Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA tak pernah dicantumkan dalam buku. Padahal sesudah
sang pengarang, dialah orang yang menentukan kualitas buku itu.
"Pada suatu bari, sedang Asam Sudin mandi seorang dirinya
di pancuran, bertemulah olehnya segulung rambut yang hitam
berkilat dan panjang." Kalimat dalam sebuah buku kumpulan cerita
pendek itu agak kacau, gara-gara penggunaan kata kerja
(bertemulah) yang tak tepat.
Seorang penyunting naskah, atau editor, buku yang baik
tentulah tak akan melepaskan kalimat itu begita saja. Mengingat
banyak buku terbit dengan bahasa yang tak terjaga seperti itu,
Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) cabang Jakarta membuka
lokakarya penYuntingan naskah buku.
Diikuti 32 peserta dari 24 penerbit lokakarya dibuka Rabu
pekan lalu untuk selama 10 hari. Antara lain diberikan ceramah
tentang penyuntingan, tentang mengonsep naskah, juga tentang
bahasa dalam penulisan buku. Juga diskusi, dan akhirnya
praktek kerja pada beberapa penerbit besar yang telah bersedia
menerimanya.
Benarkah penyunting naskah hanya bertugas membenahi bahasa?
Rupanya tidak. Soekanto S.A., pengarang cerita anak-anak yang
bekerja sebagai penyuntmg naskah pada penerbitan buku majalah
Femina, menyebut banyak tugas lain bagi seorang penyunting. Ia
mencetuskan ide buku macam apa yang baik diterbitkan. Ia mencari
pengarang yang bisa diajak kerja sama. Ia menolak, atau
menyetujui, naskah yang masuk. Ia bahkan ikut merencanakan
bentuk bukunya nanti.
Penyunting naskah di beberapa penerbit di Jakarta memang
sudah mengerjakan itu. Diah Ansori dari penerbit Djambatan,
misalnya. Buku seri orangorang berjasa terbitan Djambatan,
misalnya, Raden Ajeng Kartini atau Louis Pasteur, adalah ide
Diah.
Memang bukan 100% idenya: sekitar tiga tahun lalu, searang
pengarang menyodorkan naskah biografi Madame Curie, wanita
Prancis penemu unsur radium itu. Tapi, dari naskah itulah muncul
gagasan, untuk menerbitkan buku serupa tentang orang-orang yang
berjasa. Ia pun lantas menghubungi beberapa pengarang yang
dipandangnya mampu menulis biografi itu. Kini telah terbit 12
judul.
Tak jarang pula seorang penyunting naskah melihat isi yang
bagus tapi yang diutarakan dalam bentuk yang bengkok. Ini
dialami oleh Armyn lIarahap, 27 tahun, salah seorang dari enam
penyunting naskah pada penerbit Gunung Mulia. Pada suatu hari,
tuturnya kepada wartawan TEMPo Surasono, datang seorang
pengarang menyerahkan naskah tentang perjalanan ke Jepang. Armyn
melihat, isinya menarik buat menambah pengetahuan anak-anak
tentang negeri Matahari Terbit itu. Tapi bentuk pengutaraannya
membosankan.
Juga Ahli Bahasa
Maka, Armyn mengusulkan. bentuk naskah tersebut perlu
diubah. Ternyata pengarangnya cukup rendah hati. Ia serahkan
saja pengubahannya kepada penyunting muda itu. Oleh Armyn,
naskah disusun kembali dalam bentuk surat-menyurat seorang gadis
remaja. Membaca kembali naskah yang telah diubah Armyn,
pengarang naskah tersebut senang. Buku pun terbit. Dan karya
Shanti Shinta (nama samaran) Perjalanan Shanti ke Negeri Sakura
itu pun laris.
Tapi tak selamanya kerja sama penyunting dan pengarang
lancar. Pengarang yang baru belajar biasanya bisa menerima saran
dan perbaikan yang dilakukan penyunting. Tapi pengarang yang
sudah punya nama, begitu diberi tahu naskahnya harus diperbaiki
biasanya "langsung menarik naskahnya kembali". Siapa contohnya
Armyn agaknya sungkan menyebutnya.
Contoh datang dari penerbit Idayu. Darsyaf Rahman, salah
seorang anggota redaksinya, menceritakan bagaimana Prof. Sutan
Takdir Alisjahbana, budayawan yang menulis novel antara lain
Layar Terkembang dan Anak Perawan di Sarang Penyamun, sama
sekali menolak penyuntingan naskahnya. Misalnya kata depan 'di',
menurut Takdir boleh saja dibubungkan dengan kata yang
mengikutinya. "Misalnya di hidung," tutur Darsyaf, "menurut pak
Takdir boleh digandeng menjadi dihidung. " Dan Darsyaf hanya
menyerah. "Kan pak Takdir juga ahli bahasa," dalihnya -seakan
tiap ahli bahasa bebas bikin ejaan sendiri.
Lain Takdir lain Hemingvay. Pengarang besar seperti Heming
vay, pemenang Hadiah Nobel, ternyata beruung jasa kepada
editornya. Sebuah novel sastra Amerika Serikat yang laris,
Catch22, judulnya diberikan oleh penyunting naskah dan bukannya
oleh Joseph Heller, si pengarang.
Novel La Rose
Meskipun begitu, tak semua penerbit memiliki penyunting
naskah--terutama sejumlah penerbit kecil. "Jangankan menggaji
seorang editor, membayar honorarium pengarangnya pun terkadang
seret," tutur seorang penyunting naskah buku yang pernah
berurusan dengan penerbit yang tak memiliki penyunting naskah.
Dan juga, tak semua penerbit, atau penyunting naskah,
mempertahankan kualitas buku yang bakal diterbitkannya.
Misalnya, penerbit Cypress. Novel Ditelan Kenyataan karya La
Rose, umpamanya, merupakan novel yang praktis ditulis kembali
sama sekali oleh Elanda Rosi--pemimpin redaksi yang juga
bertindak selaku penyunting naskah--di kantor Cypress. I api toh
beberapa buku yang dikeluarkan penerbit itu diloloskan tanpa
sentuhan penyunting.
Itu bila pengarangnya memang keberatan disunting, sementara
naskah tersebut diperkirakan akan laris. Tapi apa sih,
sebetulnya, persyaratan untuk menjadi seorang penyunting
naskah buku? Armyn dari BPK Gunung Mulia itu hanya menyebut.
"Barangkali ia harus orang yang suka membaca buku dan kritis.
Saya sendiri, 'kan penulis cerita anak-anak."
Mungkin, kecuali harus paham soal ketatabahasaan dan
menguasai bidang ilmu yang diperlukan, selera yang selalu
terjaga juga perlu dimiliki seorang editor. Michael di Capua,
salah seorang penyunting naskah buku terkenal di Amerika
Serikat, menceritakan cara kerjanya dia baca naskah itu
berkali-kali. Kalau tak ada yang membosankan, hingga dia bisa
membacanya terus tanpa berhenti, naskah itu dianggapnya siap
dicetak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo