FILM Kartini, 21 April ini, akan diputar serempak di beberapa
kota Indonesia. Sementara Sjumandjaja, sang sutradara, sudah
mulai lagi dengan film baru: Fatimah. Jika ini selesai,
lengkaplah trilogi Sjuman tentang wanita. Trilogi? "Ya, Miranti,
Kartini dan Fatimah, tiga wanita yang berbeda," katanya sambil
memandang kandang burung di rumahnya yang dihuni pungguk dan
kepodang.
Sjuman mengagumi Kartini. Tentang Miranti, tokoh janda dalam
Kabut Sutra Ungu, sutradara itu ragu-ragu. "Apa ada wanita
Indonesia seperti dia, yang masih memuja suaminya meski sudah
lama meninggal?" Bisa saja ada, mengapa? "Kalau wanita seperti
itu ada, kok saya tidak pernah berjumpa. Ke mana saja saya
selama ini rupanya, ha, ha, ha ... "
Sjuman masih tetap yang dulu - satu atau dua kelakar nakal
baginya bukan tabu. Pekan lalu, pencipta Si Dul dan Si Mamad
yang berusia 49 tahun itu, berbincang-bincang dengan TEMPO.
Berikut petikannya:
Kalau tidak salah Anda pernah punya rencana untuk memfilmkan
Digul. Kenapa justru Kartini yang muncul? Digul ditolak
produser. Sebagai alternatif saya tawarkan Kartini dan langsung
diterima.
Apa yang menggerakkan Anda untuk membuat Kartini?
Konsep Anda?
Waktu belajar di Rusia, saya baca Habis Gelap Terbitlah Terang.
Serta-merta saya kagum pada pikiran-pikiran Kartini, yang
menurut saya, mencakup tiga aspek penting: politik, pendidikan,
kebudayaan. Seratus tahun lalu Kartini sudah bicara tentang
kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan individu. Tentang sistem
pendidikan yang mengayomi dan peran budaya dalam mengangkat satu
bangsa terjajah ke bangsa merdeka, fisik dan jiwa. Luas sekali,
rasional sekali. Pikiran-pikirannya itu mengilhami gerakan
perjuangan nasional, kalau tidak mau dibilang merupakan embrio
dari gerakan itu sendiri.
Apakah Anda tidak terlalu menyederhanakan masalah? Embrio
perjuangan nasional sudah tumbuh sejak pendidikan Barat
diperkenalkan pada anak pribumi di parohan kedua abad XIX. Bila
Anda terpaku pada pikiran Kartini mungkin sekali karena dia
lebih vokal dibandingkan tokoh-tokoh sezamannya.
Barangkali saya melihatnya lebih sederhana. Namun harus diakui
Kartini bisa menyerap, mencernakan, dan merumuskan pengetahuan
dari Barat secara cukup tajam. Dia seorang intelektual, bukan
semata-mata pejuang emansipasi wanita. Dia seorang besar dalam
pikiran-pikirannya, bukan dalam tindakannya. Di sini letak beda
Kartini dengan Tjut Nya' Dhien atau Christina Martha Tiahahu.
Sebelum mengolah skenario, apa saja bekal Anda, di luar Habis
Gelap Terbitah Terang Apakah Anda melakukan riset?
Buku pegangan saya cuma satu, Kartini sebuah Biografi oleh Siti
Soemandari Soeroto. Untuk pemahaman sejarah masa itu saya
mempelajari beberapa disertasi orang Belanda - khususnya tentang
masalah sosial ekonomi di Indonesia abad XIX. Saya tidak
melakukan riset.
Apa kesulitan yang Anda hadapi selama membuat Kartini?
Secara fisik, Kartini pasif. Bagi saya tidak mungkin begitu saja
menampilkan dia merenung-renung di kamarnya. Pandai-pandai
sayalah berimajinasi. Misalnya saja, saya memilih beberapa
pernyataan Kartini, dari situ saya create sebuah plot. Untuk
menuangkan dalam gambar saya memilih approach monumental, bukan
kolosal. Yang terakhir ini tidak mungkin, terhambat masalah
teknik dan biaya. Karena itu saya tidak menampilkan rakyat
banyak sebagai bagian integral dalam Kartini.
Dalam pendekatan monumental ada dua hal yang bisa saya
tampilkan: pikiranpikiran Kartini dan jalan hidupnya. Perlu
dicatat, saya dengan sadar melakukan anachronisme dalam dua
adegan. Pertama, pemunculan Dewi Sartika di sekolah Kardinah.
Kedua, dialog Kardinah Sosroningrat, yang menyebut-nyebut
tentang adanya rumah sakit Kardinah. Pada kenyataan sebenarnya,
dua hal itu terjadi kemudian, tapi saya memunculkannya dalam
film satu tahun lebih cepat. Semata-mata supaya hal yang penting
itu bisa muncul. Saya tidak bermaksud memalsu sejarah, tapi
sekadar memberi tekanan.
Anda cenderung lamban sejak Kabul S#tera Ungu. Ritme Kartini
juga lamban. Mengapa?
Film pertama saya, Lewat Tengah Malam, seperti itu juga,
lamban. Tapi Si Dul tidak Ritme erat kaitannya dengan jiwa
cerita. Untuk masuk ke alam Jawa 100 tahun lalu, saya melakukan
percobaan dengan ritme, dialog, dan warna. Supaya Kartini tidak
terkesan seperti Bionic Woman atau Hawai Five 0. Untuk mencapai
suasana pajeroan dan sakral, untuk menemukan satu langgam Jawa,
saya tidak mungkin melakukan editing secara radikal. Pasti tidak
cocok. Apalagi kalau latar belakangnya bunyi gamelan yang
monoton.
Anda lihat warna hijau di film itu mentah, karena saya
menggunakan filter oranye. Warna-warna jadi nampak tua, seperti
keluar dari foto tempo dulu. Ini tidak gampang. Untuk mencapai
efek yang diinginkan kami terpaksa menggunakan empat unit lampu
- biasanya paling banyak dua unit.
Adegan Sosrokartono marah yang mulanya saya rencanakan terjadi
sambil berdiri dan jalan mundar-mandir, kemudian dilakukan
sambil tetap duduk bersila. Saya baru tahu kalau orang Jawa
marah, dia tidak perlu berdiri dan menuding seperti orang Barat.
Memang, orang bisa bilang kebudayaan Jawa itu statis. Saya tidak
berpendapat begitu. Seperti kebudayaan lain, kebudayaan Jawa
juga punya dinamika, strategi, dan drama - semua dalam ayanya
sendiri.
Apa missi Anda dengan film ini?
Tokohnya itu sendiri sudah missi. Dia bukan tokoh khayal. Dia
terlalu relevan untuk tidak difilmkan. Deskripsi lain saya kira
tidak perlu, karena film yang baik bukan menjelaskan tapi
mengesankan. Dan film ini tidak harus dianggap istimewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini