Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FAY Godwin tak jadi ke Indonesia. Dalam usia 58 tahun, kesehatannya sering terganggu. Ibu rumah tangga yang namanya kemudian berkibar sebagai fotograf tersohor di Inggris dan daratan Eropa ini mestinya mengiringi 44 fotonya. "Biarlah karyanya yang berbicara," kata Lynne Mendelsohn, penanggung jawab kesenian dan perpustakaan British Council di Jakarta. Pamerannya berlangsung di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogya (22-26 Mei) dan di Bentara Budaya Jakarta mulai Selasa pekan ini. Sebelumnya, deretan karya foto Fay Godwin itu disinggahkan antara lain di Swedia, Jerman, Prancis, Malaysia, dan RRC. Usai dari Indonesia ke Hungaria. Barangkali sengaja, atau entah "kebetulan", pamerannya bertepatan dengan peringatan 150 tahun penemuan fotografi. Yakni, kerja yang dirintis orang Prancis, Louis Daguerre (1839), dan pada tahun yang sama oleh William Henry Fox Talbot dari Inggris. Foto Fay Godwin kemari atas kerja sama British Council, Kowani, majalah Femina, Asosiasi Indonesia-Inggris, ISI, dan British Airways. Bersyukurlah publik foto di sini -- apakah ia penggemar atau kalangan profesional yang ingin melihat perbandingan bisa melihat karya-karya istimewa dari Inris itu. Justru karena seluruhnya tampil dalam hitam putih. Sebab, kalangan fotograf profesional beranggapan bahwa karya hitam putih "lebih bisa menghadirkan nuansa gambar secara lebih jujur". Dan sekarang, kecenderungan kembali ke hitam putih sudah endemik, menyebar di mana-mana. Subyek foto Fay Godwin nyaris seluruhnya pemandangan alam -- subyek yang lazimnya diakrabi pelukis. Dalam karya Fay, lanskap atau pemandangan, direkam secara langsung melalui mata kamera besar atau panoramic. Eseis Ian Jeffrey, yang menulis pandangannya dalam katalogus pameran, antara lain mengatakan, "Gambar-gambarnya bagaikan hasil kerja seorang surveyor, padat dengan pengukuran dan penilaian tentang jarak, yang mengesankan karya artis topografis." Lebih dari itu adalah, "Romantik, menghadirkan mimpi dan khayal pada pemandangan alam." Sebagai fotografer, pada awal kariernya, Fay Godwin tidak bisa lepas dari kondisi zamannya. Yakni, situasi 1970-an di Inggris ketika penyair berkisah mengenai keindahan alam dan pemandangan sehari-hari. Dan ini jelas bisa melunturkan pendapat sebagian senirupawan yang pernah mencibir bahwa fotografi adalah "seni mati" hanya sekadar tepat merekam gambar di depan kamera. Kekuatan fotografi bukan terletak pada rekaman yang tersimpan dalam negatif, tapi justru pada yang tidak terekam. Yang absen. Yaitu masa sebelumnya dan masa yang akan datang. Fotografi itu hanya merekam sepersekian detik dari gerak kehidupan. Tapi daripadanya lahir pertanyaan tentang "yang absen" itu, yang merupakan semacam benang merah dalam jiwa sebuah foto. Dan pertanyaan yang boleh melahirkan pelbagai interpretasi ini memperkaya "seni foto", sebagai "seni" yang tidak sekadar memberikan jawaban pas bandrol. Dan Fay Godwin di jalur itu. Gambar-gambarnya mengusik kita, lalu mempertanyakan yang luput di dalamnya. Seperti Chimney and Ferns, Lamb Valley 1977, tentang cerobong asap tenggelam ditelan hutan. Interpretasi atas gambar itu boleh begini: Revolusi industri Inggris telah terkubur. Dan kalaupun sekarang ada gerakan ekonomi yang lebih galak, sebagai ekornya, namun bentuknya sudah lain. Dalam foto lain, Eastern Dock, Dover 1981, dan Flooded Tree, Derwentwater 1981, malah muncul puisi cahaya. Fay Godwin lahir 1931 dari keluarga seorang diplomat Inggris yang waktu itu bertugas di Berlin. Ia belajar fotografi sejak 1966, sebagai hobi. Pada 1978, Fay mendapat biaya dari Arts Council of Great Britain untuk memotret Kepulauan Inggris. Lalu 1982 membuat dokumentasi gedung-gedung bersejarah atas prakarsa National Trust (Lembaga Pelestarian Kebudayaan). Sementara itu, karya-karyanya hadir di Anthony Stokes Gallery dan di Victoria and Albert Museum, London, serta masuk koleksi Bibliotheque Nationale, Paris. Biaya yang dikeluarkan Rp 30 juta untuk menopang pameran ini memang layak. Apalagi kalau diingat bahwa Fay Godwin sudah menghasilkan buku, Remains of Elmet (1979) dan The Saxon Shore Way (1983). Untuk kedua bukunya itu ia bekerja sama dengan dua tokoh terkenal di Inggris: Penyair Ted Hughes dan Penulis Alan Sillitoe. Hanya sayang, pameran di ISI Yogya itu rupanya kurang menyedot pengunjung.Mohamad Cholid dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo