Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tisna tanpa Bau Jengkol

Lukisan-lukisan bukan grafis Tisna Sanjaya tetap menyuarakan orang-orang terpinggirkan. Kasar goresan dan sapuannya, tapi kali ini dipulas dengan warna-warna. Gambar-gambar Tisna mirip coret-moret di tembok-tembok kota, di badan bus, dan di gerbong kereta api. Ia berada di jalur kesenian yang dianjurkan Sudjojono, pelopor seni lukis modern Indonesia.

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TISNA Sanjaya akhirnya masuk mal. Dari Kamis pekan lalu hingga Kamis pekan ini, karya-karyanya dipamerkan di Galeri Artsphere, Darmawangsa Square, Jakarta. Ini perlu dicatat karena perupa yang sudah sering kali diundang di berbagai pameran internasional, termasuk Venice Biennale, ini selama ini terkesan anti yang serba glamor, mewah, dan mapan.

Bahkan sebuah karya instalasinya berujud perahu dan diletakkan di satu jalan di Bandung, kota tempatnya tinggal dan bekerja, dibakar oleh karyawan kebersihan kota. Setelah Tisna dan para seniman marah, sang pembakar rupanya menemukan dalih: ia (atau mereka) mengira ”perahu” itu sampah, barang yang dibuang. Terlepas dari jujur atau tidak penjelasan itu, ada niat pemerintah daerah menggasak karya yang dianggapnya mengkritik pemerintah daerah atau tidak, karya Tisna memang memberi peluang dalih itu muncul. Dan mal lazimnya sebuah tempat belanja dan yang berkaitan dengan belanja yang terkesan mewah.

Tapi di mal atau di mana pun tampaknya Tisna tetaplah Tisna yang biasanya memamerkan karya-karya yang terkesan ”jorok”, awut-awutan, kadang ditempeli barang bekas (kayu bekas kaki meja, bingkai bekas pakai, dan sebagainya) atau perkakas (martil, sabit, dan sekop). Atau foto yang sudah kekuning-kuningan, atau reproduksi dari suatu gambar yang dicetak di kanvas lewat teknik grafis. Dan selama ini ia tak cuma menghadirkan rupa; pernah beberapa kali, satu-dua karya Tisna yang dipamerkan meruapkan bau petai atau jengkol. Yang di mal kali ini, dari belasan lukisan umumnya bermedia akrilik, beberapa dengan arang (charcoal, arang yang dibuat dengan cara khusus), tak satu pun berbau jengkol. Juga tidak satu patung perunggunya.

Memang, belasan karya yang dipamerkannya kali ini seperti diupayakan ”cocok” untuk mal. Tisna yang dikenal sebagai pegrafis, dan biasanya menyuguhkan karya hitam-putih, kini berpameran lukisan, berwarna. Jadi karyanya kali ini tak ”jorok-jorok” amat, meski tak juga ”gemerlap”. Dan ada sejumlah kata yang dituliskan di kanvas yang bernada antara sebuah apologi dan sindiran. Misalnya, sebuah karya sesosok laki-laki, bertolak pinggang, berdiri di tumpukan uang, menjunjung sejibun kitab, di lengan atas kanannya tumbuh bunga. Lalu bidang gambar di kiri-kanan sosok ini diisi dengan garis-garis mendatar dan meninggi membentuk pagar atau penyekat ruang. Di pagar itu, di kanan (sosok itu), ada tulisan ”Aura seniman”, di kiri ”Aura kapital”. Judul karya ini sama dengan yang tertulis itu: Aura Seniman, Aura Kapital.

Atau satu lukisan yang pusat perhatiannya ada pada gambar bola dunia (tapi peta di situ adalah gambar sejumlah figur dalam posisi jungkir balik, mengesankan membentuk peta dunia), lalu empat benda ditempelkan di kanvas ini: satu sekop, sebuah martil, dan dua sabit. Sekop ditempel menggantung di tengah, sabit di pinggir kanan dan kiri berhadapan, serta martil terjungkir di antara dua sabit. Lalu ada tulisan, dua kata di bagian kanan kanvas, dua kata di kiri: ”Aura kapital”, ”Viva marhaen”. Empat kata itu juga yang dijadikan judul lukisan ini. Semestinya Aura Kapital, Viva Marhaen, tapi di katalog terbalik: Viva Kapital, Aura Marhaen–atau justru maksud Tisna memang antara tulisan dan judul disengaja sedikit berbeda?

Yang makin jelas di pameran lukisan ini adalah kepiawaian Tisna menggambar. Betapa semrawutnya gambar figur itu (misalnya pada Nie Wieder Krieg, artinya jangan ada perang lagi), betapa sekadar blabar yang membentuk gambar sesosok manusia (misalnya Mimpi Seniman; Seniman, Utopia; Berpikir dengan Dengkul; Davis & Goliath; serta Aura Seniman, Aura Kapital) semuanya mengesankan secara anatomis gambar-gambar manusia itu tidak janggal. Dengan modal inilah Tisna leluasa menggambar apa saja guna menyampaikan ”suara hati dan pikiran” dalam bentuk karya seni rupa.

Dan ”suara” itu, menurut saya, pada umumnya adalah suara-suara dari ”bawah”. Itu sebabnya, ia menempelkan simbol-simbol kelas petani dan pekerja: sekop, martil, sabit, cangkul; atau berbagai benda bekas pakai yang biasanya dipungut oleh pemulung. Inspirasi visual Tisna pun, saya mengira, adalah seni rupa ”bawah” dalam pengertian seni rupa yang ada di jalan-jalan (gambar di bak truk, coretan di pagar tembok, gambar di slebor becak, dan corat-coret di dinding warung, misalnya). Tidakkah Nie Wieder Krieg mirip gambar-gambar sesosok pejuang memegang bambu runcing atau senapan yang biasanya kita lihat di gapura-gapura gerbang kampung setiap peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus? Dan gambar-gambar Tisna yang lain tidak susah ditemukan kemiripannya dengan gambar-gambar coret-moret di tembok-tembok kota, di badan bus, dan di gerbong kereta api? Dan ingatlah, kalau ia membuat instalasi, tidakkah cara Tisna mengatur semua yang ia pasang di instalasi itu (biasanya kaus oblong, gambar-gambar tokoh populer atau wajah Tisna sendiri), seperti pedagang gambar tempel menata dagangannya di trotoar?

Dengan lain kalimat, Tisna melihat dan mengangkat ”estetika” dari bawah menjadi bahasa seni rupanya. Dalam hal ini, karya Tisna berada dalam jalur kesenian yang dianjurkan oleh Sudjojono ketika pelopor seni lukis modern Indonesia ini menentang yang disebutnya sebagai lukisan ”Hindia Molek”. Salah satu lukisan Tisna dalam pameran ini berjudul Kabayan, Seri Jiwa Ketok. Ini merupakan lukisan pelesetan dari karya Sudjojono: menggambarkan se-seorang berakrobat dengan naik sepeda. Satu tangan memegang payung, tangan yang lain memegang tongkat, dan di atas kepalanya sebuah nampan berisi beberapa benda. Sepeda ini meluncur di jalan aspal yang membelah laut. Hanya, lukisan Tisna dalam hitam-putih dan wajah seseorang di sini wajah Tisna. Ada tulisan kecil di sudut kiri atas dilihat dari sisi penonton: ”Sip segala cuaca/Homage au Sudjojono/Zeitgeist pisan euy”. Maknanya, pujian untuk Sudjojono, yang membawakan semangat zaman dengan keren sekali.

Sampai di sini saya baru bisa menafsirkan tajuk pameran ini, ”Incarnation”, inkarnasi atau penjelmaan. Agaknya Tisna bermaksud menjelmakan semangat Sudjojono melawan Hindia Molek. Tapi apa yang hendak dilawan Tisna di sebuah pertokoan mahal ini? Ia mengajak kita menengok yang ada di balik gemerlapan gaya hidup. Ia meminta kita melihat kembali sabit dan cangkul, sekop dan martil. Kalaulah ada warna-warna yang sedikit mengurangi kemuraman, mungkin ini sekadar ”strategi”. Apa boleh buat kalau ”strategi” itu juga mengurangi kasarnya goresan dan sapuan. ”Orang kecil” dalam pameran Tisna kali ini, misalnya, bukanlah korban di sebuah kampung, melainkan Daud. Dan ia tak menggambar sendiri si Daud, tapi menempelkan foto Daud (David) karya Michelangelo. Goliath-lah yang diciptakan Tisna: terjungkir dengan kepala di bawah, kaki ke atas, satu sapuan merah kecokelatan tumpah dari antara kedua kaki itu. Di tubuh Goliath itu Tisna menulis: ”Jadilah kosong engkau akan tetapi penuh; jadilah usang engkau akan tetapi baru”. Itulah karya David & Goliath yang lebih tampil efek artistik goresan dan sapuannya, meredam keberpihakan Tisna pada ”bau jengkol”.

Tapi itulah pilihan Tisna. Bagi saya—juga mungkin bagi kurator pameran ini, Rizki Zaelani, yang menulis, ”Tisna tengah terus-menerus melakukan upaya negosiasi yang tak selamanya berlangsung mudah,”—pilihan itu tak berarti berhenti, akan terus ada kegelisahan dan itulah sumber penciptaan.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus