Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuan Wokodjo Milik Kita Semua
Beri Hanna
I
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana awal mulanya—secara singkat:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita bicarakan kisah Tuan Wokodjo yang awalnya seorang bajingan dan berakhir mengerikan.
Dulu, pada satu senja, di Sorlo, di tepi laut Atrakaru, terempas kapal yang awalnya dipimpin oleh Kapten Sturt Piljk. Kapten sendiri bunuh diri dalam perjalanan dan jasadnya—dalam bentuk tulang tak utuh—ditemukan mengambang pada tahun-tahun berikutnya.
Kapten yang sebetulnya memiliki niat lain—yang belum diketahui siapa pun, termasuk kantor angkatan laut—putus asa sebab perjalanan itu terasa sangat mustahil. Ia terlalu cepat menemukan akhir dari perjalanan, terutama akhir itu didorong kuat oleh kambuhnya penyakit tulang punggung yang tak tertahankan. Pada saat kekacauan menggugat keputusan demi keputusan dalam kepalanya berujung berantakan, bahkan sebelum seorang teman mendapat kesempatan untuk membisikinya; bahwa tindakan bunuh diri adalah sebuah dosa yang dapat menjerumuskannya ke neraka. Tapi Kapten tak pernah kenal kata neraka.
“Sakit tulangnya takkan pernah sembuh, sekalipun ia mati begini,” kata seorang yang menemukan Kapten dalam keadaan mampus.
“Tuhan, setidaknya ringankan penyakitnya, meskipun dia pergi meninggalkan beban kepada kami yang tak tahu ke arah mana mestinya kapal ini berlayar!”
Di kapal yang tak pernah terelakkan cuaca buruk serta badai; dalam suasana upacara kematian yang tak diinginkan; semua orang seperti pohon yang begitu keras; tak bisa berbuat sesuatu yang dapat menyelamatkan diri mereka sendiri. Keselamatan adalah tindakan kedua, sebuah kemustahilan seperti harapan melaksanakan upacara kematian hingga selesai. Tak ada tanda-tanda bagi mereka akan menemukan semenit ketenangan sejak kapal itu berangkat, hingga hilang kendali. Begitulah yang diungkapkan bagi mereka yang selamat terempas di Atrakaru, namun segera disandera oleh pasukan Tuan Wokodjo.
“Saya tahu kalian penyusup. Kalian orang-orang yang tidak pernah berdoa. Berlayar dan berharap mendapat kenikmatan yang lebih! Omong kosong! Siapa yang memimpin di sini?” tanya Tuan Wokodjo sambil membentak.
Seseorang menjawab bahwa pemimpin mereka telah mati di laut. “Baru saja dia bunuh diri. Saya kira baru saja karena saya tidak ingin mengenang perjalanan itu sebagaimana dengan keadaannya yang mengerikan dan berlarut-larut.”
Tuan Wokodjo menarik wajahnya dan segera memerintah agar kapal yang telah rusak itu diperiksa hingga tak menyisakan sedikit pun yang patut dicurigai. Pada masa berkuasanya Tuan Wokodjo, semua orang mendengar dan mengikutinya. Baik dan buruk perintahnya, tak ada yang pernah berani membantah. Semua patuh, meskipun orang-orang tahu, Tuan Wokodjo banyak menipu, merampas, serta membunuh siapa pun, tak terkecuali orang yang setia kepadanya.
Latar belakang Tuan Wokodjo tak pernah diketahui secara lengkap. Ia datang pada suatu waktu dan membunuh penguasa Sorlo, lalu menjadi penguasa dan semua tunduk kepadanya.
Para sandera kapal inilah yang mengubah nasib Tuan Wokodjo sekaligus menyebabkan perpecahan. Suasana langit penuh api dan suara ledakan, begitu panjang hingga tak pernah terlupakan.
II
Bagaimana itu terjadi:
Pada saat penggeledahan kapal, Jorg, seorang yang dipercaya Tuan seumur hidupnya, tidak sengaja menemukan selebaran yang berisi tawaran sejumlah uang untuk kepala Tuan Wokodjo. Ia kaget dan gelisah seperti terbakar dari dalam. Berkali-kali ia meyakinkan bahwa ilustrasi dari selebaran itu bukanlah potongan wajah Tuan. Namun apa yang telah dilihatnya tak berubah sedikit pun, bahkan sekadar kerja ilusi. Ia sebetulnya tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang tumbuh dan tak dikehendaki, tetapi dengan kemantapan dan suasana yang kebetulan lebih memojokkan para sandera, ia dapat melangkah ke arah Tuan dan melaporkan tak ada satu pun yang mencurigakan di dalam kapal brengsek itu.
“Kecuali peti kosong, Tuan,” kata Jorg.
“Peti kosong! Baiklah. Sekarang, apa yang kita butuhkan?” tanya Tuan.
Semua terdiam.
“Kalau begitu. Saya tadinya berpikir ingin membangun sesuatu. Tetapi, melihat kondisi mereka yang lebih pantas mati daripada dipekerjakan, lebih baik umumkan kepada semua orang besok akan ada hiburan pemenggalan!”
Para sandera itu kemudian diseret dan tak sedikit pun melawan. Dari tepi pantai menuju lapangan terbuka dalam keadaan terikat serta kehausan. Mereka seperti tak sanggup berpikir, bahkan untuk kejadian yang baru saja terjadi. Orang-orang yang melihat kekejian terhadap para tawanan hanya membisu.
Beberapa dari mereka berbisik, “Seharusnya mereka dipenggal hari ini.” Sementara yang lain mengatakan memang seharusnya besok atau justru lusa. Mereka menginginkan penyiksaan sebagai jeda atas siksaan yang berlaku bagi diri mereka. Bahkan seorang laki-laki tua yang separuh umurnya tersiksa atas perlakuan Tuan Wokodjo berpikir cepat setelah menyaksikan peristiwa itu dan segera memberanikan diri untuk menemui Tuan.
“Maaf, bukankah lebih baik pemenggalan mereka dilakukan lusa?”
“Kenapa Anda berpikir begitu?” tanya Tuan.
“Saya suka penyiksaan. Saya ingin melihat mereka tersiksa.”
Tuan tampak berpikir, kemudian berkata, apakah itu tulus dari hati atau hanya siasat untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan seperti hari-hari sebelum ada tawanan? Laki-laki tua itu menjawab, ia ikhlas selama disiksa, namun hanya saja ia benar-benar ingin melihat bagaimana penyiksaan bekerja kepada orang lain.
Tuan segera tertawa. Ia terhibur oleh pengakuan laki-laki tua ini. Sementara Jorg tidak tertawa. Ia seperti sedikit berbeda. Tak seorang yang tahu bahwa ia masih menyimpan selebaran. Ia sejak tadi berpikir, siapa sesungguhnya Tuan Wokodjo dan mengapa ia serta semua orang tunduk kepadanya. Ia benar-benar memantapkan pilihannya, apakah memang seharusnya ia selalu begini. Apakah ia pantas menerima tawaran itu dan bagaimana nanti ia dapat membawa kepala itu? Ia tak memiliki kapal, bahkan kapal tawanan itu telah hancur dan seperti tidak mungkin dapat berlayar dengan sempurna.
“Jorg, kenapa Anda tidak tertawa? Laki-laki tua ini sangat lucu!”
“Sepertinya saya tidak enak badan, Tuan.”
“Oh. Mendadak tidak enak badan? Kalau begitu, istirahat saja karena besok kau yang akan bertugas menjadi penghibur semua orang!”
Jorg mengangguk dengan wajah yang tegang. Sebetulnya ia tak pandai menyembunyikan sesuatu. Tetapi kali ini Tuan dapat dikelabui. Sedangkan laki-laki tua itu diperintahkan untuk berdiri di hadapan para tawanan selama mereka menunggu ajalnya tiba, esok hari.
“Pak Tua, saya tidak mungkin mengawasi Anda dengan kedua mata saya. Tetapi Anda pasti tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi jika Anda tidak mengikuti perintah saya.”
“Baik, Tuan. Saya akan berdiri di sana hingga Tuan memerintahkan saya untuk duduk!”
Begitulah laki-laki tua ini menyesal dan menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Malam hari berlalu dan matahari begitu cepat datang. Kebanyakan orang sudah berdiri menunggu Tuan keluar dari kamarnya. Laki-laki tua itu benar-benar tidak menyandarkan tubuhnya. Meskipun ia terlihat susah payah berdiri dan berkali-kali ingin roboh. Saat ramai penantian dan hiruk-pikuk mulai tak bisa diatur, Jorg muncul dan menyilakan Pak Tua untuk duduk.
“Tidak, kecuali itu perintah Tuan Wokodjo,” katanya.
“Tuan Wokodjo milik kita semua,” ucap Jorg. “Duduklah,” lanjutnya. Kemudian ia berjalan mendekati para tawanan dan menatap mereka yang hampir mampus.
“Bisakah kalian berbicara? Nama saya Jorg.... Sungguh prihatin. Bagaimana kita memulai semua ini?”
Mereka tak menjawab.
Jorg melihat sekeliling dan beberapa orang mendekatinya hendak menarik para tawanan ke tempat pemenggalan. Namun Jorg segera mencegah mereka.
“Sekarang dengarkan, saya ingin mulai semua ini dari mendoakan Kapten mereka!”
Semua orang terkejut mendengar apa yang dikatakan Jorg. Mereka bertanya mengapa dan Jorg menjawab ia hanya ingin mendoakan Kapten mereka.
“Di mana Tuan Wokodjo? Mengapa ia belum keluar dari kamar, Jorg?”
“Tuan Wokodjo milik kita semua.”
“Apa artinya perkataan Anda itu?”
“Maksud saya, Tuan Wokodjo milik kita semua. Ya.”
Orang-orang tidak mengerti apa yang terjadi. Namun mereka susah mengelak ketika Jorg mulai berdoa. Tak terkecuali Pak Tua yang sepertinya sudah ingin pingsan.
Setelah berdoa, Jorg meminta orang-orang untuk menggendong para tawanan menuju tepi laut. Mereka menuruti apa yang dikatakan. Kini mereka beriringan dalam kebingungan. Tak ada yang bertanya lagi meskipun mereka ingin sekali bertanya. Setiba di pinggir pantai, Jorg meminta tawanan dan orang-orang bekerja sama memperbaiki kapal yang telah hancur itu.
“Jorg, Anda berniat memulangkan mereka?”
“Tidak. Bukan begitu maksud saya!”
“Terus, apa yang Anda rencanakan?”
Jorg tidak menjawab dan meminta mereka cepat mengerjakan perbaikan. Di tengah-tengah bekerja, seseorang mendekat dan berbisik kepada Jorg. “Ke mana Tuan Wokodjo?” dan Jorg menjawab bahwa Tuan Wokodjo milik kita semua.
Diiringi senyum tipis ketika sore, bekerja sama dalam memperbaiki kapal bukanlah hal sulit. Para tawanan yang hampir tak tertolong diberi makan dan minum untuk kembali bekerja hingga mereka sadar, bahwa hampir saja jasad mereka disoraki dalam hiburan pemenggalan. Mereka bersyukur kemudian bekerja dengan lebih cepat hingga kapal itu benar-benar dapat berlayar kembali.
“Sekarang saya ingin kalian mengantar saya ke rumah Kapten kalian!”
Para tawanan itu terdiam dan heran atas permintaan Jorg. Namun tak pernah ada pengkhianatan yang sempurna sebagaimana kejahatan. Seseorang yang terlalu menaruh curiga terhadap sikap Jorg mengendap-endap ke rumah Tuan dan menemukan sebuah selebaran yang mengejutkan.
Ketika kapal itu telah berlayar, seseorang tampak berlari dari kejauhan sambil berteriak dan menembaki senjata ke langit. Semua orang, yang menggigil karena melihat keanehan Jorg ikut berlayar dengan kapal sambil memeluk peti, melihat ke arah suara. Begitu cepat mereka semua tersulut dan ikut berteriak-teriak sambil menceburkan diri ke laut, mengejar kapal.
________________________________________________________________________
MAKLUMAT
Para penulis bisa mengirim cerpen dan puisi untuk Tempo lewat e-mail: [email protected] dan cc: [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13 ribu karakter. Kiriman puisi minimal lima judul. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium mana pun, termasuk media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, dan nomor rekening. Karya yang dikirim lebih dari enam pekan otomatis tidak diterbitkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo