Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tensi tegang dan konsisten ancaman teroris dalam film 13 Bom di Jakarta.Â
Paket lengkap film laga ala sutradara Angga Dwimas Sasongko.
Hasil memukau dari pengerjaan maksimal dan biaya super jumbo.
Memakai topi, kacamata hitam, dan buff gelap, Arok—diperankan oleh Rio Dewanto—mengintai truk hitam pengangkut uang. Dari atas tangga hidrolik, Arok menunggu truk uang itu melintas di salah satu sudut jalan di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah target buruannya lewat, dengan cepat Arok memikul Instalaza C90, senjata anti-tank berupa granat berpendorong roket, dengan sasaran bagian bawah truk. Hanya sepersekian detik, ledakan besar membuat truk pengangkut uang itu jungkir balik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, kontak tembak terjadi antara Arok beserta kelompoknya dan petugas pengaman truk duit. Muntahan proyektil senapan AK-47 milik kelompok Arok beradu dengan AR-15 milik personel keamanan. Hasilnya, kelompok Arok menang.
Uniknya, Arok tak mengambil satu lembar duit pun yang tersimpan di dalam truk. Bak Robin Hood, mereka sengaja meninggalkan tumpukan duit itu hingga diambil masyarakat.
Adegan dahsyat tersebut menjadi pembuka film Indonesia terbaru berjudul 13 Bom di Jakarta yang tayang serentak di bioskop-bioskop Tanah Air sejak Kamis, 28 Desember lalu. Film berdurasi 143 menit itu bercerita tentang serangan teroris yang menyasar Jakarta.
Arok, pemimpin kelompok teroris, telah menyiapkan 13 bom di berbagai penjuru Jakarta yang siap meledak saban delapan jam. Film bikinan sutradara Angga Dwimas Sasongko ini menjadi napas baru dalam dunia perfilman Indonesia. Angga tak lagi memakai alasan ekstremisme agama hingga paham radikal sebagai akar munculnya kelompok teroris.
Gerakan terorisme justru berangkat dari para korban sistem keuangan yang tamak. Mereka adalah korban investasi bodong, kredit macet, dan kecurangan finansial lainnya. Tujuan mereka satu: menghancurkan sistem keuangan tersebut hingga tak ada lagi si kaya dan si miskin.
Film produksi Visinema Pictures itu dikemas dengan sangat padat sejak menit awal hingga akhir. Ibarat balapan sepeda motor, tempo film dibuat kencang tanpa jeda. Inilah yang membuat film dengan durasi lebih dari dua jam itu terasa tidak membosankan.
Satu hal yang membuat 13 Bom di Jakarta sukses adalah film ini mampu menghadirkan teror dan perasaan cemas sepanjang durasi. Bahkan rasa takut dalam film bisa dengan mudah tertular ke penonton. Salah satu penonton itu adalah Nesia Putri Novida, yang mengaku ikut harap-harap cemas menanti bom mana lagi yang akan meledak.
"Terornya seperti beneran. Mungkin karena film ini menggambarkan Jakarta dengan nyata, jadi terasa sekali kecemasannya," kata Nesia saat ditemui setelah menonton film tersebut di salah satu bioskop di Jakarta Pusat, Kamis lalu.
Sebagai pencinta film laga dan peperangan, Nesia memuji kualitas dari 13 Bom di Jakarta. Menurut dia, penggunaan senjata api, aksi kontak tembak, sampai hal detail lain seperti latar film ditampilkan dengan rapi. "Film ini terasa megah, tapi printilannya tidak dilupakan," ujar perempuan 37 tahun itu.
Cuplikan film 13 Bom di Jakarta. Dok. Indonesian Film Center
Sementara itu, penonton lain, Cahyo Utomo, memberikan dua jempol untuk plot dan penceritaan film tersebut. Menurut dia, meski film ini terkesan ngebut sejak awal, cerita yang disajikan tetap bisa dinikmati dengan baik.
"Enggak ada yang keteteran, inti cerita disampaikan dengan baik," tutur Cahyo.
Misalnya saat kilas balik Arok yang menumbuhkan kebenciannya dan ingin menghancurkan sistem keuangan. Menurut Cahyo, proses kilas balik tersebut berjalan mulus tanpa merusak ritme film yang terus berjalan. "Film ini juga komplet karena ada adegan tembak-tembakan, balapan dan drifting, sampai perkelahian satu lawan satu."
Selain itu, kualitas para bintang film 13 Bom di Jakarta pantas mendapat pujian. Rio Dewanto sebagai bos teroris sukses menghadirkan sosok petarung dan pemimpin tegas, tapi menyimpan kekosongan dan luka mendalam di hatinya. Dua tokoh protagonis, Chicco Kurniawan sebagai Oscar Darmawan dan Ardhito Pramono sebagai William Sutanto, juga sukses menghadirkan kehangatan persahabatan di tengah situasi teramat pelik yang menjerat mereka.
Menariknya, ada dua bintang lain yang mencuri perhatian dalam film ini, yakni Lutesha sebagai Agnes dan Muhammad Khan sebagai Waluyo. Agnes adalah kekasih William yang feminin, tapi tangguh. Adapun Waluyo merupakan pakar komputer sekaligus tangan kanan Arok.
Angga Dwimas Sasongko memang tidak main-main dalam membuat film 13 Bom di Jakarta. Dari kualitasnya, film ini memang memakan biaya tak sedikit. "Normal-normalnya kayak tiga film jadi satu," kata sutradara 38 tahun itu.
Angga memang tidak mengungkap detail biaya produksi film terbarunya. Namun sejumlah kabar menyebutkan film 13 Bom di Jakarta menelan biaya hingga US$ 4,8 juta atau sekitar Rp 78 miliar.
Adapun adegan truk uang menjadi favorit sekaligus tersulit bagi Angga. Alasannya, adegan tersebut memerlukan riset yang lama. Ia juga menggandeng beberapa pihak SFX atau special effects, tim desain produksi, sampai tim seni untuk merancang adegan truk meledak hingga terbalik dengan tepat.
"Saya bayangkan kalau ada RPG atau bazoka menghantam bawah mobil. Dari ledakan itu, saya akan membuat mobil terpental."
Kesulitan lainnya, adegan itu hanya bisa didapat dalam sekali percobaan alias tidak ada kesempatan kedua. Walhasil, koordinasi seluruh tim yang bekerja di lapangan menjadi kunci keberhasilan pengambilan gambar tersebut.
Ada pula adegan kejar-kejaran mobil yang diambil di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Dalam adegan tersebut, terdapat mobil yang menabrak hingga terbalik. Sama seperti adegan truk uang, mereka hanya punya satu kali kesempatan lantaran hanya mendapat izin menutup jalan selama 15 menit.
"Jadi sutradara enggak cuma soal kreatif, tapi juga harus bisa memberi gambaran tentang apa itu manajemen waktu dan orang," kata Angga.
Adapun cerita 13 Bom di Jakarta, Angga mengakui, terinspirasi oleh peristiwa bom di Tangerang pada 2015. Saat itu, pelaku bom mengancam dan meminta tebusan berupa Bitcoin. Tersemat harapan besar Angga dalam film 13 Bom di Jakarta. "Kami tidak setuju aksi terorisme dalam bentuk apa pun dan perbuatan yang melanggar hukum."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo