Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pekikan dan tubuh. Bukankah keduanya saling merasuki dunia kita yang ramai? Manakah kiranya yang lebih punya "masa depan": serangkaian sorak-sorai prosa atau puisi dan metafora? Belakangan kita menyaksikan kuatnya kecenderungan untuk merayakan "dwitunggal" itu dalam seni rupa kita. Yang pertama adalah serpihan dari representasi jargon, sedikit-banyak dihela oleh kegerahan suasana politik jalanan kita. Yang kedua, bertaut dengan tren dan hasrat filosofis akan "tubuh" yang sarat makna. Maka, tampillah sejenis figurasi baru dalam khazanah seni rupa kita, menjelang akhir 1990-an.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo