Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Esperanto merupakan bahasa buatan yang diciptakan seorang dokter asal Polandia.
Esperanto menjadi bahasa artifisial dengan jumlah penutur paling banyak di dunia.
Esperanto menjadi alternatif agar komunikasi bisa setara.
Sudah 10 hari Ilia Sumilfia Dewi berada di Vietnam. Ia menjadi peserta Komuna Seminario (KS), sebuah kegiatan anak muda pegiat bahasa Esperanto yang diinisiasi empat negara, yaitu Korea, Jepang, Cina, dan Vietnam. Presiden Asosiasi Esperanto Indonesia itu jadi teringat momen pertama kali ia menghadiri acara serupa pada 2010. Tuan rumah kegiatan itu juga Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu Ilia masih belum fasih berbahasa Esperanto karena baru setahun mempelajarinya. Selama di sana, ia dibantu seorang pegiat Esperanto dari Jakarta sehingga tidak sulit berkomunikasi dengan para penutur bahasa artifisial itu dari berbagai negara. Dari pengalaman inilah akhirnya Ilia makin tertarik mempelajari Esperanto. “Saya suka atmosfer dari komunitasnya,” kata Ilia kepada Tempo, Selasa, 19 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esperanto merupakan bahasa buatan yang diciptakan seorang dokter asal Polandia, L.L. Zamenhof, pada 1800-an. Esperanto merupakan nama samaran Zamenhof ketika ia menerbitkan buku pertama berjudul Unua Libro, tata bahasa pertama dari Esperanto, pada 1887.
LL Zamenhof. Istimewa
Lahirnya bahasa ini tak terlepas dari latar belakang Zamenhof yang tumbuh di tengah komunitas poliglot—orang yang mahir menggunakan banyak bahasa. Hal ini membuat pria kelahiran Białystok itu berpikir bahwa perlu ada bahasa pemersatu, yang akan mengakhiri permasalahan yang timbul akibat berbagai macam bahasa.
Zamenhoff menolak bahasa-bahasa besar saat itu, seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia, lantaran lebih sulit dipelajari. Ia menilai bahasa-bahasa tersebut menempatkan penggunanya pada posisi yang lebih diuntungkan daripada orang lain. “Makanya Esperanto menjadi alternatif agar komunikasi bisa setara,” ujar Ilia.
Ilia menuturkan bahasa Esperanto awalnya berkembang di daratan Eropa, lalu meluas hingga ke Asia. Bahkan Esperanto kini menjadi bahasa artifisial yang paling banyak diucapkan di seluruh dunia. Ia memperkirakan penuturnya ada 5 juta orang. Pasalnya, organisasi perwakilannya ada di 130 negara, termasuk Indonesia.
Bahasa Esperanto sendiri mulai ada di Indonesia sejak 1920 karena dibawa orang Jepang dan Belanda pada zaman kolonialisme. Bahasa ini pun berkembang cukup pesat hingga ke berbagai kota. Salah satu tokoh yang berperan penting memajukan bahasa ini adalah Rangkayo Khailan Syamsu Datuk Tumenggung.
Perempuan Minang yang dikenal sebagai pejuang hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia itu mendirikan Asosiasi Esperanto Indonesia pada 1952. Lalu ia pernah dipercaya sebagai Presiden Federasi Esperanto Asia Selatan sekaligus pemimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Esperanto di Oslo, Norwegia, pada 1953.
Menurut Ilia, di tangan Datuk Tumenggung, gerakan Esperanto mencapai periode emas pada 1960-an. Datuk Tumenggung dan teman-temannya memulai kursus Esperanto hingga penuturnya tersebar di berbagai daerah, seperti Makassar, Yogyakarta, Medan, Jakarta, dan Kalimantan. Sayangnya, kejayaan Esperanto meredup pada 1965. Penyebabnya, bahasa ini dikaitkan dengan komunisme. “Yang saya dengar segala hal berbau asing disangka ada hubungannya dengan komunis. Jadi benar-benar dihilangkan,” ujar Ilia.
Datoe Toemenggoeng (berkerudung), Esperantoklubo Jakarta, 1957. Buku Movadaj insuletoj
Para penutur Esperanto pun berhenti belajar sampai enggan dikaitkan lagi dengan bahasa tersebut. Buku-buku Esperanto, kata Ilia, juga banyak yang dibakar sampai tak ada jejaknya. Dia sendiri mengetahui asal-usul Esperanto di Indonesia dari Heidi Goes, penutur Esperanto dari Belgia. Dia menuturkan bukti dan dokumen tentang gerakan Esperanto Indonesia justru banyak terdapat di luar negeri, seperti perpustakaan Prancis dan Belanda.
Heidi, kata Ilia, mengumpulkan informasi sampai berhasil membuat buku tentang gerakan Esperanto di Indonesia dalam bahasa buatan tersebut. “Jadi, dari Heidi saya tahu, oh Esperanto sudah ada lama. Dari situ saya kenal Esperanto pada 2009,” kata perempuan yang tinggal di Bekasi itu.
Setelah mempelajari Esperanto, Ilia pun tertarik mengenalkan bahasa ini ke masyarakat Indonesia. Pada 2013, Ilia bersama 21 pegiat Esperanto menginisiasi sebuah kongres di Puncak, Bogor. Pertemuan ini akhirnya menyepakati pembentukan kembali Asosiasi Esperanto Indonesia (AEI) yang sempat mati. AEI memiliki misi membantu orang sebanyak mungkin dalam berkomunikasi dengan lebih mudah dan setara. “Karena Esperanto bukan bahasa yang diakui negara mana pun, jadi sifatnya netral.”
Ia mengatakan ada dua bidang yang menjadi fokus utama program AEI. Pertama, bidang informasi, yaitu pengenalan Esperanto, dengan menyebarluaskan bahasa ini. Kedua, edukasi dengan memanfaatkan media sosial dan menyelenggarakan kursus.
Ilia bersama teman-temannya pernah membuat buku pelajaran berjudul Esperanto dengan Metode Langsung. Buku tersebut merupakan terjemahan dari karya penutur Esperanto asal Slowakia. Kemudian ada pula kamus dan tata bahasa Esperanto yang dijual di akun Esperanto di Tokopedia. Harganya cukup bersahabat. Rata-rata di bawah Rp 100 ribu, kecuali kamus yang dihargai Rp 250 ribu. Materi pembelajaran Esperanto juga tersedia di situs web AEI.
Setelah 10 tahun eksis, anggota asosiasi ini mulai banyak diisi anak muda. Bahkan penuturnya yang tidak tergabung dalam asosiasi juga kian berkembang. Ilia melihat fenomena ini lantaran penjualan buku-buku pelajaran tentang Esperanto di toko online AEI terus meningkat. Apalagi, pada era digital ini, bahasa Esperanto mudah dipelajari lewat aplikasi.
AEI bersama Universal Esperanto Association (UEA) juga bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). UEA kerap menyuarakan kesetaraan berbahasa sebagai bagian dari hak asasi manusia serta meminta PBB memberikan ruang bagi Esperanto agar diperkenalkan.
Illa mengungkapkan, bahasa Esperanto cenderung lebih mudah daripada bahasa asing lainnya. Sebab, tata bahasanya teratur. Dalam bahasa Inggris, kata kerja memiliki tiga bentuk. Sementara itu, pada bahasa Esperanto, semua kata kerja memiliki akhiran “i”. Contohnya, kata kerja "berenang" dalam Esperanto menjadi naĝi (dibaca: naji). Contoh lain, "bicara" diterjemahkan menjadi paroli dan "duduk" menjadi sidi.
Kongres Esperanto Tiga Negara di Bekasi, Jawa Barat, 2018. Dok. Esperanto Indonesia
Bila kata tersebut ingin dipakai dalam kalimat, akhirannya bakal berubah. Ada tiga akhiran dalam Esperanto, yaitu as, is, dan os. Akhiran “as” untuk menunjukkan waktu saat ini, “is” untuk waktu lampau, dan “os” waktu yang akan datang. Contoh, berenang sekarang menjadi naĝas, berenang kemarin naĝis, dan berenang besok naĝos. “Itu yang membuat Esperanto lebih mudah karena enggak banyak yang diingat (kosakatanya),” ucap Ilia.
Adapun kata benda dalam bahasa Esperanto selalu berakhiran “o”. Misalnya, "botol" menjadi botelo dan "meja" menjadi tablo. Sekilas, istilah-istilahnya mirip bahasa asing yang kita kenal. Ilia mengatakan hal ini wajar karena Zamenhof menciptakan Esperanto dengan menggabungkan banyak bahasa.
Untuk struktur kalimat, bahasa Esperanto lebih simpel ketimbang bahasa Indonesia yang memiliki rumus S-P-O-K (subyek, predikat, obyek, dan keterangan). Dalam Esperanto, subyek dan obyek bisa ditukar. Namun obyek pada kalimat harus berakhiran “n”. Hal ini disebut akusatif. Tujuannya untuk menunjukkan kata tersebut sebagai obyek. Misalnya, kalimat “saya makan nasi” menjadi “mi manĝas rizon” atau “rizon mi manĝas”.
Dengan menguasai Esperanto, Ilia mengaku ada banyak manfaat yang bisa dirasakan. Ia mengaku bahasa ini memudahkannya dalam berkomunikasi, mengurangi kesalahpahaman, dan membantu mengenal orang lain. Selain itu, karena penutur Esperanto ada di 130 negara, pegiat bahasa buatan ini yang hobi jalan-jalan juga diuntungkan.
Ilia, misalnya, bisa menghemat biaya sewa penginapan di Eropa karena ada penutur Esperanto yang menawarkan tempat tinggal. “Esperanto membuat kita lebih mudah berteman dengan orang asing. Sebab, semangatnya sama, yaitu perdamaian. Namanya curiga-curiga itu enggak ada,” katanya.
Ilia pun berharap makin banyak orang yang mengenal Esperanto. Apalagi bahasa ini tak mengenal usia sehingga kalangan “senior” pun bisa mempelajarinya. Di luar negeri, Ilia menuturkan, banyak warga lanjut usia yang mulai belajar Esperanto. “Bahasa membantu kita enggak cepat pikun, enggak kena penyakit demensia.”
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo