Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Wajah Aceh, Wajah Sendiri

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tonny Trimarsanto sedang berjalan-jalan seraya memutar otak mencari orang yang tepat memerankan salah satu tokoh dalam Serambi. Kemudian, sutradara film buatan Christine Hakim Film itu mendengar suara seseorang menyanyikan lagu Aceh. Lalu, bertemulah Tonny dengan Jailani, si pemilik suara yang juga penari saudati. Lelaki cerewet dan banyak tawa itu—meskipun dia kehilangan keluarga dan kelompok tarinya—akhirnya menjadi salah satu tokoh dalam Serambi.

Viva Westi, juga sutradara Serambi, yang mengaku kurang persiapan dan riset tentang Aceh, bisa lega ketika pada akhirnya menemukan Maisarah Utari. Kisah Tari, yang kehilangan orang tua sekaligus melihat air bah datang menggulung rumahnya, dinilai cocok mewakili anak-anak Aceh korban tsunami. Dan Tari sangat bersemangat menjadi bintang film. Dia dengan kenes menelepon beberapa temannya untuk diajak serta syuting. Tari juga menikmati kenal dengan ”orang-orang Jakarta”. Dia ngerumpi dengan teman-temannya, memutuskan siapa yang paling tampan di antara para kru Serambi.

Pemain Serambi memang dipilih dari orang-orang biasa yang membawakan cerita mereka masing-masing. Selain itu, para tokoh dalam Serambi juga mewakili perbedaan generasi di Aceh, dan di Indonesia. Tari, anak usia sekolah dasar yang patah tulang di kaki, sejatinya ingin menjadi penari. Sedangkan Reza Indria, pemuda pemberontak, penyair dan kutu buku, sebenarnya juga tetap punya sisi anak muda. Dia mengungkapkan kekaguman pada seorang pemain perempuan yang juga penari. Sedangkan Usman Abdullah dan Jailani mewakili penduduk Aceh tak berpendidikan tinggi yang ingin ”sekadar” hidup damai. Mereka semua korban. Tapi, selama pembuatan film, nyaris tak tampak ekspresi kesedihan, apalagi uraian air mata.

Mereka tidak perlu mahir seni peran. Mereka cukup memerankan diri sendiri dan membagi cerita kepada dunia. Sutradara ”cukup” mengarahkan, ”Oi..., jangan lihat kamera,” atau ”Azahari, naik ke motor.”

Ya, mencari orang-orang biasa agar masuk dalam cerita adalah tantangan. Yang jelas, harus ada film dokumenter tentang tsunami dari sudut pandang orang Aceh. ”Karena begitu banyak pihak asing yang membuat film tentang tsunami,” kata produser Serambi, Christine Hakim. Dan Serambi harus dibawa hingga ke pentas dunia. Nama-nama besar di baliknya pun memperjuangkan film dokumenter fiksi layar lebar Indonesia yang pertama ini, hingga ke Festival Cannes.

Serambi, yang dibuat di Banda Aceh dan Meulaboh dua bulan setelah tsunami itu, menawarkan sesuatu yang berarti. Pembuatan film ini telah mempertemukan kru film—umumnya non-Aceh dan asing —dengan orang-orang biasa Aceh korban tsunami. Lebih jauh, film ini juga diharapkan mendekatkan Aceh dengan Indonesia, juga dunia.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus