Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Wayang di Jogja Dikemas Video Mapping, Fadli Zon: Seni Budaya Perlu Adaptasi

Pertunjukan ini menampilkan cerita wayang yang penyuguhannya dilakukan bersama antara wayang orang, wayang golek, wayang kulit, dan musik kreasi.

26 November 2024 | 11.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menggelar Pekan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Indonesia Intangible Cultural Heritage (ICH) Festival 2024 yang di Benteng Vredeburg Yogyakarta, 23-28 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pembukaan festival yang dihadiri Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo pada Sabtu, 23 November 2024, ada satu yang mencuri perhatian. Yakni pertunjukan kolaborasi wayang yang dipadukan dengan new media, video mapping atau seni cahaya.

Kolaborasi Pertunjukan Wayang

Pertunjukan ini menampilkan cerita wayang yang penyuguhannya dilakukan bersama antara wayang orang, wayang golek, wayang kulit, dan musik kreasi lengkap dengan gamelan. Hadirnya permainan cahaya dari video mapping membuat pertunjukan ini tampak memukau dan berbeda dari pertunjukkan wayang biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atraksi wayang berpadu video mapping yang mengambil spot di pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret komplek Vredeburg itu pun menarik ribuan pengunjung. Terutama yang menyaksikan dari kawasan Titik Nol Kilometer. Sebab permainan cahaya yang diarahkan ke Monumen Serangan Umum tampak sangat indah penuh warna.

“Video mapping yang dikombinasikan cerita wayang, ada musiknya dan digelar singkat ini sangat menarik, penonton disuguhi hal baru dan bisa langsung tahu isi ceritanya ,” kata Fadli Zon di sela acara.

Fadli menuturkan, untuk membuat anak muda mencintai seni budaya di era digital ini memang jadi tantangan tersendiri. Menurutnya perlu ada unsur adaptasi untuk mengkoneksikan apa yang menjadi trend anak muda dengan seni budaya tradisi yang dipandang cenderung hanya untuk kalangan generasi tua.

"Adaptasi jadi kunci upaya untuk melestarikan kebudayaan, terutama bagaimana menarik Gen Z," ujar dia menambahkan, "Kolaborasi wayang dan video mapping seperti ini bisa jadi langkah awal menarik minat generasi muda masuk." 

Dari kolaborasi yang ada itu ada atraksi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, dan video mapping dengan cerita tentang lakon Dewa Ruci yang bisa diselesaikan dalam kurang dari 1 jam. “Ada koreografi yang menarik, ada musik, komposisi komposernya juga ada di situ. Jadi inovasi-inovasi semacam itu menurut saya bisa menarik Gen Z dan kaum muda,” kata Fadli.

Tetap Sesuai Pakem dan Nilai Tradisi Budaya

Meski memadukan seni tradisional dengan unsur digital, Fadli menyebut kolaborasi wayang dengan video mapping tetap menghadirkan pertunjukan yang sesuai pakem dan nilai-nilai tradisi seni budaya. “Jadi fungsinya menurut saya adalah kita harus beradaptasi tapi juga harus menjaga, melestarikan yang ada, yang menjadi klasik pakem," ujarnya. 

Fadli menuturkan, "Kita tetap harus ada inovasi dan adaptasi baru, ada sentuhan-sentuhan digital mungkin sampai AI (artificial intelligence) nantinya sebagai perkembangan tuntutan zaman kita.” 

Adapun lakon kisah Mahabharata yang dipentaskan tersebut yakni berjudul ‘Sang Dewa Ruci’ yang berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri. Pertunjukan wayang tersebut disutradarai oleh pelaku dan pegiat budaya, Anter Asmorotedjo. Sementara video mapping disajikan oleh Raphael Donny feat Argo Visual, lighting oleh Eko Sultan, dan pemusik oleh Y.Subowo.

Kisah ini mengambil tokoh utama Brotosena atau Bima, salah satu ksatria Pandawa. Dikisahkan Bima ditugaskan gurunya untuk mencari air kehidupan yang bisa membuatnya mencapai kesempuranaan hidup. Meski perintah ini merupakan muslihat untuk memusnahkan Brotosena agar tak ikut perang Bharatayuda.

Pertunjukkan wayang yang dikolaborasikan dengan seni cahaya atau video mapping di Benteng Vredeburg Yogyakarta. TEMPO/Pribadi Wicaksono

Kolaborasi Tradisi dan Modern

Lakon dibuka dengan pagelaran wayang kulit di sisi utara panggung Monumen Serangan Umum 1 Maret oleh Dalang Muhammad Yusuf. Barulah setelah itu lighting yang megah dipadukan video mapping membuat seluruh Monumen berubah drastis. Penonton kemudian larut dalam visual yang memanjakan mata dan terbawa dalam arus cerita.

Pertunjukan ini pun juga semakin kaya budaya karena hadirnya pementasan Wayang Golek oleh Dalang Rendi Ratnanto yang ceritanya diselaraskan dengan wayang kulit dan wayang orang. Kolaborasi tradisi dan modern itu juga mampu membuat adegan semakin hidup. Penonton kalangan muda tampak bisa mengikuti alur cerita yang biasanya dipentaskan bisa sampai samalam suntuk.

Fadli mengatakan ICH Festival secara khusus ditujukan sebagai upaya pengenalan 13 WBTB Indonesia yang telah diinskripsi oleh UNESCO. Salah satunya kesenian wayang Indonesia.

Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha mengatakan, perpaduan kisah pewayangan dengan teknologi itu dapat menciptakan pertunjukan yang menghibur semua kalangan. “Penonton dibuat terpukau dengan visual yang memikat dan narasi yang relevan," kata dia.

Giring menyebut kisah pewayangan adalah warisan budaya yang kaya akan nilai filosofi, moral, dan kebijaksanaan yang tetap relevan sepanjang zaman. “Dalam era teknologi seperti sekarang, peluang besar terbuka bagi dalang, penari, dan pemain musik untuk menghidupkan kembali kisah-kisah legendaris ini melalui inovasi digital dan seni pertunjukan,” kata dia.

Indonesia Intangible Cultural Heritage

ICH Festival diselenggarakan selama sepekan mulaai 23-28 November 2024 di Museum Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta. Pertunjukan dan pameran menjadi kegiatan utama yang dibuka untuk umum secara gratis. 

Selain itu ada pula kegiatan seminar dan workshop di mana Kementerian Budaya melibatkan pegiat budaya, akademisi, pelajar, hingga komunitas internasional. Salah satu kegiatannya adalah workshop Batik di atas topeng.

Selama sepekan, ICH Festival juga akan menghadirkan berbagai suguhan pertunjukam seni budaya. Mulai dari penampilan tari kreasi anak, band Musik Tradisi Modern seperti Sri Rejeki dan Slamet Man feat Sinden legendaris Anik Sunyahni, sampai Dagelan Yogyakarta oleh Kirun, Marwoto, dan Yati Pesek.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus