Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT DAN BUMI SAHABAT KAMI
Cerita Kenangan Nh. Dini
Terbitan PT Dunia Pustaka Jaya, 1980
199 halaman.
OTOBIOGRAFI adalah gaya penulisan cerita rekaan. Sumber dan
bahan mentah untuk karya bergaya demikian itu bisa berupa
kehidupan pengarang sendiri, bisa juga bukan.
Dalam cerita rekaan otobiografis kita menemukan seorang tokoh,
tidak usah selalu tokoh utama, yang menjadi pencerita ia adalah
si aku. Dengan demikian semua peristiwa dan tokoh lain dalam
cerita demikian dipandang dari sudut si aku, yang dalam
kebanyakan novel dan cerita pendek otobiografis memang menjadi
tokoh utama.
Apabila kehidupan pengarang sendiri menjadi sumber penulisan,
peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya haruslah hanya menjadi
bahan mentah yang masih harus diolah. Agar, semua yang dulu
pernah menjadi fakta itu tercipta sebagai fiksi, dunia rekaan
yang memiliki hukum-hukum yang berbeda dengan kehidupan nyata.
Teliti & Jujur
Langit dan Bumi Sahabat Kami adalah buku ketiga dari serangkaian
cerita kenangan Nh. Dini (sebelumnya adalah Sebuah Lorong di
Kotaku dan Padang Ilalang di Belakang Rumah) yang menjadikan
masa kanak-kanak pengarang itu sebagai sumber dan bahan mentah.
Si aku adalah seorang gadis kecil yang bersama keluarganya
mengalami serangkaian peristiwa di masa pendudukan kembali
Belanda sesudah revolusi di Semarang. Tampaknya dalam
menciptakan kembali masa kanak-kanaknya itu pengarang tidak
mengubah nama-nama orang (setidaknya nama-nama saudara
kandungnya) dan tempat terjadinya peristiwa. Dalam catatan di
kulit belakang buku ini ditulis bahwa "penulisan" cerita
kenangan ini "teliti" dan "jujur".
Kalau ukuran ketelitian dan kejujuran didasarkan pada persamaan
antara nama-nama orang dan tempat dengan nama-nama tokoh dan
latar dalam cerita, penulisan cerita Dini ini mungkin memang
jujur dan teliti. Tetapi cerita rekaan adalah dunia kata yang
menasarkan ketelitian dan kejujuran pengarang pada taraf
hubungan antar unsur yang ada dalam karya itu sebagai suatu
sistem formal.
Si aku dalam cerita ini adalah seorang gadis kecil yang
merlgisahkan peristiwa demi peristiwa yang menimpa keluarganya,
mulai dari peristiwa mencabut singkong di kebun sampai
peristiwa penangkapan ayahnya oleh tentara pendudukan Belanda.
Timbul kesan bahwa di mata si gadis kecil itu semua peristiwa
sama pentingnya dengan demikian kesimpulan kita adalah bahwa
semua peristiwa dalam cerita itu dipandang dari segi si aku
sebagai tokoh.
Tetapi ternyata tldak demikian halnya pembacaan yang teliti
membuktikan bahwa si aku, yang masih kecil, terus-menerus
berusahl menyusup ke dalam pikiran tokoh-tokoh lain sambil
memberikan penilaian terhadap tokoh-tokoh tersebut dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Si aku jni pun ternyata tidak
hanya tertarik pada hal-hal yang biasa menjadi perhatian gadis
kecil, tetapi tidak jarang menjadi juru bicara dan sekaligus
penafsir nasihat dan katakata mutiara yang terus-menerus
diucapkan oleh tokoh ayah dan ibu.
Jadi apakah si aku adalah pengarang sewaktu ia menulis cerita
ini, dan bukan gadis kecil yang hidup di zaman pendudukan
Belanda sehabis revolusi di Semarang? Tokoh ini memang sangat
gemar berbicara tentang konsep-konsep kehidupan. Antara lain si
aku menjelaskan:
. . . Orang tua kami mempunyai semboyan dalam hal kedermawanan,
ialah lebih baik memberi daripada menerima. Dan kedermawanan
itu dapat bersipat kebendaan ataupun bantuan rohani. (hal. 99)
Pembicaraan tentang konsep-konsep kehidupan banyak didapati
dalam cerita ini, dan tidak jarang pula disertai dengan
penafsiran si aku. Dengan demikian timbul kesan bahwa si aku
adalah bukanlah tokoh ketika ia mengalami peristiwa, tetapi
tokoh sewaktu ia sebagai pengarang menuliskan kembali
peristiwa-peristiwa itu menjadi cerita.
Lalu Lalang
Kalau segi pengisahan yang kedua itu yang kita terima, timbul
pertanyaan: mengapa si aku tertarik juga pada hal-hal "kecil"
seperti panen singkong di kebon, dan menceritakannya dengan gaya
yang biasa ditemukan dalam bacaan kanak-kanak? Contoh:
. . . Jika ayah berhasil mencabut sebatang pohon, mengeluarkan
akar-akar sebesar lenganku yang berjuluran coklat kemerahan, aku
berdiri di sampingnya dengan penuh kekaguman. Lalu terdengar Yu
Saijem di sudut lain, berteriak girang karena berhasil menggali
singkong yang lebih besar lagi. Aku melompat ke sana dan
berjongkok menolongnya membersihkan hasil bumi berharga itu dari
lapisan lumpur atau tanah yang pekat. Belum selesai membantu Yu
Saijem, Teguh dan Nugroho menyeruknn sorak kemenangan setelah
berhasil mencabut singkong. (hal. 101)
Tiadanya segi pengisahan yang jelas lalam cerita ini
menyebabkan unsur-unsur utamanya tidak terjalin dengan
semestinya. Tokoh-tokoh lain yang menonjol dalam cerita ini, ibu
dan ayah adalah sepasang suami istri yang "hanya" memiliki
sifat-sifat luhur. Tokoh-tokoh lain seolah-olah lalu-lalang saja
tanpa mendukung alur sebagai rangkaian peristiwa yang
bersendikan kausalitas. Dengan demikian alur merupakan rangkaian
peristiwa yang susul-menyusul dalam urutan waktu, bukan
berdasarkan sebab akibat.
Tetapi barangkali saja karya Dini ini memang tidak dimaksudkan
sebagai cerita rekaan, tetapi "cerita kenangan" yang dapat
dibaca untuk menambah pengetahuan kita tentang masa kanak
pengarang. Dan karangan ini bisa menjadi penting bagi mereka
yang ingin mengetahui lebih banyak tentang masa kanak salah
seorang pengarang Indonesia -- terutama sekali mereka yang
menganggap Nh. Dini seorang pengarang, dan tentunya juga tokoh,
yang mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo