Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas gardu listrik itu tak lagi indah. Coretan grafiti dan tempelan kertas reklame membuat tembok bangunan itu kumuh meski warna gambar burung menatap sangkar masih cerah. Di atasnya jelas tertulis ”Captive heart, fly free”. Tiga tahun lalu, mural karya Carolyn Rayder Cooley dan Arya Panjalu itu dikerjakan Apotik Komik Yogyakarta bersama Clarion Alley Mural Project San Francisco.
Proyek Mural Kota ”Sama-sama/You are welcome” 2002 itu mengawali ramainya seni rupa mural di Yogya. Sebelumnya, Apotik Komik menggarap proyek Mural Kota 2002 di empat kawasan: jembatan layang Lempuyangan, Jalan Perwakilan, Jalan Beskalan, dan Jalan Prof Dr Yohanes Sagan.
Proyek itu mendapat respons baik dari Wali Kota Yogya, Herry Zudianto. Dia memberi izin, bahkan sering datang sekadar untuk membawakan makanan atau minuman saat para perupa sedang berkarya. Tak salah, memang, bila Herry berharap banyak. Dia ingin dinding-dinding kota yang kotor menjadi enak dipandang.
Sebagaimana keinginan Samuel Indratma, tokoh mural dari Apotik Komik, Yogya kini sudah menjadi bagian dari kota-kota mural dunia. Maraknya mural memacu kreativitas masyarakat. Bukan hanya tembok yang dilukis. Mural ada pada kios-kios di pinggir jalan, rumah makan, sekolah, gedung bioskop, jalan aspal di Ireda, bak sampah, juga pot-pot bunga pinggir jalan.
Bak galeri lukisan, mural-mural itu bertebaran, di antaranya di Jalan Suryonegaran, Jalan Gadjah Mada, Jalan Munggur, Jalan Ki Mangunsarkoro, Kotabaru, Kampung Badran, Kampung Demangan, SD Kota Gede, SMU Negeri 9, SMP Negeri 5, Bioskop Permata di Jalan Sultan Agung, Jalan Sosrowijayan, tembok di belakang Pakualaman.
Tidak semua pembuatan mural dilakukan atas proyek pemerintah kota. Masyarakat biasa menggambari tembok-tembok bersama teman-teman satu kelompok. Di Kampung Badran, misalnya. Kampung yang selama ini dikenal sebagai kampung hitam ini ternyata mampu mengekspresikan rasa seninya. Mereka menggambari dinding rumah dan jembatan dengan bahan seadanya.
Berbeda dengan yang dilakukan Tommy Wiyono, warga di Jalan Kantil, Baciro. Dia melukis tembok pagar rumahnya sepanjang 15 meter dengan bunga tulip warna-warni dan kincir angin. Samuel menyambut baik kreativitas itu karena sesuai dengan konsep awal Apotik Komik. ”Saya ingin nantinya masyarakat bisa memanfaatkan sendiri ruang publiknya,” tuturnya.
Tumbuhnya minat masyarakat itu menjadikan wajah Yogya semarak penuh warna. Namun, belakangan, setelah warna catnya pudar dan banyak mural yang tumpang tindih dengan grafiti, timbul kesan kotor dan kumuh. ”Kalau sudah begini jadi jelek,” tutur Suparman, pengemudi becak yang sering mangkal di Kotabaru.
Tampaknya pemerintah kota belum siap dengan kegairahan ini. Mestinya Dinas Tata Kota mempunyai konsep yang jelas, mana ruang publik yang bisa dimural, termasuk memikirkan perawatannya. ”Sekarang Yogya sudah penuh sampah mural karena tidak dirawat dan banyak yang ngawur dengan bahan seadanya,” tutur seniman Hendro Suseno.
Hendro mengatakan, mural tidak asal gambar. Lukisan di luar ruang rentan terhadap cuaca. Jadi, bahan yang digunakan juga harus memenuhi standar. Lihat saja mural-mural yang digarap serius, meski sudah bertahun-tahun, warnanya masih bertahan. Yang penting lagi, menyadarkan masyarakat agar tidak mencorat-coret lukisan-lukisan dinding itu.
Terakhir, proyek mural dikerjakan pemerintah kota bersama Universitas Negeri Yogyakarta di Jalan Gejayan. Tempat ini sebelumnya digunakan untuk warung tenda pedagang kaki lima yang memakan seluruh trotoar. Sekarang pejalan kaki bisa bebas dan aman berjalan di kawasan itu sambil memandangi lukisan. Tapi bagaimana wajahmu dua tiga tahun ke depan? Pemerintah kota tentu sudah memikirkan jalan keluarnya.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo