Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Potongan Ingatan Tiga Perempuan

Tiga perempuan senimanĀ menuangkan ingatan masing-masing, seperti masa kanak-kanak, pengalaman sehari-hari, hingga humanisme dan kasih sayang.

10 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepingan memori masa kecil sangat kental pada lukisan karya-karya Yawara Oky Rahmawati. Pulasan warna-warna terang seolah-olah membawa pesan betapa polos ingatan seorang anak tentang hal-hal bahagia yang pernah mereka lalui. Karya-karya itu dapat disaksikan secara daring dalam pameran bertajuk “Fractal Memories”, yang digelar Art:1 New Museum pada 2-22 Agustus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yawara menyertakan sembilan karya dalam pameran yang digelar di platform Kunsmatrix pada tautan https://bit.ly/3jNQZrW itu. Karya-karya Yawara ini bercerita tentang gambar anak dan ingatan manusia dewasa. Ia menggunakan metode apropriasi untuk meminjam cara kerja serta visual gambar anak untuk dimaknai ulang dengan permasalahan hari ini.

Yawara membagi karya-karyanya dalam tiga narasi, yaitu khayalan seorang anak, momen berlibur, dan kebersamaan keluarga. Warna-warna kontras dan mencolok mendominasi pada karyanya. "Saya ingin menjadikan gambar anak itu menjadi penting untuk diapresiasi kembali, karena secara tersirat ada banyak pesan menarik yang tak terduga di dalamnya," ujar Yawara.

Bukan hanya Yawara, pameran “Fractal Memories” juga memamerkan karya Nana Tedja dan Ayu Arista Murti. Goresan obyek abstrak pada karya Nana membawa pesan yang pengejawantahannya dari hal sederhana dan berangkat dari kejadian sehari-hari. Misalnya pada karya berjudul Can't Take My Eyes from You berukuran 150 x 200 sentimeter. Ia mengambil subyek manusia dengan mata yang disorot segitiga seperti telinga sebagai corong.

"Artinya, ketika aku menghendaki atau menginginkan dan menyayangi seseorang, tak akan ada yang bisa menghentikan selain aku sendiri yang ingin berhenti," tutur Nana.

Pesan kuat juga terlihat dari karya Nana berjudul First Friday yang menunjukkan bahwa ia sangat percaya pada mukjizat Tuhan. Nana yakin, ketika ia rajin datang pada ibadah Jumat pertama di gereja, menghormati sakramen maha-kudus, ia akan selalu mendapat mukjizat besar dari Tuhan, yaitu kebahagiaan tidak terduga. Harapan pada Tuhan juga disampaikan lewat karya Nana berjudul Under White Christmas.

Sementara itu, Ayu Arista Murti lebih banyak mengangkat ihwal humanisme dan kasih sayang yang ditemui banyak orang pada keseharian. Secara spesifik, Ayu banyak bercerita tentang pertemuannya dengan orang yang terlupakan dan terpinggirkan. Cerita-cerita itu disampaikan Ayu menggunakan visualisasi abstrak dan eksplorasi teknik lainnya. Teknik dan penggunaan material ini merupakan bagian dari pencerapan dan pengungkapan rasa. "Di samping itu, karya ini merupakan pembebasan diri, juga bagian dari eksplorasi dan permainan dalam berkarya," ujar Ayu.

Ia mengeksplorasi lukisan sebagai media awal. Pada praktiknya, ia menggunakan batu dan air sebagai salah satu cara menuangkan rasa, suara, atau bermain. Ia menggunakan batu sebagai penyeimbang. “Sementara air saya gunakan untuk menyerap rasa, suara, dan doa. Lalu sinar matahari membantu menciptakan layer-layer dan konfigurasi yang sensitif.”

Pada eksplorasi selanjutnya, Ayu menggunakan media baru, yakni upcycle plastik yang ia kerjakan beberapa tahun terakhir. Upcycle plastik diolah secara pres maupun berupa jalinan. "Bentuk yang tidak beraturan menggelitik rasa kita, atau bisa dikatakan tactile, yang digabungkan dengan lelehan dan sapuan kuas pada bidang kanvas yang juga tidak teratur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya-karya ketiga perupa dalam pameran ini menawarkan respons berbeda tentang bagaimana seniman bereaksi terhadap ingatan fraktalnya masing-masing. Mereka mengambil cerita yang tersebar dari kehidupannya, lalu menangkap memori tersebut dan akhirnya mengubahnya menjadi bentuk baru yang berbeda.

Founder Art:1, Martha Gunawan, mengatakan pameran “Fractal Memories” merupakan simbol ketidakmenyerahan dalam berkarya meskipun dihadang pandemi. Menurut dia, platform pameran virtual diharapkan menjadi media alternatif untuk mengenalkan karya seniman. Ia berharap bisa terus melakukan kegiatan seni rupa melalui ruang virtual ini.

"Kemudahan mengakses pameran secara virtual menjadi upaya kami supaya tetap hadir di tengah pencinta seni rupa, bahkan menuju jangkauan yang lebih luas." ***

 

 LARISSA HUDA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus