mengurangi pembabatan hutan.

Kompleks bangunan Sekolah Hijau ini menjadi satu di antara 19 nomine penghargaan arsitektur Aga Khan 2010. Selain itu, proyek rekonstruksi perumahan korban bencana gempa bumi di Dusun Ngibikan, Bantul, Yogyakarta, yang dirancang arsitek Eko Prawoto, masuk di deretan nomine. Sekolah Hijau dan proyek Ngibikan akan bersaing dengan bangunan pabrik tekstil Ipekyol di Edirne, Turki; Palmyra House di Albagh, India; dan kompleks Wadi Hanifa Wetlands di Riyadh, Arab Saudi, memperebutkan penghargaan Aga Khan, Oktober nanti.

l l l

Berada di kedua sisi lereng Sungai Ayung, dihubungkan dengan jembatan bambu yang menyerupai atap rumah gadang ala Minangkabau, dan di sekeliling bangunan terhampar sawah, sekilas kompleks Sekolah Hijau ini lebih mirip vila ketimbang sekolah. Apalagi kompleks sekolah itu memang terselip di antara vila mahal yang berderet di sepanjang Sungai Ayung.

Jangan bayangkan pula bangunan-bangunan bambu di Sekolah Hijau ini serupa dengan gedung sekolah hasil proyek inpres di zaman Presiden Soeharto yang bentuknya hampir seragam antara satu dan lainnya. Hardy benar-benar mengeksplorasi lengkung bambu. Tidak ada bentuk-bentuk kaku dengan garis-garis lurus dan sudut tajam di bangunan Sekolah Hijau. Bangku tempat duduk pun disusun bebas, tidak serupa dengan sekolah pada umumnya yang berderet kaku. Semua perabotan itu juga dibuat dari bambu.

Untuk membangun kompleks Sekolah Hijau ini, Hardy dan timnya dari PT Bambu banyak menggunakan bambu petung dari Pulau Jawa, karena pasokan bambu dari Bali tak lagi mencukupi. Untuk mengembangkan budi daya bambu di Bali, kini Hardy mendirikan Yayasan Meranggi. Untuk urusan budi daya bambu ini, dia banyak belajar dari Linda Garland, ahli bambu dari Yayasan Bambu Internasional di Bali.

Bangunan utama Sekolah Hijau yang dinamai Heart of School, menurut Hardy, terinspirasi oleh spiral Fibonacci, yakni bentuk spiral mengikuti deret angka Fibonacci. Spiral Fibonacci ini sekilas menyerupai cangkang keong. Bangunan bambu tiga lantai itu dipergunakan untuk kantor, perpustakaan, laboratorium komputer, dan ruang latihan teater.

Hardy membiarkan semua bangunan itu kosong tanpa dinding. Dinding, kata Hardy, hanya akan membatasi interaksi murid dengan lingkungan. ”Ini yang membedakan dengan rumah sakit dan penjara,” kata Hardy. Tanpa dinding, murid Sekolah Hijau bisa langsung merasakan perubahan cuaca dan gemerisik suara dedaunan. ”Seperti ketika berlayar di laut, mereka akan merasakan sengatan terik matahari dan lain waktu terempas angin serta hujan badai.”

Bangunan tanpa dinding juga lebih irit listrik, karena tak perlu lampu dan juga penyejuk udara di siang hari. Kebutuhan listrik Sekolah Hijau dipasok dari pembangkit mikrohidro, sel surya, dan biogas. Kotoran rumah tangga sebagian diolah menjadi kompos, sisanya diubah menjadi biogas untuk membangkitkan daya listrik.

Ada 130 murid dari tingkat prasekolah hingga kelas sembilan (setingkat sekolah menengah atas) di Green School ini. Mereka kebanyakan anak-anak ekspatriat yang tinggal di Bali. Hanya segelintir penduduk asli Bali, karena biaya pendidikan di Sekolah Hijau memang tidak murah, yakni berkisar US$ 5.000 atau Rp 45 juta hingga US$ 9.000 atau Rp 80 juta per tahun. Tenaga pengajarnya sebagian besar juga warga asing.

Bangunan dari bambu memang masih kalah populer dibanding kayu. Menurut arsitek dari Yogyakarta, Eko Prawoto, masih ada anggapan bangunan dari bambu masih kalah kelas sosial dibanding kayu atau beton. Dalam lirik lagu dangdut Meggy Z., Gubuk Bambu, misalnya, bangunan bambu dianggap identik dengan penderitaan orang miskin. ”Bambu ini seperti yatim piatu, tidak ada yang mengurus,” katanya. Padahal bambu punya sejumlah keunggulan dibanding kayu ataupun baja.

Yang pasti, bambu lebih ringan dibanding keduanya. Sejumlah penelitian menunjukkan kekuatan daya tarik bambu juga tidak kalah dibandingkan dengan baja. Konstruksi bambu dengan pasak dan baut pun terbukti lebih kuat meredam getaran gempa ketimbang bangunan beton. Tanaman bambu juga tumbuh jauh lebih cepat daripada pohon jati, meranti, trembesi, atau sengon sekalipun. Dalam waktu empat atau lima tahun, bambu sudah siap ditebang dan dipergunakan untuk material bangunan. Dengan teknik pengawetan sederhana, seperti direndam boraks atau dioven, bangunan bambu bisa tahan hingga puluhan tahun.

Beberapa bangunan yang dirancang Eko mengandalkan bambu, misalnya Community Learning Center di Cilacap, Jawa Tengah. Kebanyakan bambu yang dia pakai dari jenis petung, wulung, legi, dan bambu apus. Selain itu, arsitek Budi Pradono banyak mengeksplorasi material bambu. Beberapa karya bangunan bambu Budi, misalnya Restoran Tetaring Kayu Manis di Bali, mendapatkan penghargaan Cityscape International.

Di dunia, beberapa arsitek gigih mengkampanyekan bangunan bambu, seperti arsitek Kolombia, Simon Velez; Renzo Piano dari Italia; dan arsitek Amerika Serikat, Buckminster Fuller. Karya mereka tersebar di pelbagai negara. Maka tak perlu malu, seperti Meggy Z., mempunyai ”gubuk bambu”. Selain tak kalah menawan dibanding kayu, seperti alasan John Hardy, menggunakan material bambu ikut membantu mengerem pembabatan hutan.

Sapto Pradityo, Rofiqi Hasan (Ubud)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus