Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan Mutiara mengguncang seisi rumah. Hawa konflik langsung meruap ketika ia berhadapan dengan ayah, ibu, dan adik tirinya di ruang depan. Kebenciannya sulit dibendung. Setelah 10 tahun lamanya minggat dari rumah, kini pada masa pandemi Covid-19, ia kembali ditemani Mona, rekan kerjanya. Kepulangannya yang ujuk-ujuk itu bukan semata karena ayahnya sakit, melainkan klub malam tempat mereka bekerja harus tutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan Mutiara (diperankan oleh Happy Salma) di rumah itu menggiring ketegangan baru dari masalah lama. Dia kecewa terhadap ayahnya, Wijaya Sastro (Butet Kertaredjasa), karena menceraikan ibunya, lalu menikahi Amelia (Ratna Riantiarno). Itu sebabnya dia kabur dulu. Mutiara juga menuding Amelia telah merebut ibunya sebagai istri, padahal dulu keduanya bersahabat. Kemarahannya ikut merembet ke Randy (Reza Rahadian) sebagai adik tirinya.
Perseteruan yang saling mengikat itu belakangan mereda. Tuduhan Mutiara patah setelah Wijaya Sastro mengungkap masalah utama keluarganya yang terpendam lama. Semua orang tampak lega, kecuali mungkin Parto (Susilo Nugroho). Pembantu rumah tangga yang tengil itu gagal menggaet hati Mona (Wulan Guritno) karena kalah bersaing dengan Randy.
Lakon berjudul Rumah Kenangan itu mengetengahkan persoalan yang dihadapi sebuah keluarga dengan pandemi sebagai pengait cerita. Ceritanya digagas Happy Salma, yang sekaligus menjadi produser bersama Butet Kertaredjasa. Naskahnya digarap sastrawan Agus Noor yang sekaligus menjadi sutradara.
Pertunjukan kerja sama Titimangsa Foundation dengan Bakti Budaya Djarum Foundation yang berdurasi sekitar satu jam itu ditayangkan secara daring (online) di laman Indonesiakaya.com pada 15-16 Agustus lalu pukul 20.00 WIB. Jumlah penonton boleh dibilang menggembirakan. Dengan harga tiket Rp 50 ribu, pada hari pertama jumlah penonton mencapai 1.250 orang. Adapun pada hari kedua, menurut Happy Salma, jumlahnya 1.350 penonton.
Namun pada hari pertama penayangan ada sedikit persoalan yang dialami sekitar 200 penonton yang tersebar di berbagai tempat. Ada penonton yang tidak mendapat akses menonton dari panitia hingga mengalami gangguan jaringan Internet. Sinyal yang tidak stabil membuat tayangannya terputus-putus. Panitia yang sudah memperkirakan kondisi itu lantas memberikan kompensasi. “Kami kasih link lagi untuk menonton pada hari kedua,” kata Happy, yang dihubungi lewat pesan teks, Ahad lalu.
Produksi teater daring Rumah Kenangan itu semacam terobosan untuk membuka tirai panggung pertunjukan yang sudah berbulan-bulan tutup akibat pandemi Covid-19. Konsepnya adalah mereka mementaskan lakon seperti teater di panggung biasa tapi tanpa penonton. Rekaman pertunjukan dengan tiga kamera itu kemudian diolah menjadi bentuk film dan ditayangkan dengan sebutan cinema play.
Proses penggarapan teater daring Rumah Kenangan, kata Happy, berlangsung selama dua bulan. Waktunya dimulai pada 3 Juni lalu setelah rencana pentas Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih harus diundurkan. Setelah memilih pemain, mereka berlatih secara jarak jauh via aplikasi Zoom dari tempat masing-masing.
Tentu saja hal itu menjadi pengalaman tersendiri bagi para pemain dan tim produksi. Selain teks, Reza Rahadian, misalnya, mengaku harus belajar bermain gitar secara singkat dalam empat hari. Berperan sebagai musikus rumahan, gitar menjadi alat musik andalannya. Sedangkan Happy dan Wulan Guritno juga belajar menari sebagai pemain yang bekerja di klub malam.
Rombongan pemain dan tim pendukung kemudian berkumpul di Yogyakarta. Mereka dikarantina di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja dengan protokol kesehatan, termasuk menjalani tes cepat. Pementasan berlangsung di sebuah studio yang ditata menjadi panggung. “Pentas dilakukan seperti pada umumnya pementasan, tidak ada cut to cut, kecuali perpindahan set,” kata Happy.
Walau menikmati dan senang saat berpentas teater, mereka masih tetap merasa kehilangan sosok-sosok di kursi penonton. Begitu pun tepuk tangan penonton pada akhir lakon.
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo