Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Transpuan pernah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Toraja di Sulewesi Selatan.
Toburake, imam dalam agama kuno Aluk Todolo, merupakan status yang hanya bisa diraih oleh laki-laki berjiwa perempuan (calabai) dan perempuan berjiwa laki-laki (calalai).
Toburake diyakini telah punah akibat penyebaran agama Kristen dan kewajiban memilih agama versi negara.
Mereka umumnya laki-laki berambut panjang hingga mata kaki; berpakaian dan berdandan seperti perempuan. Mereka mengenakan baju adat Suku Toraja berkelir cerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat upacara kelahiran dan pernikahan, mereka memainkan garapung, alat musik berupa gendang kecil yang terbuat dari batok kelapa dan kulit ular sawah untuk mengiringi doa-doa yang dipanjatkan kepada leluhur agama lokal, Aluk Todolo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bebunyian garapung itu mengusir roh sumber penyakit di kampung. Suara alat musik itu juga diyakini mendatangkan dewa-dewa.
Dari rumah panggung kayu di Desa Tambunan, Kecamatan Makale Utara, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, seorang penganut Aluk Todolo, Hendra Rantetau, berkisah tentang toburake. Toburake merupakan imam tertinggi atau pandita. Status itu hanya bisa dicapai oleh laki-laki berjiwa perempuan (calabai) dan perempuan berjiwa laki-laki (calalai) yang punya kedudukan istimewa bagi Suku Toraja.
Sampul buku karya Antropolog Universitas Leiden, Belanda, Kees Buijs. TEMPO/Shinta Maharani
Mereka menganggap toburake sebagai orang suci dan sakti yang memiliki bakat istimewa, memahami filosofi asal-usul penciptaan makhluk hidup, bisa menyembuhkan orang sakit, dan kebal senjata tajam. Keahlian toburake ini sekilas mirip bissu dalam masyarakat Bugis, suku mayoritas di Sulawesi Selatan.
Bissu atau gender kelima mengkombinasikan empat jenis kelamin, yakni laki-laki, perempuan, calalai, dan calabai.
Bedanya, toburake hidup dan ditahbiskan oleh dewan adat. Sedangkan bissu mendapat tempat istimewa pada zaman raja-raja Bugis dan memimpin ritual penyucian pusaka.
Bissu masih bisa ditemui di sejumlah kabupaten, seperti Bone, Pangkep, dan Wajo. Lain halnya dengan toburake, yang kian sulit ditemui seiring dengan perkembangan agama Kristen di Tana Toraja—kini dimekarkan dengan Toraja Utara. “Bisa dibilang punah. Tidak ada regenerasi,” ujar Hendra saat ditemui Tempo di rumahnya, Kamis, 17 Agustus lalu.
Hendra, 51 tahun, merupakan anak pemuka adat terkemuka Aluk Todolo di kampung itu, Tato Dena’, yang bergelar Ne’ Sando. Saat Tempo bertandang ke sana, Tato Dena’ yang berusia 90 tahun sakit dan sulit berbicara. Hendra fasih menceritakan toburake di sejumlah daerah yang memimpin ritual upacara rambu tuka’, yakni upacara kelahiran, pernikahan, pembangunan rumah, dan panen padi.
Pada 1987, toburake masih bisa ditemui di kampung kecil di lereng Gunung Sesean. Dia memiliki rambut panjang hingga mata kaki. Ayah Hendra pernah meminjam garapung untuk upacara adat.
Hendra mengatakan ciri khas toburake adalah tidak menikah, gemar berkelana, menjauhi hal-hal yang bersifat keduniawian, serta berfokus mengajarkan kebaikan dan nilai-nilai Aluk Todolo. Kehidupan toburake mirip shadu atau orang-orang suci di India. Sehari-hari, toburake hidup dari sedekah penganut Aluk Todolo. Ada juga yang bercocok tanam.
Penganut Aluk Todolo mengenal dua pemimpin spiritual, yakni toburake dan tominaa. Toburake menjalani hidup selibat. Sedangkan tominaa menikah. Ayah Hendra, Tato Dena’, adalah seorang tominaa.
Selain memimpin ritual-ritual yang berhubungan dengan kehidupan manusia, toburake berperan mendidik 12 pandita perempuan atau dikenal sebagai tumba. Tumba inilah yang disiapkan menjadi toburake (perempuan berjiwa laki-laki). Tapi tak semua perempuan bisa menjadi toburake karena harus menjalani serangkaian ritual dan persyaratan, misalnya pantangan menikah.
Toburake menari dengan pindan yang penuh beras dalam buku berjudul Toburake Imam Perempuan Pelayan Adat Tertinggi karya Antropolog Universitas Leiden, Belanda, Kees Buijs. Repro/TEMPO/Shinta Maharani
Toburake haram mendatangi rambu solo', upacara kematian dalam tradisi Toraja. Mereka juga tak boleh mengenakan pakaian berwarna gelap saat memimpin upacara kelahiran dan pernikahan. Biasanya toburake mengenakan pakaian kuning. Orang Toraja yakin toburake akan mendapat kesialan dan berumur pendek bila melanggar pantangan-pantangan itu.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Romba' Marannu Sombolinggi, mengatakan masifnya penyebaran agama Kristen menyumbang kepunahan toburake. Seiring dengan masuknya agama-agama modern, penganut Aluk Todolo dan toburake semakin tersingkir. “Mereka dianggap kafir bila tak patuh pada ajaran Kristen. Doktrin itu terus menguat,” kata Romba’, 56 tahun.
Negara pun ikut menyingkirkan toburake. Undang-Undang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama Tahun 1965, misalnya, membuat toburake dan penganut Aluk Todolo harus melebur di bawah agama yang diakui pemerintah. Mereka memilih Hindu sebagai agama dalam kartu tanda penduduk untuk memudahkan mereka mengakses berbagai layanan publik. Saat ini ada sekitar 19 ribu penganut Hindu di Tana Toraja dan Toraja Utara.
Kini, kisah toburake hanya menyebar lewat cerita lisan. Sebagian orang Toraja tak banyak yang tahu tentang toburake, bagian dari peninggalan kuno Aluk Todolo zaman prasejarah. Romba menceritakan bahwa anak-anak dan kerabatnya tak mengenal toburake. “Satu peradaban hilang,” kata dia.
Padahal ajaran Aluk Todolo sangat penting bagi masyarakat Toraja sebagai landasan hidup. Aluk Todolo bicara tentang aturan sosial, ritual keagamaan, kejadian sebab-akibat, pentingnya berbuat kebajikan, dan menjauhi pantangan. Berbeda dengan agama-agama samawi yang menekankan pada manusia sebagai makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan, Aluk Todolo punya filosofi menjaga keseimbangan manusia dengan alam, binatang, dan seisi semesta.
Cerita tentang toburake dan ritual-ritual Aluk Todolo muncul dalam dua buku karya antropolog Belanda dari Universitas Leiden, Kees Buijs, berjudul Toburake Imam Perempuan Pelayan Adat Tertinggi serta Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit. Kees Buijs menghabiskan waktunya untuk meriset toburake dan Aluk Todolo sepanjang 1978-1982. Ia bertemu dengan seorang toburake yang tinggal di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Orang Toraja hidup di kawasan pegunungan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Di Mamasa, toburake menjadi imam yang bertugas memimpin ritual-ritual yang berhubungan dengan kehidupan di bumi, seperti kesehatan, kesuburan, dan kekayaan. Para imam laki-laki, yang disebut toburake tambolang, tidak hanya berperan sebagai perempuan dalam ritual-ritual yang mereka jalankan, tapi juga hidup sehari-hari layaknya perempuan (wadam).
Toburake tattiku’ adalah imam perempuan, berperan sebagai laki-laki dalam ritual dan hidup seperti laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Sementara jabatan toburake perempuan merupakan hal yang turun-temurun, toburake laki-laki hanya dapat menjadi seorang imam setelah mengalami panggilan khusus dari para dewa.
Dia kemudian menyesuaikan gaya hidupnya dan mempelajari sifat-sifat khusus perempuan. “Ia mengenakan pakaian perempuan dan suaranya perlahan-lahan menyamai suara perempuan,” begitu Kees menuliskan.
Toburake berperan dalam ritual penyembuhan orang sakit, kesuburan, dan kesejahteraan. Tugasnya berhubungan dengan kehidupan (rambu tuka’), bukan kematian (rambu solo’). Toburake menghubungkan manusia dan para dewa yang memberikan berkat bagi kehidupan di bumi. Mereka memimpin ritual terpenting dan paling suci, yakni pa’bisuan atau ritual perempuan yang dipimpin oleh pendeta perempuan toburake, yang di dalamnya perempuan bergabung dengan dewa-dewa belantara.
SHINTA MAHARANI (TANA TORAJA DAN TORAJA UTARA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo