Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tanpa Awal, Tanpa Didu

Keluarga marlia hardi bersedih dua kali. pak awal meninggal dan didu mengundurkan diri. kepergian mereka akan diungkapkan di sandiwaranya.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA Marlia terpaksa bersedih dua kali, untuk hal yang sama. Pertama, meninggalnya Awaluddin, pemeran bapak dalam 'Keluarga Marlia' itu, Ahad terakhir Februari lalu (lihat box). Kedua, Maret ini di teve, dalam permainan sandiwara mereka. Marlia Hardy, janda 53 tahun dengan dua anak, pengasuh sandiwara tersebut dan sekaligus pemegang peran ibu, rupanya tak bersedia mengganti peran Pak Awal dengan orang lain. "Acara kami standar pendidikan. Jadi tak mungkin tokoh bapak diganti orang lain," katanya kepada TEMPO. Itulah sebabnya ia dan "anak-anaknya" harus muncul di tv dengan cerita tentang kematian bapak. Juga secara resmi para pirsawan tv tahu seterusnya "anak-anak Marlia" akan menjadi yatim. Memang rupanya ada citra pada penonton, bahwa 'Keluarga Marlia' di tv itu, sehari-harinya ya begitulah. Citra itu akan tetap dipegang agar tidak mengecewakan. Tentu, hilangnya tokoh bapak akan berpengaruh terhadap "ramai"nya sandiwara remaja ini. Ditambah lagi mereka masih mengalami kehilangan yang lain perginya Musa Sanjaya, pemegang peran Kak Didu, yang sejak 6 Februari secara resmi berhenti menjadi anggota. Didu rupanya ingin juga bermain di tv bersama grup sandiwara lain, sementara 'Keluarga Marlia' tak membolehkan hal itu. Dan meskipun menurut Bu Mar, kalau main film atau sandiwara di luar tv dia sama sekali tak dilarang, Musa (30 tahun ke atas, yang menanggung keluarga dengan satu anak), rupanya memang sedang dalam masa peralihan dalam usaha mencari rezeki. Waktu Awaluddin meninggal misalnya, ia tak melayat karena menurut istrinya, Khalilah, sedang ikut pengambilan film di Sumedang -- untuk tv. Lebih dari itu ia sudah enam bulan bikin grup lawak (belum diberi nama) bersama Urip Arpan, Atet (yang pertama "duplikat Benyamin," yang kedua juara lawak) ditambah orang lenong Mihardja -- dan muncul di panggung. Dalam surat pengunduran dirinya, Musa juga mengakui bahwa kepopulerannya sekarang ini tak lain berkat 'Keluarga Marlia.' Tapi tepatkah tindakan keluarnya itu atau tidak, untuk perjuangan bagi hidupnya lebih lanjut, yang jelas 'Keluarga Marlia' harus "mengumumkan sesuatu" kepada penonton mereka. Karena itu dalam kisah yang akan muncul di bulan ini juga, yang menceritakan kepergian tokoh bapak, menghilangnya Didu juga akan masuk tema. Akan dikisahkan: Didu tertabrak mobil pengendaranya lari. Didu dibawa ke rumahsakit (semua itu hanya diberitakan dengan dialog, tentunya), dan Ruri, toloh kemenakan dalam "keluarga " itu, akan berkata "Kok tega ya, Kak Didu meninggalkan kita?" -- Kesannya kira-kira: Kak Didu meninggal. Mengapa harus begitu? "Soalnya, umpama kita katakan Didu pergi ke suatu tempat, tentu dia kadang-kadang masih akan disebut namanya -- bahkan penonton akan menunggu kapan pulangnya." Itu keterangan Marlia. Demikianlah selama tujuh tahun (grup ini muncul pertama kali Juni 1973) sebuah "keluarga" tentu saja mengalami perkembangan. Grup ini sendiri dahulu digolongkan dalam kelompok 'sandiwara anak-anak' di tv -- dan mendapat jatah main dua kali sebulan -- sementara sekarang sudah digeser kedudukannya ke dalam kelompok 'sandiwara remaja' dan hanya mendapat sekali sebulan. Bahasa Jawa Maklum, "anak-anak" sendiri sudah menjadi besar. Tokoh Ruri misalnya (Endang Mustikawati, 19 tahun), sekarang sudah kelas 3 SMEA. Kiki (Tuti Herani), tingkat 3 di sebuah akademi perbankan. Dan ke dalam keluarga itu sudah masuk pula tokoh supir (Masngudi) -- selain tokoh Bu Supi (Sofia A. Rachman) yang tetap setia dan terlalu banyak berbahasa Jawa itu. Penonton yang mengikuti mereka sejak-awal tentu mengetahui perkembangan itu, bagaikan perkembangan dalam keluarga mereka sendiri. Dan memang, grup Marlia Hardy dinilai sebagai kelompok sandiwara yang paling realistis cerminan keadaan nyata sebuah keluarga klas menengah-bawah yang hidup di salah satu kota di Indonesia. Beruntung, teknik pembawaan yang mereka pilih sejak awal (oleh Marlia, dengan beberapa bantuan Awaluddin tentunya) sangat klop dengan latar belakang itu. Dalam dialog maupun blocking misalnya, mereka terhitung bukan "Barat" -- juga tidak dibikin-bikin seperti halnya drama "modern" atau film Indonesia umumnya. Memang, masih disangsikan mampukah para pemain yang selalu membawakan naskah Marlia itu memerankan satu 'watak' seperti yang misalnya dituntut dalam drama-drama yahg lebih "serius". Toh peran-peran itu tidak pula 100% sama dengan keadaan orangnya sehari-hari. Setidak-tidaknya lihatlah Didu juga anak-anak yang lain. Singkat kata, itulah grup yang modal pertamanya terutama berujud bakat -- yang juga berarti kecocokan. Dan ini pula yang menyebabkan kelompok seperti ini, kalau mau tetap bagus tidak terlalu mudah mencari pengganti ataupun tambahan -- mesti yang 'khas', dan yang klop dengan kesatuan maupun latar belakang. Diharap mereka tetap hidup, sementara bapak merestuinya dari jauh, semoga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus