Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Di Balik Kawat Berduri Nirbaya

Saat dibawa ke Instalasi Rehabilitasi Nirbaya, Omar Dani tahu bakal dihukum mati.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT itu dikenal sebagai Wisma Nirbaya. Nama resminya Instalasi Rehabilitasi Nirbaya, disingkat Inrehab Nirbaya. Letaknya persis di samping pusat rekreasi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, sekitar 800 meter di sebelah selatan Asrama Haji Pondok Gede. ”Sekarang Nirbaya sudah rata dengan tanah,” ujar Omar Dani. Inrehab kini memang tak ada lagi, berganti menjadi permukiman padat penduduk. Tapi kenangan Omar Dani terhadap salah satu monumen kekejaman Orde Baru itu masih melekat kuat.

Omar Dani mulai tinggal di Nirbaya pada 24 Mei 1966. Sebelumnya, begitu tiba di Tanah Air, dia dan keluarganya—termasuk ayah dan ibunya—menjadi tahanan rumah di kompleks peristirahatan Angkatan Udara Republik Indonesia Cibogo, Bogor. Kepindahannya ke Nirbaya sekaligus merupakan awal perpisahannya dengan keluarganya. Dia masih ingat hari itu: dia dijemput oleh Letnan Kolonel CPM Nicklany menggunakan sedan Mercedes. Dari kaca spion, dia bisa menyaksikan iring-iringan kendaraan pengawal, termasuk sebuah panser, membuntuti mobil mereka.

Ketika mobil memasuki daerah Cibinong, Omar Dani bertanya kepada Nicklany, sahabat sekelasnya semasa di AMS (SMA di zaman Belanda), ”Nick, kira-kira vonis apa, ya?” Nicklany menjawab, ”Verwacht maat her ergste (harapkanlah yang terburuk).” Omar Dani menimpali, ”Hukuman mati, ya?” Nicklany menjawab pendek. Omar Dani pun cuma bisa pasrah.

Di Nirbaya, Omar Dani tinggal di kompleks penjara Amal, satu dari tiga kompleks penjara di sana. Sewaktu tiba sekitar pukul 06.00, dia menjadi satu-satunya penghuni dan dijaga ketat oleh satu kompi Yon Para dari Polisi Militer Angkatan Darat. Dia menggambarkan kamar tahanannya itu seperti bungalo, berukuran 5 x 6 meter dengan kamar mandi dan WC di dalam. Di situ juga tersedia tempat tidur, sofa, meja dan kursi makan, dan lemari. Tapi dia diisolasi dari dunia luar. Untuk berbincang dengan sesama penghuni tahanan, yang belakangan berdatangan, pun tak diizinkan. Begitu kesepian dan sendiri, dia bahkan sempat tak mampu membayangkan wajah orang-orang yang dicintainya.

Di Nirbaya, dia menerima Surat Keputusan Presiden Nomor 46/PANGTI/II/1966 yang menyatakan Omar Dani diberhentikan sementara dengan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya. Surat yang ditandatangani Soekarno itu menyebutkan Laksamana Madya Udara Omar Dani telah melakukan perbuatan dan tindakan yang membahayakan disiplin Angkatan Perang serta membahayakan keamanan dan keselamatan negara dalam peristiwa Gerakan 30 September. ”Padahal waktu itu belum ada sidang,” kata Omar Dani. Surat keputusan itu pukulan keras baginya. Bagaimana tidak, surat itu ditandatangani Soekarno, yang amat dia puja.

Setelah akhirnya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menolak pleidoi Omar Dani dan menyatakannya bersalah, dia kembali mendekam di Nirbaya—setelah sempat mencicipi dinginnya Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Kali ini dia jauh lebih pasrah walaupun Mahmilub memvonisnya dengan hukuman mati, persis seperti kata Nicklany. Dia teringat kalimat yang pernah diucapkan dr Tjipto Mangoenkoesoemo: ”Orang harus menyerahkan diri seluruhnya, ya seluruhnya. Tuhan menolak yang setengah-setengah.”

Dia juga tak terlampau peduli dengan makanan yang diberikan kepada tahanan. Dalam buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku, dia bercerita pada awalnya tahanan di Nirbaya mendapat jatah makan tiga kali sehari, yang disajikan dalam rantang bersusun empat berisi nasi, sayur, telur, daging, dan buah. ”Seiring berjalannya waktu, satu per satu penghuni rantang lenyap. Diawali dengan lenyapnya buah, disusul raibnya telur, dan akhirnya sang daging pun menyusul teman-temannya,” Omar Dani mengenang.

Hanya dengan izin Team Pemeriksa Pusat (Teperpu), dua minggu sekali keluarganya boleh menjenguk. Mereka bergabung dengan keluarga tahanan lain, menggelar tikar di aula Nirbaya, berkumpul melepas rindu sambil menikmati makanan yang dibawa dari rumah. Dengan izin Teperpu pula, sesekali Omar Dani dan tahanan politik lain bisa pulang ke rumah beberapa jam dengan pengawalan dua petugas penjara berpakaian preman. Di luar waktu itu, keluarga cuma boleh mengirimkan makanan atau buku. ”Dari kejauhan, di balik pagar kawat berduri, kami cuma bisa saling melambaikan tangan,” katanya.

Hari-hari di penjara lebih banyak dia habiskan untuk membaca buku dan berbincang-bincang dengan sesama tahanan. Termasuk dengan sastrawan Mochtar Lubis, yang dijebloskan ke tahanan karena dianggap membangkang terhadap pemerintah Orde Baru. ”Ngobrol-ngobrol saja, menganalisis, guya-guyu untuk bertahan hidup,” kata Omar Dani.

Salah satu teman dekatnya di tahanan adalah bekas Wakil Perdana Menteri Soebandrio, yang kamar tahanannya persis di sebelah kamarnya. ”Kami sudah seperti bersaudara,” kata Omar Dani. Jika salah seorang sakit, mereka saling menjaga. Persahabatan itu terus terjalin ketika Nirbaya ditutup dan mereka dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sebelum akhirnya dibebaskan pada 1995.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus