Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Septian Firmansyah menghimpun penggemar drone dalam komunitas Sky Volunteer.
Mereka melakukan kegiatan kemanusiaan di berbagai lokasi bencana.
Komunitas ini kini punya unit usaha untuk membiayai kegiatan sosial.
Kabar gempa bermagnitudo 6,4 pada akhir Juni 2023 di Yogyakarta mengusik perhatian Septian Firmansyah dan rekan-rekannya di komunitas Sky Volunteer yang bernaung di Yayasan Synersia. Sambil memantau perkembangan situasi dampak lindu yang berasal dari laut selatan Jawa itu, mereka bersiap seandainya perlu untuk pergi menjalankan misi: menerbangkan drone untuk kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komunitas yang dibentuk Septian pada 2016 di Bandung dan Sumedang itu menghimpun para penggemar drone, yang juga menggunakannya sebagai alat kerja, untuk melakukan aksi sosial di lokasi bencana. Jumlah anggotanya kini sekitar 20 orang yang berusia 20-40 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kemampuan menerbangkan drone, mereka memetakan wilayah mana saja yang terkena dampak bencana dan memantau kondisinya dari angkasa, sambil dilakukan penyusuran lokasi oleh tim lain di darat. Ketika terjadi gempa Cianjur pada November 2022, komunitas ini terlibat aktif pada masa tanggap darurat hingga Maret lalu. “Terakhir melengkapi pemetaan sambil membagikan bantuan ke tempat pengungsian,” kata Septian, akhir Juni lalu.
Persiapan pemetaan udara menggunakan multirotor drone pasca-gempa Cianjur, April 2023. Dok. Sky Volunteer
Lulusan Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung 2009 itu tergerak mendirikan Sky Volunteer karena ingin berkontribusi dalam penanggulangan bencana. Saat masih menjadi mahasiswa, dia pertama kali menjadi relawan di Bengkulu saat terjadi gempa pada 2007. Di sana, Septian mengaku bingung soal sebaran bantuan dan tidak tahu di mana saja lokasi yang paling terkena dampak. “Saya terbayang ada teknologi yang bisa melihat itu dari atas.”
Wahana terbang kemudian menjadi pilihan topik untuk skripsinya. “Waktu itu bukan drone yang berkembang seperti sekarang,” ujarnya. Dia ikut memasukkan ide bahwa teknologi itu nantinya harus bisa digunakan untuk masalah kemanusiaan dan bencana. Drone kemudian baru dipakainya pada 2014 untuk kerja pembuatan dokumentasi.
Dua tahun kemudian, ketika pengguna drone merebak, Septian mengajak teman-temannya mengoptimalkan drone untuk isu kemanusiaan dan bencana lewat program Fly for Humanity. Alasannya, tidak semua orang bisa menjadi anggota tim pencari dan penyelamat (SAR) atau cukup kuat mengangkut barang di tim logistik. “Saya juga iri sama teman-teman dokter dan tenaga medis kalau turun ke lokasi bencana karena mereka bisa mendedikasikan ilmunya,” tutur Septian.
Komunitas ini kemudian menyampaikan gagasan pemetaan lokasi bencana dengan drone pada masa tanggap darurat bencana ke berbagai pihak, di antaranya peneliti gempa di ITB dan kepada teman yang punya perusahaan drone. Kiprah perdana mereka dimulai saat pergi ke Lombok sekitar sepekan setelah gempa pada 2018. Sebelumnya, tim yang berjumlah lima orang tersebut mengumpulkan informasi daerah mana saja yang akan dipetakan. “Serta menggalang dana dulu karena ongkosnya lumayan untuk ke sana.”
Menggunakan satu unit drone bersayap, tim komunitas memetakan lokasi bencana seluas 5.000 hektare dari ketinggian 300-500 meter. Kemudian agar hasil citranya bisa lebih rinci, standarnya diubah dari ketinggian drone sesuai dengan resolusi gambar yang dibutuhkan pengguna, seperti peneliti gempa serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Target resolusi citranya minimal 5 sentimeter per piksel. “Teknologi sekarang sudah bisa sampai 1 sentimeter per piksel. Tinggal diatur ketinggian atau kameranya diperbagus,” kata Septian.
Tim Sky Volunteer memantau proses pemetaan udara menggunakan multirotor drone untuk riset mitigasi tsunami di Teluk Penyu Cilacap, Mei 2023. Dok. Sky Volunteer
Dari Lombok, kegiatan serupa mereka lakukan di lokasi bencana gempa dan tanah longsor, seperti di Halmahera, Ambon, Mamuju, Sumedang, Sumba Timur, Bali, dan Cianjur. “Waktu gempa Palu, kami gagal berangkat karena enggak punya duit,” ujarnya. Sebelum menerbangkan drone di lokasi bencana, tim Komunitas Sky Volunteer wajib berkoordinasi dengan BNPB, Kementerian Perhubungan, AirNav, dan TNI Angkatan Udara yang mengatur lalu lintas terbang. Mereka wajib memastikan proses pemetaan tidak membahayakan, apalagi jika ada helikopter.
Selain itu, komunitas ini menjalin kerja sama dengan kelompok atau penerbang drone lain yang berasal dari lembaga pemerintah ataupun institusi swasta di lokasi bencana. Koordinasi lewat WhatsApp Group itu dibentuk sejak mereka terlibat sebagai relawan bencana letusan Gunung Semeru pada 4 Desember 2021. Dalam waktu singkat, grup bernama Fly for Semeru tersebut menjaring sekitar 20 relawan.
Tidak semua bertugas menerbangkan beberapa drone untuk pemetaan, tapi ada juga belasan relawan yang menjadi pengolah datanya. Menurut Septian, kerja sama antar-relawan drone penting untuk menghindari potensi tabrakan di angkasa, juga tumpang-tindih pemetaan. Mereka yang ingin memetakan daerah bencana diharapkan bergabung untuk mengetahui aturan dan pembagian area serta bersedia berbagi data.
Saat di lokasi gempa Cianjur, misalnya. Pada awalnya, mereka membuat area of interest atau AoI. Pada peta wilayah, mereka membuat garis kota-kotak yang mewakili luas 20-25 hektare per kotak. Luasan itu menyesuaikan daya jelajah drone ukuran kecil yang bisa terbang maksimal selama 15 menit. Adapun jumlah kotaknya, kata Septian, bisa ratusan hingga ribuan bergantung pada luas lokasi bencana. Setelah itu, AoI dibagikan lewat grup percakapan untuk dipilih masing-masing relawan komunitas atau institusi yang berjumlah sekitar 30 orang. Hasil pemetaan yang terkumpul mencapai 5.600 hektare.
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Udrekh, mengatakan, dengan tingkat resolusi rendah pun, hasil pemetaan udara dengan drone dalam waktu singkat dinilainya sudah bagus. Data citra dari drone kemudian disandingkan dengan gambar dari peta Google untuk dibandingkan dengan kondisi sebelum dan sesudah gempa. “Bisa terlihat mana saja yang hancur, kena tanah longsor sekian rumah. Jadi, bisa kita pergunakan untuk memberikan pertolongan,” katanya. Hasil pemetaan udara secara kolaboratif itu, menurut dia, sangat membantu penanggulangan setelah gempa.
Tim Sky Volunteer memantau proses pemetaan udara menggunakan multirotor drone untuk riset mitigasi tsunami di Teluk Penyu Cilacap, Mei 2023. Dok Sky Volunteer
Tidak selalu lancar, tim relawan drone harus siap menghadapi kendala cuaca, juga pengaturan jadwal terbang drone dengan helikopter. Adapun waktu terbang yang terbaik, menurut Septian, adalah pukul 07.00-11.00. Selewat tengah hari, jika cuaca dan situasi mendukung, bisa dilanjutkan pada pukul 14.00-17.00. Mereka bisa menganggur jika lalu-lalang helikopter tinggi atau ketika Presiden datang ke lokasi.
Cerita dukanya, drone yang digunakan pernah jatuh, hilang, kehujanan, ataupun gagal terbang. “Sukanya ketemu teman baru dan ada keinginan untuk berbagi yang bisa tersalurkan di lokasi bencana,” ujar Septian. Tantangan lainnya perihal waktu sebagian relawan drone yang masih terikat dengan pekerjaan di kantornya. Selain itu, soal biaya operasional bagi relawan selama bertugas yang belum bisa tertutupi dari penggalangan dana.
Solusinya, sekelompok anggota utama komunitas pada Maret 2021 mendirikan PT Loka Langit Nusantara. Usahanya menjual keahlian mereka, seperti menjadi konsultan kreatif untuk membuat video, desain grafis, dan proyek pemetaan wilayah. Hasilnya disisihkan untuk menjaga keberlanjutan Sky Volunteer. Sebagian hasil telah dipakai untuk membeli lima unit drone dan tiga set kamera.
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo