Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Wayang Suket Indonesia berpentas di Salihara.
Menyajikan pertunjukan wayang tanpa pakem.
Bandung Bondowoso mengangkat isu gender.
Memakai layar seukuran 1 x 1,5 meter, pertunjukan wayang dihelat di studio Komunitas Salihara, Kamis lalu, 2 Maret 2023. Layar tersebut dibingkai dengan potongan kayu hingga menyerupai sebuah televisi jika dilihat dari depan.
Namun bukan wayang kulit yang dipertontonkan pada malam itu, melainkan wayang suket atau wayang rumput. Sesuai dengan namanya, wayang suket terbuat dari rumput kering yang dianyam menyerupai wayang kulit. Pertunjukan wayang suket ini dipentaskan oleh Wayang Suket Indonesia.
Lazimnya dalam pementasan wayang, puluhan penonton dipersilakan duduk tanpa kursi alias lesehan. Selama 60 menit, kelompok itu menyuguhkan kisah Bandung Bondowoso, cerita rakyat nan klasik tentang terbentuknya Candi Prambanan.
Namun cerita dan cara pementasan Wayang Suket Indonesia berbeda. Pertunjukan dibuka dengan penampilan sepasang penari. Keduanya memainkan gerak khas tari Jawa yang halus. Mereka membawa wayang suket setinggi lebih dari satu meter saat tampil.
Selepas penampilan penari, Gaga Rizky, sutradara sekaligus dalang, mulai menceritakan lakon Bandung Bondowoso. Alih-alih mementaskan dengan pakem khas wayang kulit, Gaga memilih bercerita dengan ringan dan jenaka.
Bahkan, pria berusia 32 tahun itu menyelipkan bahasa modern dan kerap digunakan anak muda, seperti "ya guys ya", "slow", dan "unboxing". Hasilnya, tawa renyah penonton menggema di tempat pertunjukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wayang Suket Indonesia membawakan legenda Bandung Bondowoso di Salihara, Jakarta, 3 Maret 2023. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Gaga juga berakrobat dengan memasukkan tokoh Bagong, salah seorang personel Punakawan dalam babad Mahabharata. Bagong tiba-tiba masuk ketika adegan Bandung Bondowoso sedang merayu Roro Jonggrang untuk dijadikan permaisuri. Walhasil, adegan yang semula serius berubah menjadi dagelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ceritanya, Bagong kebingungan mencari saudaranya, Petruk. Memakai suara Bandung Bondowoso, Gaga menyebut Bagong salah alamat karena wayang yang dimainkan adalah wayang suket, bukan wayang kulit.
Bukan tanpa sebab Gaga menyelundupkan tokoh Bagong dalam lakon asal-usul Candi Prambanan yang ia pentaskan. "Kami ingin tunjukkan ke penonton bahwa wayang di Indonesia bukan cuma wayang kulit. Sebab, orang tahunya wayang itu, ya, wayang kulit," kata pendiri Komunitas Wayang Suket Indonesia ini.
Gaga dan kawan-kawan membawakan cerita agak berbeda dari kisah lazim Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Ia lebih menonjolkan perspektif Bandung Bondowoso, seperti saat memimpin pasukan Kerajaan Pengging menaklukkan Kerajaan Boko sampai membunuh Raja dan Ratu Boko, yang merupakan orang tua Roro Jonggrang. Gaga juga menyoroti sikap pantang menyerah Bandung Bondowoso dalam meluluhkan hati Roro Jonggrang. Termasuk menyanggupi syarat seribu candi dan dua mata air yang dibangun di Desa Prambanan.
Bahkan, ketika Roro Jonggrang dan pembantunya sukses mengusir pasukan dedemit berkat tipuan nyala api dan kokok ayam jantan, Bandung Bondowoso tetap berusaha sendirian menyelesaikan bangunan candi. Ia mengangkat satu per satu batu besar yang disusun menjadi candi. Bandung Bondowoso juga digambarkan sangat menyesal telah mengutuk pujaan hatinya menjadi batu arca. "Jadi, kami memberikan opsi Bandung Bondowoso itu seperti ini. Dia mungkin baik dan Roro Jonggrang yang bitchy (judes dan menyebalkan)," kata Gaga.
Gaga dan Wayang Suket Indonesia rupanya menjadikan lakon Bandung Bondowoso sebagai sarana diskusi tentang isu gender. Menurut Gaga, selama ini perempuan kerap dianggap selalu benar dan, sebaliknya, kaum laki-laki selalu saja salah. "Jadi, jangan langsung menghakimi, perlu melihat fakta sampai jelas," kata dia.
Pentas Bandung Bondowoso di Salihara, Jakarta, 3 Maret 2023. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Hal yang menarik dalam pentas Wayang Suket Indonesia, mereka berusaha menghadirkan pengalaman setara menonton pertunjukan empat dimensi alias 4D. Sekitar tiga personel Wayang Suket Indonesia duduk di belakang penonton. Mereka ikut berteriak memberikan efek suara, dari jeritan dan celotehan jenaka para dedemit sampai menirukan ayam jantan yang berkokok. Mereka juga melemparkan potongan kelopak bunga ke arah penonton saat adegan tertentu. Wangi khas kembang setaman seketika menusuk hidung penonton sesaat setelah potongan kelopak bunga itu ditebarkan.
Selain itu, komposisi tiga instrumen musik gitar, kentrung, dan gendang semakin menghidupkan lakon Bandung Bondowoso. Tak hanya jadi musik pengiring, beberapa lagu dengan lirik sederhana dinyanyikan untuk menggambarkan situasi dan gerak wayang suket.
Selepas pementasan, Wayang Suket Indonesia mempersilakan penonton menengok situasi di belakang layar. Rupanya, mereka menggunakan overhead projector (OHP) untuk pementasan Bandung Bondowoso. Gaga memainkan wayang-wayangnya di atas meja OHP. Cara ini cukup unik. Berbeda dengan wayang kulit, dalang memainkan langsung wayang-wayangnya di balik layar yang tersorot lampu.
Gaga juga menggunakan lembar plastik transparan dan kotak kaca berisi air untuk menimbulkan bermacam efek visual. Menurut dia, sebuah pertunjukan seni tak harus menggunakan peralatan mahal nan canggih seperti proyektor LED atau peralatan penunjang visual lainnya. "Penggunaan peralatan jadul pun bisa menghasilkan karya keren jika dikerjakan dengan kreativitas tinggi," kata Gaga.
Menurut Gaga, butuh waktu tiga bulan untuk menyiapkan lakon itu. Kesulitan terjadi pada bulan pertama ketika Gaga dan kawan-kawan mencari cara untuk menggambarkan sosok Bandung Bondowoso dari sudut berbeda. Namun wayang suket yang tak memiliki pakem seperti wayang kulit membuat Gaga dan kawan-kawan leluasa mengeksplorasi gagasan baru. "Menurut kami, budaya itu bergerak dan berkembang. Bisa jadi yang kamu lakukan ini akan jadi pakem pada 20-25 tahun mendatang."
Pentas Wayang Suket Indonesia di Salihara, Jakarta, 3 Maret 2023. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Wayang Suket Indonesia didirikan Gaga pada 2018 di Surakarta. Komunitas ini lahir dari kekhawatiran punahnya wayang suket karena semakin ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Tersemat mimpi besar mereka untuk mempopulerkan wayang ini. Setidaknya, mereka berharap masyarakat paham bahwa kesenian wayang bukan sekadar wayang kulit.
Putri, 25 tahun, salah seorang penonton pada hari itu, mengaku terhibur. Pentas Wayang Suket Indonesia setidaknya bisa membuka wawasannya bahwa bukan cuma wayang kulit dan wayang golek yang ada di Indonesia. Menurut Putri, "Sebuah keputusan yang baik mengenalkan wayang suket dengan cara yang kreatif. Tentu cara ini mudah diterima bagi anak muda."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo