Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sebuah Pameran di Bedeng Sampah Plastik Cigondewah

Perupa Tisna Sanjaya menggelar pameran lukisan di tempat sampah Cigondewah. Pameran ini  untuk menyadarkan masyarakat di wilayah kumuh itu melalui proyek seni lingkungan.

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SILUET tubuh berwarna itu sepintas seperti tengah berpose dalam posisi berdiri atau duduk. Namun, sejatinya, karya cetak tubuh perupa Tisna Sanjaya itu dibuat dalam posisi rebah atau meringkuk di atas kanvas. Seri cetak tubuh terbaru Tisna di masa pandemi itu dibuat bersama angin, hujan, sinar matahari, debu, dan material lain. Proses penyatuannya dari hasil penjemuran kanvas berukuran 2 x 2 meter di atas pohon selama lima bulan, sejak Mei hingga September 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada kanvas lain, Tisna membentuk gunung, pohon kelapa menjulang, matahari, awan, dan pohon lagi yang pendek dan rindang serta sungai. Serial karya berjudul New Mooi Indie itu bergaya lukisan atau gambar anak-anak tentang panorama indah negeri ini. Bernuansa cerah, warna-warninya berasal dari taburan potongan pelet biji plastik. Bahan itu Tisna dapatkan dari pabrik pengolahan sampah plastik milik kenalannya di Cigondewah, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya-karya Tisna itu tersaji dalam pameran yang dia gelar bersama Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi di Cigondewah, 17 Agustus-17 Oktober 2021. Pameran untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia itu digelar di tiga titik lokasi di sekitar Jalan Batu Rengat, Cigondewah.

Tisna menyilakan galeri Imah Budaya (IBU) Cigondewah yang dibangunnya sebagai ruang pameran karya kelompok seniman SOS. Perupa berusia 63 tahun itu sengaja menarik para seniman dari sanggar tersebut yang kesehariannya berkegiatan di tengah kota untuk berpameran di pinggiran kota. “Seniman harus bangun dan melihat realitas sosial di sisi kota yang lain,” kata Tisna, yang juga dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung.

Lukisan karya seniman Tisna Sanjaya di galeri leuit plastik Cigondewah, Bandung, Jawa Barat, 18 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Sementara karya kelompok seniman SOS tampil di dalam galeri IBU, Tisna memilih memajang karya-karyanya di luar. Di seberang jalan raya persis di muka galeri IBU, dia memajang lima lukisan lamanya di dalam bedeng pemilahan sampah plastik. Berjarak belasan meter dari situ, lukisan lain berderet di dalam sebuah bedeng yang lebih besar.

Gudang bekas lumbung padi itu konstruksinya dibuat dari bambu. Ketika Tempo ke sana, Senin, 23 Agustus lalu, tiga pemuda sedang memilah limbah kain atau majun di pintu masuk. Sebagian limbah sedang dijemur terhampar di tanah, sebagian lagi menggunduk di lantai dalam. Limbah kain itu dibeli dari pabrik di sekitar Bandung.

Menempel pada dinding dari susunan bilah kayu berlapis terpal, lukisan Tisna ada yang mudah terlihat di dalam gudang. Namun tumpukan karung limbah kain setinggi satu-dua meter di beberapa sudut gudang menghalangi sebagian karyanya yang lain, bahkan sampai menutup habis. Misalnya pada tiga lukisan besar yang dominan berwarna hitam dari bahan abu berjudul Vox Populi Vox Dei buatan 2016.

Akses pengunjung di dalam gudang limbah majun itu juga terbatas. Kaki hanya bisa melangkah paling jauh sekitar 7 meter di jalan setapak. Jalur itu berada di bagian tengah gudang yang berukuran 7 x 30 meter. Area selebihnya penuh tumpukan karung. Kondisi itu ikut membatasi penglihatan. Jarak pandang ke lukisan paling dekat 1 meter.

Strategi pameran Tisna kali ini ingin mengusik beberapa pihak, paling tidak pengunjung dan pekerja atau pemilik bedeng pengolahan limbah daur ulang. Pengunjung tidak leluasa mengapresiasi lukisannya, sementara pekerja di sekitarnya sibuk memilah sampah. “Tujuannya untuk membuat orang berpikir,” tutur Tisna.

Sejak 2000-an, Cigondewah terkenal sebagai sentra kain. Pada 2006, Wali Kota Bandung Dada Rosada meresmikannya sebagai kawasan tekstil. Gapuranya memuat keterangan tempat itu sebagai kawasan wisata belanja kain. Di belakang pusat perdagangan itu atau ke arah selatan, berdiri pabrik-pabrik tekstil.

Tisna ikut merasakan perubahan yang terjadi di pinggiran barat Kota Bandung itu. Semasa kecil, ibunya suka mengajak dia ke rumah kakek dan neneknya di Cigondewah. Saat itu, dari ruang tamu rumah kakeknya, Tisna bebas menikmati hamparan sawah dan pepohonan rindang. Ia juga mengingat air sungainya yang jernih ikut menumbuhkan hamparan sawah. Saking luas persawahannya, daerah itu dulu dikenal sebagai Blok Sawah.

Namun pertumbuhan industrialisasi di daerah itu mengoyak keindahan Cigondewah. Kemunculan aneka pabrik membuat sungai, udara, dan tanah tercemar, pun seni dan budaya warga lokal memudar. Kondisi Cigondewah yang tidak seindah dulu dan terasa gersang itu membuat Tisna gelisah. Ia terketuk hatinya. Tisna pun tergerak untuk mendampingi dan memunculkan kesadaran berbagai pihak di wilayah kumuh itu. “Bahwa perubahan yang terjadi segalanya tidak harus seperti ini,” tuturnya.

Kegelisahan Tisna terhadap berbagai masalah itu lalu dia tuangkan menjadi proyek seni “Pusat Kebudayaan Cigondewah” untuk pemberdayaan masyarakat melalui seni lingkungan. Ia memaknainya seni sebagai media penyadaran bagi diri dan masyarakat soal keberadaan alam.

Tisna menyebutkan, langkahnya itu terinspirasi dari beberapa proyek seni yang telah dibuat seniman lain, seperti upaya pasangan seniman Christo-Jean Claude lewat karya Surrounded Islands pada 1983.

Mereka menutupi 11 pulau di Teluk Miami Biscayne dengan 603.850 meter persegi kain polipropilen berwarna merah muda yang mengambang di laut selama 2 minggu. Aksi itu juga ikut mengenyahkan sekitar 40 ton sampah temuan hingga kepulauan tersebut terjaga bersih sampai sekarang dan menjadi situs wisata pulau seni kontemporer. Lalu ada pula seniman Joshua Allen Harris dengan karya seni instalasi Garbage Bag Sculpture dan Romo Mangunwijaya dengan Komunitas Kali Code Yogyakarta.

Karya seniman Sanggar Olah seni dan Tisna Sanjaya di galeri IBU Cigondewah, Bandung, Jawa Barat, 18 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Tisna menjadikan Imah Budaya Cigondewah sebagai semacam induk yang menaungi gagasan dan keresahannya. Dimulai pada Oktober 2009, ia merancang bangunan utama seukuran 8 x 12 meter. Fungsinya sebagai studio, galeri, ruang diskusi, dan ruang pertunjukan. Tidak hanya untuk kalangan seniman, ini terutama ditujukan bagi warga sekitar untuk berkreativitas seni, budaya, berlatih pencak silat, pengajian, dan sunatan.

Adapun bangunan kedua yang terpisah di bagian belakang berukuran 3 x 9 meter untuk ruang tidur, dapur, dan kamar mandi. Setelah rampung pada Februari 2010, pekarangan sekelilingnya ditanami pepohonan seperti gayam, sukun, jambu batu, dan mangga, yang kini telah rindang.

Menurut Tisna, lahan seluas 520 meter persegi tempat berdirinya Imah Budaya itu dulunya bekas pembuangan dan penjemuran sampah plastik. Kebetulan pemilik lahannya, Antonius Sunaryo, adalah seorang kolektor lukisan, sehingga Tisna bisa membelinya dengan cara membarter delapan lukisan. Nominal harganya Rp 8 juta per meter persegi di lembar sertifikat tanah.

Tahap awal pembangunan Imah Budaya Cigondewah dimulai dengan membersihkan lahan dari sampah plastik, kain perca, sampah buangan sisa industri, dan bekas pembakaran sampah. Tisna berharap setelah tanahnya bebas dari sampah anorganik utamanya plastik, pepohonan akan tumbuh subur di sekitar rumah.

Tisna kemudian menjadikan pergumulannya dengan Cigondewah itu sebagai bahan disertasinya untuk meraih gelar doktor penciptaan karya seni dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 2011.

Pada tahun itu juga Tisna mengusung seni instalasi tentang masalah Cigondewah lengkap dengan 3 ton sampahnya di galeri Universitas Nasional Singapura. Upayanya di Cigondewah itu mendapat penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020 untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu.

Kini, setelah berjalan sekitar satu dekade, Tisna masih menyimpan harapan di Cigondewah. Rencananya, dia akan menggaet warga sekitar untuk mengelola IBU Cigondewah lengkap dengan agenda kegiatan seni dan budaya.

Selama ini, selain dari rekan seniman, komunitas, para mahasiswa di kampusnya ikut membantu kegiatan riset dan edukasi ke warga, juga beberapa lembaga budaya dan pendidikan. “Ini karena kecintaan pada tanah dan bumi, meskipun kini telah tercemar plastik,” ujar Tisna Sanjaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus