Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aplikasi RiTx Bertani karya Bayu Dwi Apri Nugroho dianugerahi penghargaan di Jerman.
Membantu petani mendapatkan informasi cuaca hingga waktu pemupukan.
Teknologi ini dikembangkan sejak 2010 dan berhasil meningkatkan hasil panen.
Bayu Dwi Apri Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar Hasil Panen Makin Maksimal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
----------------------------------------------------------------------------------------------
Ia berangkat dari kegelisahan petani. Data pada 1980-2010 menunjukkan banyak terjadi permasalahan dalam pertanian, seperti gagal panen atau puso dan penurunan produktivitas akibat dari ketidakpastian iklim. Berangkat dari data itu, Bayu Dwi Apri Nugroho menciptakan aplikasi RiTx Bertani. Alat yang dikembangkan sejak 2010 itu sudah banyak membantu petani di berbagai daerah untuk memaksimalkan hasil panen.
Sudah ada 22 kabupaten yang menjadi wilayah percontohan penerapan teknologi itu. “Penerapannya dilakukan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga seperti Bappenas, Kemenko Perekonomian, Kementan, Kominfo, Kemendesa, Bank Indonesia, BNI, BRI, dan beberapa industri swasta," kata Bayu kepada Tempo, Senin, 19 April 2021.
Baru-baru ini, dosen di Fakultas Teknologi pertanian UGM Yogyakarta itu diganjar gelar juara pertama kategori usaha rintisan atau start-up dalam ajang penghargaan industri kreatif tingkat internasional, Hermes Award, yang digelar komunitas peneliti di Jerman. Aplikasi ini pun telah menjadi percontohan Asian Development Bank (ADB) melalui Bappenas untuk digitalisasi pertanian dengan proyek percontohan di Pasaman Barat (Sumatera Barat) dan Sukabumi (Jawa Barat). Pada tahun ini, penerapan teknologi diperluas ke 76 kabupaten lain.
Bayu merancang teknologi ini ketika melanjutkan studi S-3 dan mendalami fenomena perubahan iklim yang semakin sulit terdeteksi dan mengancam hasil panen petani. Ia menggunakan sensor Automatic Weather Sensor (AWS) yang akan menyampaikan data kondisi cuaca hingga rekomendasi pemupukan berdasarkan waktu tanam dan lokasi lahan. "Sensor tanah dan cuaca yang dipasang di lahan akan merekam beberapa data kondisi cuaca dan tanah," ujarnya.
Kondisi yang dimaksudkan antara lain arah angin, kecepatan angin, curah hujan, suhu udara, kelembapan udara, suhu tanah, hingga kelembapan tanah. Data hasil pembacaan sensor itu diolah menjadi informasi yang bisa dicerna oleh petani. "Kami membuat algoritma untuk mengolah data mentah yang real time menjadi sesuatu yang mudah dipahami petani. Juga membuat prediksi cuaca harian yang ditampilkan dalam bentuk notifikasi dan rekomendasi.”
Dalam aplikasi tersebut, ada sejumlah fitur yang berfungsi sebagai catatan agar petani bisa mencatat kegiatan usaha taninya. Ada pula beberapa fungsi yang bisa membantu mereka dalam proses budi daya. Mulai dari artikel, fitur forum, informasi harga komoditas, hingga identifikasi hama menggunakan artificial intelligence (AI).
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Bayu Dwi Apri Nugroho, menjelaskan penggunaan aplikasi smart farming bernama Automatic Weather Sensor (AWS). Dok UGM
Walau aplikasi RiTx Bertani bisa diunduh gratis, petani baru bisa mendapatkan manfaat penuh jika di daerah mereka telah dipasang sensor tanah dan cuaca. Teknologi itu dijual sekitar Rp 60 juta, termasuk manajemen data selama satu tahun serta pengembangan modul. "Kami juga menyediakan skema penyewaan, yakni Rp 2 juta per bulan.”
Bayu pertama kali menguji coba teknologi ini pada 2010 di Desa Gemawang, Wonogiri, Jawa Tengah. Ia dan timnya memasang sejumlah sensor di lahan. Waktu itu hasil informasi dan prediksi yang dibutuhkan petani dikirim melalui SMS. Hasilnya, para petani di Gemawang mengakui terjadi peningkatan produktivitas hasil panen dari 8 ton menjadi 12 ton per hektare. Mereka juga bisa menghemat pupuk dan air.
Bayu lahir di Yogyakarta, 12 April 1979. Setelah lulus SMA pada 1997, ia melanjutkan pendidikan S-1 di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Ia memulai kariernya dengan menjadi asisten peneliti di Fakultas Teknologi Pertanian UGM setelah lulus kuliah pada 2002. Beberapa tahun kemudian, pada 2007, ia melanjutkan studi S-2 di Iwate University, Jepang, lalu studi S-3 dengan spesialis agrometeorology dan climate change.
Nah, ilmu agrometeorology dan climate change itulah yang dikembangkan dalam teknologi ini. Tentu saja penerapannya tidak mudah dan dihadapkan pada sejumlah tantangan, salah satunya kegagapan petani terhadap teknologi. ”Usia petani yang rata-rata di atas 50 tahun kebanyakan tidak tahu dan tak peduli dengan teknologi," ujar akademikus yang menjadi reviewer di beberapa jurnal internasional itu.
Bayu mengatasi hal itu dengan melibatkan anak-anak muda dan Karang Taruna. Misalnya, saat sosialisasi teknologi ini, petani diwajibkan didampingi anggota keluarga yang masih berusia muda atau minimal punyai telepon seluler pintar dan mengerti tentang Internet. Pelibatan anak muda sekaligus salah satu upaya merekrut petani-petani muda serta mengubah stigma bahwa petani selalu kotor di sawah dan bersifat konvensional menjadi pertanian yang mandiri dan modern.
PRIBADI WICAKSONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo