Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pirates of the Caribbean: At World’s End Pemain: Johnny Depp, Geoffrey Rush, Orlando Bloom, Keira Knightley, Chow Yun-fat, Keith Richards Skenario: Ted Elliott, Terry Rossio Sutradara: Gore Verbinski Produksi: Walt Disney Pictures (2007)
Apa yang bisa dilakukan seorang gitaris The Rolling Stones di tengah jajaran para aktor yang mengkilap? Pertanyaan ini perlu didahulukan untuk melihat keseluruhan film dan membandingkannya dengan dua film terdahulu: Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl (2003) dan Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest (2006).
Keith Richards, gitaris rock gaek itu, sama sekali tak punya pengalaman bermain film—jikapun ada, itu peran kecil 38 tahun lalu. Tapi sutradara Gore Verbinski begitu ngebet membujuknya berperan sebagai kapten Teague, ayah Jack Sparrow (Johnny Depp), perompak legendaris yang telah melariskan trilogi film bajak laut ini. Apa yang Verbinski harapkan?
Kapten Teague adalah sang penjaga kode bajak laut (Pirata Codex) dan pemegang kitab undang-undang para perompak. Ketika segerombolan bajak laut bersidang di Shipwreck Cove untuk menentukan panglima perang, Teague diundang untuk memberi pertimbangan ”ketatanegaraan”. Ia lalu membuka kitab saktinya dan berfatwa agar para bajak laut menggunakan hak satu orang satu suara. Sembilan bajak laut pun gaduh. Dengan enaknya Teague kemudian menyambar sepotong gitar dan memetiknya.
Lewat petikan gitar itu, juga ”ajaran” demokrasi yang tiba-tiba nyelonong di film, Verbinski rupanya ingin lebih bermain-main di film komedi petualangan yang sebenarnya sudah kelewat sableng ini. Richards dihadirkan untuk menjadi dirinya sendiri dalam wajah Teague. Sedangkan Chow Yun-fat, ia dandani menjadi bajak laut dari sebuah negeri yang sama sekali tak pernah masuk dalam peta kekuatan armada laut sejak zaman baheula: Singapura.
Inilah sebuah dongeng yang membebaskan Verbinski berkreasi leluasa. Dua film pertama sudah sangat laris. Film ketiga, apalagi yang mesti dibesut selain membuat kegilaan? Tanpa perlu menunggu skenario ketiga selesai, misalnya, Verbinski sudah mengambil beberapa gambar terlebih dulu. Gambar-gambar itu baru kemudian disusulkan masuk ke dalam skenario.
Dengan proses terbalik itu, tak dengan serta-merta film terjerembab menjadi kacangan. Adegan peperangan antara kapal Black Pearl milik bajak laut dan armada Kerajaan Inggris Raya, misalnya, berlangsung dahsyat. Suasana seru persidangan para perompak yang diakhiri pemungutan suara itu pun tampil seperti sebuah representasi masa kini di tengah cerita keangkeran dan mitos-mitos bajak laut masa lalu.
Cerita film bermula dari hilangnya Jack dan Black Pearl setelah dimakan monster laut Kraken—ini akhir dari film kedua. Untuk menyelamatkan Jack, William Turner (Orlando Bloom) dan Elizabeth Swann (Keira Knightley) meminta bantuan peramal Tia Dalma yang kemudian menghidupkan kembali Barbossa (Geoffrey Rush), satu-satunya pelaut yang tahu bagaimana menuju Ujung Dunia, tempat Jack ditahan. Barbossa adalah kapten kapal pertama Black Pearl yang dibunuh Jack pada sekuel awal serial ini. Barbossa ternyata masih memerlukan peta Ujung Dunia. Peta ini dipegang Sao Feng (Chow Yun-fat).
Kehadiran Jack diperlukan untuk melawan armada kerajaan Inggris yang berkongsi dengan para perompak siluman dari kapal The Flying Dutchman. Maka Jack pun berusaha mengumpulkan para bajak laut dalam sebuah sidang. Mereka harus bersatu. Tapi siapa panglima perang yang mesti dipilih? Setiap perompak ternyata memiliki agenda masing-masing.
Banyaknya tokoh perompak yang muncul justru menjadi titik lemah film ini. Karakter dan motif masing-masing bajak laut tak cukup tergali. Cerita menjadi bercabang. Percakapan-percakapan para perompak bersilangan, rumit. Penonton pun sewaktu-waktu bisa tersesat dan kehilangan pokok cerita. Terlebih bila para penonton tak pernah menyaksikan dua film sebelumnya.
Inilah yang membedakan sekuel terakhir dengan dua film pertama Pirates of the Caribbean: Verbinski kehilangan kesederhanaan cerita justru di tengah kebebasannya bermain-main. Untunglah, masih ada Johnny Depp yang cerdas dan konyol.
Yos Rizal S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo