Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Teror mental putu wijaya

Editor : ellen rafferty dan laurie j. sears wisconsin : university of wisconsin center of resensi oleh : umar yunus.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOMB: INDONESIAN SHORT STORIES BY PUTU WIJAYA Editor: Ellen Rafferty dan Laurie J. Sears Penerbit: University of Wisconsin Center of Southeast Asian Studies 1988, 237 halaman SELAIN pendahuluan (3-30) yang ditulis oleh Rafferty, antologi ini memuat 18 cerpen Putu. Lima dari Bom (1978), 8 dari Es (1980), 4 dari Gres (1982). Dan satu dari majalah Horison (1982), yaitu "Sepi". Penerbitan ini berbentuk teks paralel. Terjemahan bahasa Inggris bersebelahan halaman dengan teks Indonesia. Salah satu alasan penerbitan teks paralel ini, menurut Rafferty, ialah untuk memudahkan orang mendapatkan teks asalnya karena Es dan Bom tak pernah diterbitkan secara komersial. Tapi ada kemungkinan lain. Teks ini, sesuai dengan penerbitan teks paralel, dapat menolong orang asing mempelajari bahasa Indonesia. Ia mungkin digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia bagi orang asing. Dan hakikat cerpen Putu sebagai cerpen modern yang sering dihubungkan orang dengan sesuatu yang sukar dipahami ternyata tak menghalanginya. Malah setelah membaca terjemahan Inggrisnya, saya makin yakin akan kesederhanaan bahasa Putu. Orang tak mengalami kesukaran untuk menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Atau dalam hubungan ini saya mesti menujukan pujian kepada orang yang terbit dalam penerjemahan antologi ini. Mereka telah melakukannya dengan baik. Terjemahan mereka baik, dalam arti tidak lari dari yang ada dalam teks asalnya. Dengan mengatakan demikian, ia bukan tak punya kekurangan. Namun, ini sesuai dengan hakikat penerjemahan. Tak ada yang sempurna. Tapi mereka telah berusaha sebaik mungkin. Mereka sadar akan kelemahan terjemahan mereka. Mereka juga sadar akan kegagalan mereka untuk mempertahankan ambiguitas yang memang tak mungkin dilakukan. Yang mungkin diterjemahkan hanya satu arti dan bukan satu ambiguitas. Mereka sadar akan hal ini sehingga mereka katakan bahwa terjemahan ini satu dari berbagai cara untuk mempersembahkan dan memahami cerpen Putu. Pernyataan ini menghalangi saya membicarakan secara terperinci terjemahan ini. Memang ada kesalahan tapi sukar dihindarkan. Misalnya, saya rasa but what's in your own head bukanlah terjemahan yang tepat bagi "akan tetapi kepalamu sendiri". Pilihan cerpen yang termuat dalam antologi ini dilakukan sendiri oleh Putu. Begitu juga halnya dengan judulnya. Sesuai dengan hakikat judulnya, bukan tak mungkin, penerbitan antologi ini diharapkan akan jadi sebuah bom memperkenalkan hakikat cerpen Indonesia. Hakikat ini disokong juga oleh cerpen yang dipilih untuk memenuhi antologi ini. Bahkan mungkin melampaui batas dunia sastra. Antologi ini sekaligus juga memperlihatkan dirinya sebagai manifestasi dunia budaya Indonesia, termasuk budaya politik. Dan hakikat ini disokong oleh pendahuluan dari Rafferty. Dalam memperkenalkan Putu dan cerpennya, Rafferty memperlihatkan unsur yang menjadi dasar perkembangan cerpen Putu. Ada kesan sosiologi pemahaman. Ia mulai dengan dasar yang diperoleh dari budaya Bali yang merupakan proses sosialisasi pertama Putu. Selanjutnya ada pengaruh Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta. Ini dilanjutkan dengan pengaruh dunia luar yang berhubungan dengan pengembaraan Putu ke luar Indonesia. Dan ini berhubungan pula dengan suasana Sastra Indonesia mutakhir, yang membesarkan dan yang ikut dibesarkan oleh Putu. Dalam hubungan ini ada benarnya bila dikatakan Rafferty tentang cerpen yang menjadi bom waktu mental. Keterangan ini menolong orang memahami cerpen Putu. Saya dapat menerima pengutaraan itu. Tapi ada suatu tetapi. Orang mungkin melihat cerpen Putu terbentuk dari berbagai pengaruh, dan ini memungkinkan pengabaian kehadiran Putu. Yang hadir hanya pengaruh. Dan saya rasa ini pasti bukan yang ingin diucapkan Rafferty. Tepat sekali bila Rafferty mengatakan cerpen Putu sebagai suatu teror mental, ini sesuai dengan judul pendahuluan ini yaitu The Mental Terror of Putu Wijaya, yang membawa orang berpikir tentang persoalan yang dikemukakan dalam cerpennya. Memang dalam membaca cerpen Putu, mental kita seakan diteror. Ini mungkin dicapai Putu dengan menggunakan humor sesuai dengan pembicaraan Rafferty tentang "Humor as a strategy". Namun, saya memilih untuk melangkah keluar dari humor sebagai strategi. Saya lebih melihat persoalannya dalam hubungan pemelihara dekonstruksionisme yang mempermainkan metafora. Boleh dipahami sebagai metafora dan tak metafora atau literal sekaligus, suatu simulacrum. Sayang, Rafferty tak menyentuh hal ini. Dengan strategi ini, pemasangan alat kelamin ayah pada dahi Merdeka punya makna yang punya jangkauan jauh. Alat kelamin juga dikenal sebagai kemaluan, dan ini membawa kita berpikir tentang sesuatu yang memalukan. Dengan begitu, pencangkokan kemaluan ayah pada dahi Merdeka dapat dipahami sebagai "kelakuan ayah yang memalukan telah terconteng pada dahi Merdeka", yang memungkinkan kita memahaminya sebaai metafora. Tapi sayang, Rafferty tak memperlihatkan adanya kemungkinan ini. Dan bila saya menimbulkan kemungkinan ini, saya tak bermaksud mengatakan bahwa ini adalah makna satu-satunya. Ini, sesuai dengan hakikat simulacrum, tak menolak kemungkinan makna lain. Dengan catatan ini, saya menerima baik penerbitan antologi dan terjemahan cerpen Putu ini. Ini jelas berbeda dari catatan saya terhadap terjemahan novel Iwan Simatupang oleh Harry Aveling. Saya tak puas dengan terjemahan Aveling. Saya tidak tahu apakah ini disebabkan perbedaan materi atau perbedaan kesanggupan penerjemahan. Barangkali ada baiknya bila usaha penerjemahan ini dilanjutkan dengan tulisan penulis lain, misalnya Berhala Danarto. Umar Junus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus