Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIADA hal yang pasti dan adil di dunia ini selain kematian. Semua makhluk bernyawa di planet ini pasti merasakan takdir Tuhan itu. Ia tidak pernah membedakan derajat dan tabiat manusia. Semua mendapat bagian dan selalu sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Tidak ada negosiasi, apalagi mencoba menyuap malaikat pencabut nyawa agar mengulur waktu barang sedetik pun.
Banyak hikmah yang bisa dipetik dari kematian seseorang. Termasuk wafatnya sejumlah tokoh Indonesia sepanjang tahun 2001 yang baru kita lewati. Ada penegak hukum sederhana yang kebal suap, seniman, ekonom pejuang, pendidik, sampai seorang tentara reformis. Inilah sebagian dari potret mereka.
Baharuddin Lopa
AWAL Juni 2001 silam, secercah harapan hukum akan ditegakkan muncul dalam benak banyak orang. Hari itu Baharuddin Lopa resmi diangkat menjadi Jaksa Agung, posisi tertinggi bagi penegak hukum. Tidak berlebihan jika harapan itu ditumpukan pada putra Mandar, Sulawesi Selatan, kelahiran 27 Agustus 1935 itu. Integritas dan kesederhaan, syarat utama menjadi penegak hukum yang baik, seolah sudah built-in di tubuh Lopa.
Sewaktu menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 1982-1986, Lopa menolak hadir di Hotel Golden, Makassar, kendati Presiden Soeharto datang ke tempat itu. "Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik," begitu alasan Lopa. Rupanya, Tony Gazal, pemilik hotel, saat itu sedang diperiksa pihak kejaksaan untuk urusan korupsi.
Beberapa hari setelah menjadi Jaksa Agung, Lopa memperingatkan para jaksa untuk tidak menerima, apalagi meminta sesuatu, dari tersangka. Ucapan yang klise, memang. Namun, tidak ada yang berani mencemooh imbauan itu. Para jaksa tahu, guru besar hukum Universitas Hasanuddin itu adalah teladan yang pas untuk urusan integritas. Para pengak hukum itu juga melihat betapa jujur dan sederhana hidup bos mereka itu.
Jika mau, hidup kaya dan foya-foya bukan hal sulit bagi Lopa. Berbagai jabatan "basah" pernah disandangnya. Menjadi kepala kejaksaan tinggi di lima provinsi—Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan Ternate—dan Menteri Kehakiman dan HAM. Ia memilih tetap tinggal di rumah sederhana di Pondokbambu, Jakarta Timur, yang ia peroleh dengan cara mencicil selama bertahun-tahun.
Sayang, kegembiraan para pencari hukum tak bertahan lama. Ketika melaksanakan umrah di Tanah Suci Mekah, 3 Juli 2001, Baharuddin Lopa berpulang ke haribaan-Nya. Teladan itu wafat saat hukum masih carut-marut di negeri yang pernah menempati urutan keempat sebagai negara terkorup di dunia ini.
Sumitro Djojohadikusumo
SAAT Republik Indonesia masih berusia balita, pria kelahiran Kebumen, 29 Mei 1917, itu sudah berkiprah untuk negara. Salah satunya, menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 1949. Sebuah agenda penting yang ikut menentukan nasib negara ini.
Pada usia relatif muda, Sumitro sudah menjadi Menteri Keuangan, pada kabinet Wilopo tahun 1952, dan Burhanudin Harahap tahun 1955. Ia dikenal kuat memegang prinsip, dan lantaran itu pula tokoh Partai Sosialis Indonesia itu memilih bergabung dengan gerakan PRRI dan Permesta pada tahun 1956.
Ketika Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan tahun 1968, Sumitro dipanggil untuk menjadi Menteri Perdagangan. Lulusan Nederlandse Economiche Hogeschool, Belanda, itu disebut-sebut sebagai salah satu arsitek ekonomi Orde Baru.
Di usia tuanya, putra sulung Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI, itu masih aktif menyumbangkan gagasannya saat negara ini diterpa krisis ekonomi. "Mungkin saya tidak bisa menyaksikan negara ini bangkit lagi," katanya kepada TEMPO, Mei 2000. Benar saja, Sumitro wafat pada 8 Maret 2001, saat negara ini masih terpuruk. Tubuh 83 tahunnya tidak kuat lagi melawan penyakit jantung yang menyerangnya. Dengan upacara sederhana, Pak Cum, begitu ia akrab disapa, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Bivak, Jakarta.
Agus Wirahadikusumah
SETELAH draf sebuah buku kumpulan doa dirampungkannya, Tuhan memanggilnya. Meninggalnya Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah, 30 Agustus silam, mengejutkan banyak orang. Selain masih muda, 49 tahun, sebelumnya tidak terdengar lulusan Akabri tahun 1973 itu sakit. Menurut Tri Rachmaningsih, istrinya, usai salat subuh, tiba-tiba Agus mengeluh sakit. Namun, dalam perjalanan ke rumah sakit, AWK—panggilan akrabnya—mengembuskan napas terakhirnya.
"Saya masih sulit menerima kenyataan ini," kata Tri Rachmaningsih. Tidak hanya istri dan dua anaknya, TNI—tepatnya, sebagian personel tentara—juga merasa kehilangan. AWK adalah sedikit dari banyak tentara yang berani menggugat posisi TNI dalam kancah politik—sikap yang membuatnya terpental dari jabatan Panglima Kostrad.
Saat tentara lain diam soal dwifungsi ABRI, ia berani menyatakan ketidaksetujuannya. Pernyataan itu dilontarkan di hadapan mahasiswa Indonesia di Boston, tahun 1991. Ketika itu Soeharto masih berkuasa dan Agus berpangkat letnan kolonel.
Di mata Agus, menjadikan TNI sebuah organisasi yang transparan dan akuntabel tidak sekadar slogan belaka. Tidak sampai empat bulan duduk di kursi Panglima Kostrad, AWK mengaudit berbagai usaha yang bernaung di bawah institusi itu. Aksi itu dilanjutkan dengan mengumumkan kepada publik: di yayasan di institusi yang dipimpinnya terjadi penyelewengan. Tidak salah jika julukan tentara reformasi disematkan di pundaknya.
Dayan Dawood
KONFLIK bersenjata di Aceh terus meminta korban jiwa. Dan ketika Kamis 6 September siang itu Rektor Universitas Syiah Kuala, Dayan Dawood, meregang nyawa karena tembakan orang-orang yang tidak dikenal, Aceh masuk ke bagian sejarahnya yang muram. Peluru tak cuma membunuh orang-orang yang saling berhadapan di medan perang, tapi juga mereka yang mencoba memberi pencerahan dari abad kegelapan Tanah Rencong itu di ruang-ruang perkuliahan.
Dayan barangkali adalah sebuah ironi dalam pergolakan Aceh. Pria kelahiran Banda Aceh 55 tahun lalu ini menentang cara-cara kekerasan, tapi dihabisi di jalan yang dihindarinya itu. Doktor perdagangan internasional dari Universitas Hawaii, AS, ini juga menolak berpihak kepada Jakarta atau GAM, tapi justru karena itu tak ada pihak yang mengaku sebagai penembaknya.
Cita-cita ayah tiga anak laki-laki ini pun sebenarnya sederhana saja, ingin merentangkan jembatan antara dua dunia: Indonesia dan Aceh. Dia sangat mencintai Aceh, meskipun kadang menyesalkan tradisi pembangkangannya. Dayan juga menginginkan Aceh menjadi manikam yang bersinar dalam untaian Nusantara, walau sekaligus membenci pembangunan model Orde Baru.
Herbert Feith
BERITA kematiannya pada Kamis, 15 November, di Melbourne mengagetkan banyak orang Indonesia. Di usianya yang 70 tahun, Indonesianis itu tertabrak kereta api ketika sedang mengendarai sepedanya.
Herbert Feith sesungguhnya sudah lama berhenti mengikuti perkembangan politik Indonesia. Ia terakhir kali menulis tentang Indonesia ketika Soeharto naik takhta. Namun, hingga Soeharto jatuh 32 tahun kemudian, Herb tetap diakui sebagai salah satu Indonesianis yang paling mengerti Indonesia.
Ini tentu bukan karena seringnya ia datang ke Indonesia untuk mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tapi bagaimana sejak awal ia memang mengamati bangkitnya politik dan demokrasi di Indonesia. Herb muda adalah saksi sejarah pemilu multipartai pertama di Indonesia pada 1955. Saat itu, ia adalah staf Volunteer Graduate Scheme for Indonesia. Observasinya di lapangan saat itu menghasilkan karya yang menjadi referensi: Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Keindonesiaannya makin mengental ketika ia menyelesaikan disertasinya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, untuk meraih gelar doktor politiknya di Universitas Cornell, AS, pada 1961. Disertasi ini lantas menjadi karya legendarisnya yang kedua dan menjadi kitab suci bagi mereka yang ingin mempelajari pemikiran dan aliran politik di Indonesia.
R. Maladi
BILA ada keping uang dengan satu paruh menampilkan otot dan paruh lainnya bermata hati, keping itu pastilah bernama Maladi. Dua dunia itu bisa dirangkul Maladi dengan manis. Ia adalah pemain bola yang andal dan penulis langgam keroncong yang piawai. Mungkin banyak anak muda yang tak mengenalnya, karena Maladi menjadi penjaga gawang pada era 1930-1940-an, kemudian menjadi Ketua Umum PSSI yang ikut menggosok tim Indonesia hingga menjadi salah satu kesebelasan paling mengkilap di kawasan Asia pada akhir 1950-an.
Karena prestasinya itu, Presiden Sukarno menunjuk Maladi sebagai Menteri Olahraga pada 1962. Sejarah kemudian mencatat, pria kelahiran Solo ini adalah satu-satunya olahragawan yang pernah menjadi menteri dari sebuah kementerian olahraga yang independen. Dia pula yang kemudian ditugasi Bung Karno menggelar Asian Games 1962 dan Ganefo 1964 di Jakarta.
Tapi Maladi tak cuma otot. Ia juga sebuah hati. Dan di sisi itu, dari tangan bekas Menteri Penerangan Indonesia (1959-1962) ini lahir sejumlah komposisi keroncong langgam yang terus bertahan dan menjadi klasik. Ketika 30 April lalu Maladi meninggal pada usia 89 tahun, orang terus menyanyikan komposisinya seperti Rangkaian Melati, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Telaga Biru, atau Nyiur Hijau.
Teguh Karya
BAGI Teguh Karya, skenario cerita rupanya tidak sebatas dibuat untuk film. Prosesi penguburan dirinya pun rupanya sudah dibuat "skenario"-nya. Cerita pendek itu dirancang jauh sebelum penyakit lever dan paru-paru ganas menggerogoti tubuhnya, jauh sebelum ia terkena stroke dan akhirnya dipanggil Tuhan pada 11 Desember 2001.
Cerita itu memang tidak ditulisnya dalam kertas seperti biasa ia lakukan untuk membuat film. Namun, kepada Slamet Rahardjo, aktor yang juga anak didiknya, peraih seabrek Piala Citra itu menyampaikan pesannya. "Kalau aku tidak ada, jasadku tolong dikremasi saja. Abunya masukkan ke dalam guci dan semayamkan dalam sebuah lubang. Lalu, tuliskan "Di sini beristirahat Teguh Karya".
Dan semua sudah dipersiapkan dengan matang oleh pemilik nama asli Liem Tjoan Hok itu. Dari guci, tempat abu jenazah, sampai lubang berukuran satu meter dengan kedalaman 80 sentimeter di samping rumahnya.
Bagi Steve—begitu Teguh biasa disapa—kematian berarti datangnya kemenangan. Seperti ia memenangi Piala Citra sebagai sutradara terbaik, skenario prosesi menghadap Tuhan itu juga harus dibuat sebagus mungkin. Seperti ketika ia membuat film Cinta Pertama (1971), Ranjang Pengantin (1974), November 1928 (1979) dan Di Balik Kelambu (1983). Siapa tahu, di alam "sana" nanti Piala Citra dalam bentuk lain diperolehnya dari Tuhan.
Gusmiati Suid
DERAP-DERAP kaki pencak silat Pariaman di atas balai-balai bambu dengan ditingkah bunyi saluang, bansi, dan talempong yang rampak tak bakal terdengar lagi. Itu setelah Gusmiati Suid, si penari yang menjadi salah satu tonggak penting sejarah tari Indonesia, mengembuskan napas terakhirnya pada 28 September.
Ia lahir di Batusangkar, Sumatra Barat, pada 16 Agustus 1944. Setelah lulus dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang pada 1975, Gusmiati menjadi pengajar di almamaternya. Namun, mengikuti hasratnya untuk berkarya secara leluasa, ia memilih berhenti mengajar dan mendirikan sanggar sendiri yang dinamakan Gumarang Sakti, pada 1982, di kota kelahirannya. Belakangan, sanggar itu dipindahkannya ke Depok, Jawa Barat, tempat ia membangun rumah dan studio tari.
Dalam sanggarnya itu, Gusmiati membangun suatu sistem dan kelompok kerja yang kuat. Ia berprinsip, semua anggota berpeluang memberikan sumbangan ide. Dengan prinsip itulah ia bisa menghasilkan berbagai karya yang monumental seperti Kabar Burung, Api dalam Sekam (1998), Asa di Ujung Tanduk (1999), dan Menggantang Asap (2000).
Johan Budi S.P. dan Prasidono L.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo