Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Wanita, di mata pria (barat)

Pengarang: arief budiman jakarta: gramedia, 1981. resensi oleh: marianne katoppo. (bk)

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL Oleh Arief Budiman Penerbit: Gramedia 1981, 56 halaman KESAN pertama (apalagi melihat gambar kulit): titik pandang Budiman sangat diwarnai kebudayaan Barat. Khususnya Atlantika Utara. Dan kesan ini tambah kuat bila membaca buku kecil yang dibagi atas 6 pasal ini. Sesudah alinea terima kasih kepada beberapa orang wanita--yang agaknya semua orang asing, ditilik dari namanya--dan kepada Clifford Geertz, Budiman turut menyebut "istri saya, Leila, yang juga telah menjadi korban dari suatu sistem masyarakat yang memberi peran yang tidak menguntungkan bagi wanita." Tanpa mempersoalkan lebih luas sejauh mana peran seorang Leila Budiman "tidak menguntungkan" dibanding seorang wanita Barat dalam posisi yang sama, pertanyaan yang timbul: Apakah Budiman mendambakan pembebasan wanita menurut pola Amerika Serikat? Tribuana & Sultanah Gambaran yang diberikan sematamata gambaran masyarakat serta wanita Barat. Budiman membuat ssveeping statements: "Dalam masyarakat masa kini seperti halnya masyarakat Indonesia, kehidupan wanita berputar di sekitar kehidupan rumah tangga. Tujuan wanita seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Sesudah menikah, hampir seluruh kehidupan wanita dilewatkan di dalam rumah tangga." (hal. 5). Itu mungkin benar bagi masyarakat industri seperti AS--dan itu pun hanya bagi kelas menengah. Kenyataan di Indonesia sangat berbeda: pada semua jalur, kita berjumpa dengan wanita yang aktif di luar rumah tangga: wanita di pasar, penjual jamu, pembantu, pekerja pabrik, ibu guru, sekretaris, wanita karir. Indonesia masih 80% agraris, dan seluruh keluarga biasanya menjadi satu unit kerja tidak dipolarisasikan pada: pria = produksi, wanita = repro duksi. Selanjutnya, Indonesia mengenal wanita seperti Tribuanatunggaldewi dan Siti Aisyah We Tenriolle, Sultanah Safiatuddin dan Malahayati. Jadi amat bervisi pendek untuk menyatakan secara global (hal. 3): "Pembagian kerja secara seksual sudah berlangsung selama ribuan tahun." Lalu berusaha melalui berbagai teori (nature, nurture, psikoanalisa, fungsionalis, dan lain-lain) "menyadarkan" wanita Indonesia--tanpa memperhatikan perbedaan prinsipal yang ada antara masyarakat yang menelurkan teori tersebut dan kita. Kalaupun ditambahkan kata arat pada judul, menjadi: Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembabasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat Barat, buku ini masih tetap banyak kekurangannya. Misalnya, saya merasa kehilangan beberapa nama. Pertama: Mary Wollstonecraft. Pada halaman 6, Budiman mengutip John Stuart Mills, filsuf Inggris, yang dalam esei The Subjection of Women (1869) mengemukakan hal-hal yang hakekatnya sudah dicetuskan Mary dalam tulisannya A Vindication of the Rights of Women 77 tahun sebelumnya (1792), ialah: " . . . Apa yang disebut sebagai sifat kewanitaan adalah hasil pemupukan masyarakat melalui suatu sistem pendidikan . . . usaha-usaha untuk membedakan kedua golongan manusia (wanita dan pria) dalam peranan sosial mereka, merupakan suatu tindakan politik yang direncanakan." Apakah kealpaan Budiman ini menunjuk pada kecenderungan untuk membiarkan laki-laki berbicara tentang perempuan, yang sendiri takkan sanggup sampai ke jenjang hikmat? Saya juga kehilangan nama-nama Johann Jakob Bachofen, yang tulisannya Das Mutterrecht (1861) merupakan suatu breakthrough dalam penelitian serta pemikiran mengenai peran wanita dan August Bebel, Die Frau und der Sozialismus (edisi ke-25, 1895), yang mencatat betapa terperangkapnya wanita dalam masyarakat borjuis dengan moral bergandanya. Iri Pada Lelaki Pada halaman 10, Budiman menyebut teori yang barangkali paling dikenal dalam gugus teori nature . . . teori Sigmund Freud, atau teori psikoanalisa. Konsep penis envy, yang tak perlu banyak komentar dalam kebudayaan kita, yang mengenal "lingga Syiwa di atas voni". (Orang yang membangun Candi Borobudur 1000 tahun lalu, agaknya sudah lebih maju dari Freud dalam persepsi seksualistas manusia!). Dan konsep orgasme vaginal sebagai konsep kedewasaan wanita (hal. 15), yang telah dibuktikan tidak benar sama sekali oleh pasangan Masters & Johnson. Masihkah teori psikoanalisa seperti itu dianggap sah, sedang teori Freud dalam banyak bidang sudah runtuh? Lengkapkah tanpa menyebut teori Jung, mengenai animus dan anima? Pemaparan data terlalu sepihak. Pada hal. 12, Erich Fromm disebut "sebagai salah seorang pengikut Freud dalam aliran psikoanalistis ini"--tanpa memaparkan kritik Fromm yang sangat tajam pada Freud: "Freud berasumsi bahwa wanita iri pada kelamin lelaki, tanpa memperhitungkan kemungkinan -- sesuai dengan titik pandangnya yang patriarkhal--bahwa pria iri pada kesanggupan wanita melahirkan anak." ("Sex and Character" The Dogma of Christ, Fawcet Books 973 hal. 116). Jadi pengikut yang punya pendapat sendiri, bukan saja "agak berlainan". Salah satu akar persoalan penindasan wanita ialah ini: wanita selalu tahu bahwa anaknya adalah buah kandungannya, sedang pria selalu meragukan kebapaannya. Tulisan ini juga kurang sistematis. Teori-teori disajikan tanpa perkembangan argumen yang jelas, dan kadang malah kontradiktif. Hal. 25: " . . . banyak studi antropologi pada saat ini telah membuktikan bahwa tidak ada tanda-tanda adanya suatu masyarakat di mana wanita berkuasa dan memegang tampuk pemerintahan tertinggi". (Ilustrasi di sampingnya ialah adegan dari zaman Firaun Mesir--yang umumnya dianggap suatu zaman yang menguntungkan bagi kedudukan wanita!). Selanjutnya: "Sistem matriarkhal tidak pernah terbukti ada dalam sejarah . . . paling-paling hanya matrilinial." Padahal pada hal. 30: "Ernestine Friedl, seorang ahli antropologi . . . beranggapan bahwa di masyarakat primitif, wanita lebih penting dari laki-laki." Tentu definisi matriarkhat bisa dipersoalkan di sini. Agaknya Budiman menganut pendapat bahwa matriarkhat adalah patriarkhat dieja dengan huruf m karena yang dipersoalkannya ialah kuasa, sedang sudah sejak Bachofen dicatat bahwa ciri utama matriatkhat ialah kesejabteraan manusia ia bersifat egaliter, bukan otoriter. Dalam Tbe Anatomy of Hzman Destructiveness, Erich Fromm mengemukakan contoh Catal Huyuk (dinamakannya matricentric) dari zaman Neolithis, yang rupanya tidak mengenal penjarahan (sack) atau pembantaian (massacre) ataupun pembunuhan dengan kekerasan (violent deatb) selama 800 tahun keberadaannya Budiman kurang peka terhadap sumber-sumber di kawasan Asia dan tanah air sendiri--dan membuat asumsi-asumsi yang seakan memproyeksikan keadaan di Barat ke masyarakat kita. Hal. 28: "Pada saat ini, di mana pekerjaan rumah tangga sudah banyak diambil alih oleh masyarakat (misalnya orang bisa berlangganan makanan dari luar, orang bisa mengirim anak ke tempat penitipan anak-anak)," bukan menunjukkan keadaan yang lazim di Indonesia. Juga hal. 22: " . . . sepanjang sejarah laki-laki tidak pernah berhenti melakukan poligami . . . " agak sulit dipadukan dengan kisah Draupadi dan para Pandawa. Saya melihat buku ini sebagai salah satu contoh imposisi kebudayaan Amerika Serikat ke kebudayaan kita. Semua sumber kepustakaan (pun Engels dan Freud) diterbitkan di Amerika Utara. Diuraikan Dari Lelaki Sesungguhnya saya tidak dapat melihat bagaimana teori-teori yang disajikan dapat diterapkan ke masyarakat kita. Bila Arief Budirlan memaksudkan "rangsangan", maka arahnya menyimpang. Kiblatnya salah. Ketimbang Millett dan Friedan, mengapa tidak mulai dengan T.O. Ihromi dan Melly Tan? Daripada teori abstrak dan serebral khas Barat, mengapa bukan metode induktif? Apa artinya ucapan Shulamith Firestone, "kita ada pada taraf Patriarki dalam realitas seksual" (hal. 45)--dalam suatu masyarakat yang antara lain mengenal ungkapan "surga di bawah telapak kaki ibu", dan "keluarga ibu adalah Dibata si idah (Allah yang nampak)"? Dalam pasal penutup, Budiman mengatakan: "Kita di Indonesia perlu memikirkan masalah ini secara sungguh-sungguh. Keperluan bahwa wanita Indonesia dibebaskan dari belenggunya bukanlah sekedar keperluan moral belaka, tapi (demi) menciptakan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera di masa depan." Bagus, tetapi tidak pada tempatnya sesudah 50 halaman teori Barat, tanpa sekali pun mengutik pembagian kerja di Indonesia. Satu hal yang menyolok ialah ini: Budiman tak pernah menggunakan kata perempuan (dari empu, yaitu "ibu, atau tuan, raja, pujangga"). Tanpa membuat klaim yang terlampau jauh, kita dapat menunjuk pada kata perempuan itu, sebagai salah satu indikator peran wanita dalam alam kebudayaan kita. Agaknva Arief Budiman terlalu berpegangan pada kata Inggris woman (dari wyf-man, "manusia betina"), suatu kata yang diuraikan dari man (manusia/laki-laki). Dalam struktur pemikiran seperti itu, wanita senantiasa akan merupakan sesuatu yang diuraikan dari laki-laki. Marianne Katoppo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus